COWASJP.COM – Staycation dihebohkan. Karyawati PT T, perusahaan kosmetika di Cikarang, Bekasi inisial AD, 23, melaporkan manajernya ke Polres Bekasi: Bahwa si manajer hanya memperpanjang kontrak kerja, jika AD mau diajak staycation.
***
STAYCATION artinya liburan di hotel. Biasanya digunakan sebagai istilah liburan keluarga. Dalam kasus ini, artinya manajer mengajak AD berhubungan seks, sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja.
AD cantik. Kulitnya putih, rambut lurus diurai panjang se-dada. Matanya tajam, alisnya tebal. Bodinya langsing, sintal proporsional. Murah senyum. Senyumnya, tidak kelihatan jelas, karena ia selalu pakai masker.
AD kepada pers membeberkan kronologi, begini:
"Saya diterima kerja di situ, November 2022. Selang beberapa hari kerja, saya dapat pesan WA dari manajer itu. Awalnya perkenalan gitu, ia tanya, 'gimana kerja di sini', gitu. Terus lama-lama ngajak jalan, katanya berdua aja. Itu di hari pertama dia WA saya.”
Setelah itu, hampir setiap hari si manajer menanyakan kesediaan AD jalan bareng. Baik ketemu di kantor, maupun WA.
AD: "Kalau saya pasang status (di medsos), dia sering komen. Katanya 'lagi di mana, kenapa gak ajak'. Ujungnya pasti ia tanya, hayu jalan-jalan berdua.”
Dilanjut: "Setiap kali saya bertemu dengan atasan itu, ia selalu menanyakan, kapan jalan berdua. Saya selalu alasan, iya entar”
Bingung menghadapi ‘serangan’ gencar si manajer, akhirnya AD mau diajak jalan bareng. Syaratnya harus bersama beberapa teman-teman kerja. “Rame-rame,” ujarnya. Ternyata langsung ditolak manajer. Maunya, jalan berduaan saja. AD terus saja menolak.
Sampai, si manajer mengirim foto ke AD via WA. Tampak, foto manajer berada di depan sebuah hotel. Karena AD tidak bereaksi, maka manajer menelepon AD menanyakan kesediaan AD jalan-jalan ke situ (hotel). Saat inilah disebut staycation. Menginap. Tetap saja, AD menolak.
Manajer jadi gemes-gemes-kesel. Lantas beraksi keras ke AD.
AD: "Mungkin lama-lama ia kesel. Trus bilang gini: Ya udah, kamu abis kontrak aja, janjimu palsu, katanya gitu ke saya. Nah, saya sering bilang: Ya ntar-ya ntar… itu kan bukan janji, tapi menghindar.”
Kontrak kerja AD di perusahaan itu habis masa berlakunya Mei 2023. Berarti, kontrak dia tidak bakal diperpanjang.
AD lalu curhat ke teman-teman kerja. Ternyata, AD cerita, teman-temannya pada ketawa, karena sudah biasa manajer itu berlaku begitu kepada karyawati lain. Syarat perpanjangan kontrak kerja, ya… staycation itu. “Kata teman, manajer itu selalu pilih karyawati good looking,” ujar AD.
AD tak terima akan diputus kontrak. Maka, ia unggah itu di medsos. Viral. Ramai dikomentari warganet.
Lalu AD didatangi Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Obon Tabroni, ditanya kronologinya. Diceritakan semua. Maka, AD didampingi Obon dan beberapa Anggota DPR RI dari F PDIP, melapor ke Polres Bekasi, Sabtu, 6 Mei 2023.
Kapolres Metro Bekasi, Kombes Tweddy Bennyahdi dikonfirmasi wartawan, membenarkan pelaporan tersebut. Ia berjanji, akan mengusut laporan tersebut.
Pj Bupati Bekasi, Dani Ramdan dikonfirmasi wartawan, menyatakan, akan mendalami informasi tersebut. Ia katakan: "Saya akan menugaskan Disnaker untuk mendalami informasinya.”
Dilihat dari reaksi dua petinggi daerah itu tampak, bahwa mereka kurang reaktif. Selow saja. Juga tak ada reaksi dari Komnas Perempuan, meski kehebohan di medsos soal staycation ini berlangsung berhari-hari, pekan lalu. Partai Buruh sepertinya tak tahu. Setidaknya, tak seheboh demo mereka di Gedung DPR.
Kasusnya sepele, tapi proses hukumnya rumit. Memang, ada bukti WA dan percakapan telepon. Tapi, korban belum di-staycation (penetrasi seks). Korban tidak mengatakan ada pelecehan seks fisik, misalnya, dicolek atau diraba daerah sensitif seksual.
Perkara hukum, terkait bukti dan saksi. AD mengatakan, teman-teman kerja di situ mengatakan, si manajer biasa begitu. Tapi, belum tentu teman-teman ini berani bersaksi begitu, yang berarti gambling status kontrak kerja.
Kasus beginian jadi problem se-dunia. Di Amerika Serikat (AS) baru dihebohkan setelah tahun 1979. Setelah sebuah buku beredar, bukunya berikut ini:
Korban karyawati (kaos lengan panjang putih, kiri), AD, 24 tahun, berkali-kali dirayu diajak staycation. Kalau mau perpanjang kontrak. Tapi AD tetap menolak. (FOTO: Tim tvOne/Suryo Daryono)
Prof Catharine Alice MacKinnon dalam bukunya bertajuk: “Sexual Harassment of Working Women: A Case of Sex Discrimination” (Yale University Press, 1979.) menyatakan, kasus begituan sudah sangat kuno.
Ada sejak Revolusi Industri tahun 1760-1850 di Britania Raya. Saat perubahan besar-besaran bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi, menuju industri.
Industri yang awalnya didominasi pekerja pria, kemudian dimasuki pekerja wanita. Saat itulah terjadi kasus ‘staycation’. Prof MacKinnon menyebutnya sebagai: Workplace Related Sexual Violence (WRSV).
MacKinnon kelahiran 7 Oktober 1946 di Minneapolis, Minnesota, AS. Dia Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Michigan, AS, sejak tahun 1990, dan Profesor Hukum Tamu James Barr Ames di Fakultas Hukum Harvard University, AS.
Buku MacKinnon itu diakui para intelektual AS, sebagai pemicu gerakan hukum kaum wanita menggugat pelecehan seksual oleh pria di tempat kerja. Pada masa sebelumnya, pekerja wanita yang dilecehkan pria, diam saja. Atau, aparat hukum yang dilapori ogah-ogahan mengurus. Entah diskriminatif, atau proses hukumnya rumit.
Istilah SV (Sexual Violence) didefinisikan sebagai: Penetrasi (mengarah ke tindakan seksual) yang tidak diinginkan, dengan menggunakan kekerasan atau difasilitasi suatu kondisi. Termasuk di tempat kerja, karena difasilitasi kondisi antara pelaku dengan korban kerap bertemu di tempat kerja.
SV mulai yang ringan, pelaku bicara mengarah atau menunjukkan gambar aktivitas seksual kepada korban. Pelaku menyentuh bagian sensitif seksual korban. Pelaku mengajak korban berhubungan seksual dalam relasi kuasa (atasan-bawahan) atau setara (teman kerja se-level). Sampai pemerkosaan, baik melalui alat bantu minuman keras, narkoba, atau ancaman bersenjata, atau tanpa senjata.
Kasus staycation pabrik kosmetik di Cikarang itu, termasuk definisi ini.
Tapi, alamak… di AS sendiri gugatan hukum WRSV tidak sepenuhnya jalan. Antara jalan dan tidak. Baik karena korban malu (terpaksa) terpublikasi per, atau aparat hukum yang ogah-ogahan, atau aparat hukumnya pria bersikap diskriminatif cenderung berpihak pria (pelaku).
Sampai akhirnya muncul gerakan medsos Metoo, Oktober 2017 di AS. Gerakan yang semula kecil, lalu meluas dari kekerasan dan pelecehan seksual, khususnya di tempat kerja. Gerakan ini membesar gegara kasus Harvey Weinstein.
Awal Oktober 2017 The New York Times dan The New Yorker memberitakan, produser film top Hollywood, AS, Harvey Weinstein, memperkosa sekitar 80 aktris dan wanita pekerja film sejak 1987.
Artinya, sejak problem ini dipicu buku MacKinnon pada 1979, baru 38 tahun kemudian meledak jadi gerakan Metoo. Yang awalnya juga biasa-biasa saja.
USA Today, 20 Februari 2018 memberitakan, bertajuk: “How common is sexual misconduct in Hollywood?” ditulis Maria Puente dan Cara Kelly, membikin gerakan Metoo dapat angin.
Di berita itu menyitir data dari National Intimate Partner and Sexual Violence Survey.
Diungkap, di AS ada 5,6% wanita dewasa (hampir 7 juta) dan 2,5% pria dewasa (hampir 3 juta) melaporkan beberapa jenis kekerasan seksual oleh pelaku terkait tempat kerja.
Hampir 4% wanita melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh figur non-otoritas dan 2,1% melaporkan figur otoritas. Otoritas adalah terkait relasi kuasa.
Sekitar 2,0% pria melaporkan kekerasan seksual oleh figur non-otoritas, dan 0,6% melaporkan figur otoritas.
Bagi perempuan, jenis kekerasan seksual yang paling sering dilaporkan adalah kontak seksual yang tidak diinginkan (3,5% perempuan); untuk pria, itu adalah pengalaman seksual yang tidak diinginkan tanpa kontak (1,3% pria).
Diperkirakan 1 juta wanita (0,8%) telah diperkosa oleh pelaku terkait tempat kerja. Dampak kekerasan seksual itu bagi korban adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Sejak itu wanita (korban) di sana mengamuk, menggugat hukum pelaku. Akibatnya, terjadi equilibrium baru. Menuju perlakuan kesetaraan antara pria-wanita terkait WRSV di sana. Malah, pelaku pria dihukum yang dirasa terlalu keras, dengan hukuman penjara puluhan tahun.
Apakah WRSV di Indonesia bisa mendapatkan keadilan yang relevan? Jawabnya, di sebagian kasus, ya. Sebagian lainnya, belum. Contohnya, kita amati perkembangan kasus di pabrik kosmetik di Cikarang ini. (*)