Mutilasi Hidup-hidup dan Victim Precipitation Theory

Gaya arogan tanpa merasa berdosa dari pembunuh biadab: Husen. (DESAIN GRAFIS: medan.tribunnews.com)

COWASJP.COMKorban mutilasi di Semarang, Irwan Hutagalung, 53, baik hati. Tetangga, Dian Ayu Ningrum, 28, kepada pers, Kamis (11/5) mengatakan:  “Saya pernah ditolong. Tapi, beliau memang tak pernah tersenyum.” Maka, Ayu sedih kematian Irwan.

***

TERSANGKA pembunuh Irwan adalah karyawannya bernama Muhammad Husen, 28. Kini ditahan di Mapolrestabes Semarang. Ia membunuh Irwan dengan cara menusuk kepala korban dengan linggis, dua kali. Korban belum mati, lalu dimutilasi.

Irwan punya toko air isi ulang dan gas elpiji di rumahnya di Jalan Mulawarman Raya, Kota Semarang. Sedangkan tersangka Husen, bekerja di situ sejak awal April 2023.

Salah satu pelanggan Irwan adalah Ayu yang bertetangga. Ayu menceritakan sosok Irwan, orang baik.

Ayu: "Kalau saya sebagai pembeli, memang bapaknya baik sama saya. Tapi memang wajahnya kayak jarang senyum, gitu. Tapi kalau sama saya baik.”

Irwan hampir tiga tahun buka toko tersebut. Sejak toko dibuka, Ayu berlangganan di situ. Ayu biasa beli air galon isi 19 liter, dan gas elpiji tabung 3 kilogram. Untuk keperluan sehari-hari. Jadi, Ayu berinteraksi dengan Irwan rata-rata dua-tiga hari sekali.

Salah satu kebaikan Irwan yang tak dilupakan Ayu adalah, suatu sore dia sedang masak, mendadak kehabisan gas. Dia pergi ke toko Irwan dengan membawa tabung kosong untuk beli gas.

Ternyata, kebetulan gas di toko Irwan sedang kosong. Terlambat kulakan. Lantas, Irwan melakukan ini:

“Pak Irwan mengambilkan gas dari dapur rumahnya. Diberikan ke saya, dan saya menyerahkan tabung kosong. Trus, beliau tidak mau saya bayar. Karena, katanya itu bukan gas baru (isi penuh) jadi beliau menolak dibayar.”

Dilanjut: “Selama saya beli di tokonya, beliau tidak pernah tersenyum. Memang wajahnya begitu, tapi hatinya baik.”

Sedangkan, hasil interogasi polisi, tersangka Husen mengatakan, ia sering dimarahi Irwan. Bahkan sering dipukul. Pengakuan Husen ini masih disidik polisi. Sebagai tersangka, otomatis Husen berusaha mengurangi kesalahannya agar dihukum ringan. 

Tapi Husen sudah mengakui, ia merencanakan pembunuhan tersebut sejak empat hari sebelumnya. 

Lantas, ia menemukan momentum pada Kamis, 4 Mei 2023 pukul 20.00 WIB saat Irwan sedang tidur pulas, dan Husen punya akses masuk kamar. Di situ ia menusuk kepala korban dengan linggis, dua kali. Korban masih hidup, kondisi pingsan. Terbukti pengakuan Husen: “Ia seperti tidur mengorok.”

Kemudian Husen menyeret tubuh korban ke gang sempit rumah. Lalu ditinggal, minum miras di seberang rumah korban. Sekitar delapan jam kemudian, Jumat, 5 Mei 2023 pukul 04.00 WIB Husen memutilasi korban, yang juga masih kondisi hidup. Ditandai suara mengorok seperti orang tidur.

dwo1.jpgTetangga korban mutilasi di Semarang, Dian Ayu Ningrum. (FOTO: Beritasatu.com/Iqbal Ikromi)

Husen mengaku ke polisi, tidak bisa mengundurkan diri (resign) dari kerjaan, sebab KTP ditahan Irwan. “Saya diancam, kalau saya keluar akan dihabisi.”

Pengakuan itu masih disidik polisi. Belum tentu benar.

Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban. Bagian dari kriminologi. Kalau kriminologi fokus mempelajari tentang pelaku kejahatan. Viktimologi mempelajari tentang korban kejahatan. 

Kriminologi bertujuan, agar orang tidak jadi penjahat. Viktimologi adalah ilmu baru, bertujuan, agar orang tidak jadi korban kejahatan. Ada kalanya, orang tidak sadar melakukan sesuatu yang berpotensi jadi korban kejahatan. Tapi, kesalahan korban sama sekali bukan jadi pemaaf dari tindak kejahatan, apalagi pembunuhan.

Dr Martin F. Wolfgang dalam bukunya bertajuk: “Victim Precipitated Criminal Homicide” (1957) menyatakan, semua korban pembunuhan tidak menyadari bahwa tindakannya, memicu pembunuhan itu sendiri. Calon korban punya karakter, tindakan, juga situasi kondisi yang mengarah terjadinya pembunuhan.

