COWASJP.COM – Ferdy Sambo tetap dihukum mati di sidang Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Rabu (12/4)2023). Hakim berpendapat, motif tidak perlu dibuktikan. Terpenting unsur Pasal 340 KUHP pembunuhan berencana, terbukti meyakinkan. Kontroversi motif lagi.
***
HAKIM dalam sidang (Sambo tidak hadir) mengatakan begini: "Berkaitan motif, yang dilakukan pemohon banding Ferdy Sambo, bahwa judex facti berpendapat, motif tidak wajib dibuktikan.”
Soal motif di perkara ini jadi perdebatan nasional. Perlu-tidaknya dibuktikan. Bahkan, terpidana Sambo juga mengajukan itu dalam memori banding.
Hakim menguraikan begini:
"Dalam proses peradilan, motif memang menjadi bagian untuk menentukan berat ringan hukuman yang dijatuhkan. Tetapi sifatnya kasuistik.”
Hakim mengatakan, motif dalam pembunuhan Brigadir N. Yosua Hutabarat tidak jelas. Bukan karena tidak dapat dibuktikan. Melainkan karena saksi-saksi tidak terbuka.
Para saksi penting, yakni Kuat Ma'ruf, saksi Susi, yang ada di tempat kejadian di rumah di Magelang sejak awal tidak terbuka. Juga saksi Ricky Rizal Wibowo dan saksi Richard Eliezer Pudihang Lumiu tentang apa yang terjadi antara Yosua dengan Putri Candrawathi (isteri Sambo).
Hakim: “Para saksi di persidangan menjawab tidak tahu. Padahal para saksi adalah pihak yang secara nyata bertanggung jawab langsung terhadap Putri Candrawathi. Yang mestinya mereka tahu.”
Itu bukan berarti Sambo membunuh Yosua tanpa motif. Tidak begitu. Melainkan, di persidangan tingkat pertama terdapat perbedaan penafsiran motif, antara terdakwa Ferdy Sambo, dengan penasihat hukum juga dengan majelis hakim.
Akhirnya, hakim berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang motif, dinilai hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, sudah benar. Motif tidak perlu dibuktikan.
Sidang tingkat banding itu terbuka untuk umum. Televisi dibolehkan mengambil siaran langsung.
Dalam sejarah Indonesia, perdebatan soal motif ini juga terjadi pada 2016. Pada sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wongso. Sama dengan Sambo, Jessica waktu itu didakwa pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP. Di situ motif malah tidak terungkap. Bisa dianggap, Jessica membunuh berencana Mirna tanpa motif.
Proses sidang berlangsung sampai sembilan bulan. Itulah pertama kali penerapan Pasal 340 KUHP tanpa pembuktian motif. Para saksi ahli, pun waktu itu berbeda pendapat.
Pada sidang Kamis, 22 September 2016 dihadirkan saksi ahli Masrukin Ruba’i, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Menurutnya, unsur ‘dengan sengaja’ yang ada dalam Pasal 340 KUHP berangkat dari tiga hal: Motif, niat, dan perbuatan.
Dijelaskan, pembunuhan berencana membutuhkan waktu. Yakni, waktu dari niat hingga perbuatan pidana itu dilakukan. Jadi, ada tahapan-tahapan perencanaan untuk melakukan tindak pidana.
Maka, motif bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk membuktikan pembunuhan berencana telah terjadi.
Tapi, Masrukin tidak bersikeras. Tepatnya, tidak tegas bahwa motif harus bisa dibuktikan. Buktinya, ia juga sepakat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak mencantumkan motif. Yang dibuktikan JPU adalah ‘dengan sengaja’ dan unsur ‘perencanaan’.
Pendapat sebaliknya pada sidang waktu itu, dikemukakan Prof Eddy O.S Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (kini Wakil Menkum HAM). Menurutnya, penerapan Pasal 340 KUHP tidak perlu motif.
Eddy mengulik sejarah lahirnya KUHP yang diadopsi dari hukum Belanda, khususnya Pasal 340. Eddy mengutip pandangan Jan Remmelink, guru besar hukum dan mantan Jaksa Agung Belanda.
Jan Remmelink, menurut Eddy, justru menjauhkan motif dari perumusan delik. Artinya, tidak perlu sama sekali.
Ada tiga hal penting dalam pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
Pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan, dalam keadaan tenang.
Ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dan melaksanakan perbuatan.
Ketika pelaksanaan perbuatan dilakukan, pelaku dalam keadaan tenang.
Tiga syarat tersebut bersifat kumulatif. Juga memiliki keterkaitan yang erat antara satu sama lain.
Prof Eddy: “Kalau ada ahli pidana yang mengatakan pembunuhan berencana harus ada motif, suruh baca ulang sejarah pembentukan KUHP Belanda.”
Pro-kontra motif terulang lagi pada sidang Sambo tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika hakim menghadirkan saksi ahli, waktu itu.
Pada sidang Kamis, 22 Desember 2022, dihadirkan saksi ahli Mahrus Ali, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Menurutnya, motif Sambo membunuh Yosua harus bisa dibuktikan JPU.
Mahrus: “Motif mutlak diperlukan, guna mengetahui apakah pelaku pada saat memutuskan kehendak (membunuh) dalam keadaan tenang ataukah tidak? Jika pelaku pada saat memutuskan kehendak tidak dalam keadaan tenang, maka unsur perencanaan tidak terbukti.”
Kalau unsur perencanaan tidak terbukti, maka pembunuhan itu tanpa rencana. Melanggar Pasal 338 KUHP. Bukan Pasal 340 KUHP. Beda hukuman antara kedua pasal itu sangat jauh. Pasal 340 KUHP maksimal hukuman mati (sudah diterapkan pada terpidana Sambo).
Beda pendapat itu bukan dikatakan orang sembarangan. Bukan kaleng-kaleng. Melainkan, saksi ahli. Hakim menghadirkan saksi ahli, tentunya sudah melalui pertimbangan matang.
Juga, bukan soal ‘siapa dibayar berapa?’. Tidak. Karena kalimat ini berkonotasi ada unsur suap dalam kesaksian. Walaupun, berdasar undang undang, saksi memang dibayar negara ala kadarnya.
Pasal 229 Ayat 1 KUHAP: "Saksi atau saksi ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapatkan penggantian biaya.”
Terus, bagaimana kejelasan beda pendapat soal ‘motif’di perkara Sambo?
Jawabnya, balik ke perkara pembunuhan berencana Mirna. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat waktu itu mengabaikan motif. Mungkin, itu pula yang jadi rujukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili Sambo. Meski tidak dikatakan oleh hakim. (*)