COWASJP.COM – Bayi tertukar saat lahir di RS Sentosa Bogor, 18 Juli 2022 sudah pulang ke rumah ortu biologis masing-masing, dua pekan lalu. Awalnya, dua bayi itu sama rewelnya. Mereka bingung dengan rumah dan ortu baru. Kini, sudah biasa. Nama mereka diganti.
***
NAMA bayi Muhammad Rangkuti Galuh (panggilannya Galuh), anak biologis Dian yang semula dirawat Siti Mauliah, diganti jadi Danis. “Panggilannya Danis,” ujar Dian kepada wartawan, Sabtu (23/9).
Sebaliknya, anak biologis Siti yang semula dirawat Dian, namanya Muhammad Gibran El Rumi. Setelah bayi itu pulang ke rumah Siti, diganti jadi Muhammad Rangkuti Galuh. Atau sama dengan nama bayi biologis Dian yang sempat dirawat Siti.
Siti kepada wartawan mengatakan: “Saya enggak mau ngubah nama anak saya. Sebab, nama itu saya dapatkan dari mimpi. Saya mimpi, diberitahu ‘orang tua’, agar saya memberi nama itu.”
Untungnya, Dian mengganti nama Galuh jadi Danis setelah bayi itu ditukar. Seumpama nama bayi itu tidak diganti, maka bakal ada dua nama kembar. Bayi yang pernah tertukar.
Dian menceritakan, bayi itu ditukar pada 9 September 2023. Atau setahun dua bulan sejak dilahirkan. Proses pertukaran dikawal tim ahli dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak Kapolres Bogor, AKBP Rio Wahyu Anggoro menetapkan bahwa dua bayi itu tertukar. Penetapan di Polres Bogor, Jumat 25 Agustus 2023 malam, Saat itu para pihak meneken perjanjian, mereka harus menukar bayi dengan batas sebulan sejak penetapan.
Sejak itu proses pertukaran bayi diatur pihak KPAI secara bertahap. Dengan cara, dua ibu dan bayi-bayi mereka sering ketemu. Awalnya tiga hari sekali. Kemudian meningkat jadi setiap hari.
Mestinya, sesuai perjanjian, bayi-bayi itu baru ditukar 25 September 2023. Tapi, karena para ortu mereka tidak sabar, maka bayi-bayi itu ditukar dua pekan lebih cepat.
Hasilnya, ketika bayi-bayi itu bertukar ortu dan otomatis bertukar rumah, para ortu jadi kerepotan. Karena bayi-bayi itu sangat rewel. Mereka tidak kerasan di situasi yang baru. Rumah baru, ortu baru, dan ASI baru (keduanya sama-sama minum ASI).
Dian: “Malam pertama ia rewel terus. Malam ke dua tetap rewel, tapi agak mending. Malam-malam berikutnya ia sudah biasa. Belum seminggu, ia sudah memanggil saya Mama. Saya sangat senang dipanggil Mama.”
Penyesuaian yang sangat cepat. Baik bagi bayi maupun para ortu. Tiga pihak sama-sama saling menyesuaikan.
Cerita yang mirip terjadi di keluarga Siti. Diceritakan Siti, hampir dua pekan si bayi rewel. Siti sempat bimbang bertukar bayi. Maklum, dia sudah merawat menyusui bayi satunya, lebih dari setahun.
Tapi, tekadnya bertukar bayi sudah bulat. Dia dan suami berjuang keras menyesuaikan diri. Juga berupaya keras merawat dengan kasih sayang bayi barunya itu. Akhirnya, si bayi bisa menyatu dengan ibu dan ayah. Si bayi sudah bisa memanggil Mama dan Papa.
Lantas bagaimana sanksi buat RS Sentosa? Dian menjawab: “Kami sudah laporkan ke polisi. Akibat kesalahan rumah sakit, kami jadi menderita. Bahkan ibu saya syok, sakit gegara ketahuan bayi tertukar.”
Dian: “Pihak rumah sakit sempat minta damai. Menawari kami, bahwa bayi kami disekolahkan sampai tamat SMA. Juga pengobatan gratis sampai tamat SMA juga.”
Siti (kiri) dan Dian sudah tinggal bareng dengan anak kandung. (FOTO: Kolase Surya.co.id)
Dian, juga Siti, menolak tawaran itu. Alasan Dian: “Di Bogor sini sekolah SD sampai SMA negeri sudah gratis. Kesehatan juga sudah pakai BPJS. gimana sih? Tentu kami tolak. Kami tetap lapor polisi.”
Dian: “Pihak rumah sakit kepada kuasa hukum saya (Binsar Aritonang) sempat menawari kompensasi Rp 100 juta. Tapi tawarannya tidak langsung kepada saya. Ya, saya tetap menolak.”
Tawaran yang sama, dan penolakan yang sama, juga dilakukan Siti. Tapi, soal duit kompensasi Rp 100 juta Siti tidak tahu. Dia menolak tawaran beasiswa sampai tamat SMA dan pengobatan gratis. Siti tetap lapor polisi.
Bagaimana tanggapan polisi? Kapolres Bogor, AKBP Rio Wahyu Anggoro kepada pers, JUmat (15/9) mengatakan:
“Kami masih mengumpulkan bukti. Kalau cukup bukti, ya kita tingkatkan ke penyidikan. Kita hati-hati dalam naik sidik dan penetapan tersangka, makanya saya tidak mau gegabah.”
Bukti hasil uji DNA silang di RS Bhayangkara Bogor, jelas menyatakan bahwa kedua bayi itu tertukar. Tapi polisi masih membutuhkan bukti-bukti lain.
AKBP Rio: “Kasus ini bersifat lex specialis, atau hukum yang bersifat khusus. Sehingga setidaknya harus ditemukan dua alat bukti yang kuat.”
Dilanjut: “Saya harus bisa mencari dua alat bukti. Sehingga naik sidik atau tidaknya, tergantung dari dua alat bukti, Insya Allah secepatnya akan saya umumkan.”
Kasus ini pertama di Indonesia, yang ditangani polisi. Kasus serupa bayi Dewi dan Cipluk pada 1985 tidak diselesaikan di Kepolisian, melainkan langsung menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis hakim yang menetapkan bahwa bayi itu tertukar, dan harus ditukar.
Padahal, jika sistem administrasi rumah sakit standar, tidak mungkin bayi lahir tertukar ortu. Di negara-negara maju, sistem administrasi soal ini sudah diatur sejak tahun 1960-an, atau lebih dari 60 tahun lalu.
Joseph Bolivar De Lee dalam bukunya berjudul, Obstetrics for Nurses, London and Philadelphia (1966) menyebutkan cara rumah sakit bersalin menghindari bayi tertukar ortu. Dipaparkan rinci. Antara lain:
Pihak rumah sakit wajib mengambil sidik jari tangan dan tapak kaki, begitu bayi baru saja keluar dari rahim ibunda. Perawat juga wajib memeriksa ulang ibu si bayi, memeriksa identitas ibu dan ayah bayi, untuk mencegah tertukar.
Rumah sakit wajib menetapkan nomor rekam medis untuk bayi saat lahir, dan mencantumkan nomor ini serta nama belakang ibu bayi, jenis kelamin bayi, serta tanggal dan waktu lahir. Ditempatkan pada bayi dan ibu, segera setelah melahirkan, sebelum ibu dan anak dipisahkan.
Jadi, intinya semua dilakukan sebelum bayi dan ibu dipisahkan untuk dirawat di kamar berbeda. Sedangkan yang terjadi di banyak rumah sakit kita, bayi diberi gelang kaki bertulisan nama ibu, setelah bayi dibawa ke ruang bayi, atau terpisah dari ibu.
Uniknya, sedemikian tradisional cara rumah sakit kita menangani persalinan, bayi tertukar di Indonesia baru terjadi dua kali dalam kurun 38 tahun terakhir. Tapi, bisa saja selama ini ada bayi lain yang tertukar dan ortu mereka tidak tahu. Sehingga tidak perlu uji DNA.
Atau, mungkin ada juga ortu yang tahu bayi tertukar tapi dibiarkan. Toh, sama-sama anak manusia. (*)