Seumpama waktu bisa diputar balik, dan korban paham sedikit saja ilmu viktimologi, maka ia bisa terhindar jadi korban pembunuhan. Tentu, waktu tidak mungkin diputar balik, Maka, viktimologi jadi bahan pelajaran berharga  bagi masyarakat, agar tidak jadi korban pembunuhan.

Dr Wolfgang menyebutnya sebagai Victim Precipitation Theory. Kalau diterjemahkan jadi Teori Pengendapan Korban. Tapi jadi membingungkan. Maka disebut saja Victim Precipitation Theory (VPT). 

Inti VPT, sebelum terjadi pembunuhan, calon korban melakukan kesalahan secara tidak disadari, bahwa karakter dan perilakunya bisa membuat ia jadi korban pembunuhan.

Di ilmu kedokteran, etiologi adalah penyebab dari suatu penyakit atau gangguan kesehatan. Orang tidak tiba-tiba sakit, tapi ada penyebab sebelum terjadi sakit. Penyebabnya beragam. Antara lain, dari perilaku orang tersebut yang tidak disadari menyebabkan ia sakit. 

Meskipun VPT penting dari sudut pandang etiologi, tapi sangat kontroversial. VPT dianggap sebagai upaya terselubung untuk menyalahkan korban. Selain itu, penelitian yang mengkaji konsep VPT dikritik karena mengandalkan metodologi yang buruk.

Wolfgang mencetuskan VPT berdasarkan riset kriminologi. Pada 1957 ia mengumpulkan data resmi tentang 588 pembunuhan yang terjadi selama 4 tahun di Philadelphia, Amerika Serikat (AS) dan menemukan bahwa hampir 26% (150 pembunuhan) sesuai dengan definisi VPT. Ini teori berbasis riset.

Dalam kriminologi, VPT terus jadi perdebatan. Dikritik dan ada juga pendukungnya. Logika VPT dapat dipandang sebagai menyalahkan korban. 

Ahli teori feminis, Prof Menachem Amir  pada 1968 mengutuk argumen VPT. Terutama, klaim VPT bahwa satu dari lima perkosaan adalah VPT. Atau, korban secara tidak sadar memicu terjadinya perkosaan. Menurut Amir, itu membebani korban dan membuat mereka enggan mengejar keadilan.

Gagasan bahwa korban jadi pemicu kejahatan melalui karakter atau tindakan pribadi mereka, berakibat menghilangkan tanggung jawab penjahat atas tindakan kriminal mereka. Korban koq malah diadili, dipojok-pojokkan? 

Pendekatan ini mengidentifikasi pola-pola mengenai korban kejahatan individu, tetapi mengabaikan faktor struktural yang lebih luas yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan.

Menachem Amir adalah kriminolog Israel. Dia guru besar kriminologi di Universitas Ibrani Yerusalem, di mana dia adalah Ketua Profesor Kriminologi Benjamin Berger sampai dia pensiun pada 1999. 

Karena kritik tersebut, penting untuk membedakan VPT, yang merupakan konsep perilaku, dari provokasi, yang merupakan gagasan hukum. Provokasi adalah konsep hukum yang digunakan oleh pengadilan pidana untuk menentukan dan mengukur kesalahan pelaku. 

Sebaliknya, VPT adalah konsep perilaku yang digunakan oleh ilmuwan sosial untuk menentukan penyebab seseorang menjadi korban kejahatan.

Kriteria penetapan provokasi dari suatu sikap hukum adalah perilaku pelaku, khususnya pola pikir pelaku dan tingkat pengendalian diri pelaku. Misalnya, pengadilan melihat perilaku wajar dari individu "normal" atau tidak gila.

VPT sebaliknya, berfokus pada perilaku korban tanpa tuduhan kesalahan. Dengan demikian, studi tentang VPT memungkinkan peneliti untuk mempertimbangkan faktor-faktor situasional, memberikan penjelasan yang lebih kaya dan menyeluruh tentang peristiwa kriminal. 

Konsep VPT, penting dari perspektif etiologi karena memungkinkan kita untuk mempertimbangkan banyak faktor, yang berkontribusi terhadap suatu insiden kriminal. Sedangkan, pelaku tetap harus bertanggung jawab secara hukum atas kejahatannya.

Di kasus mutilasi Semarang, polisi masih menyidik. Pengakuan tersangka cuma sebagai masukan untuk diinvestigasi. Bisa benar, bisa salah. Kalau pun benar, bukan berarti pemaaf buat tersangka.

Pastinya, Husen sudah merencanakan pembunuhan terhadap Irwan. Melanggar Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman mati. Itu bukan pelanggaran Pasal 340 biasa, melainkan sangat sadis. Sangat menakutkan masyarakat, seumpama suatu saat kelak Husen bebas hukuman. Sangat menyakitkan keluarga korban.

Viktimologi sekadar ilmu pegangan masyarakat, agar terhindar jadi korban kejahatan. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda