COWASJP.COM – Ketua KPK, Firli Bahuri jadi tersangka pemerasan, membuat kalimatnya “The corruptor strike back” jadi omong kosong. KPK ibarat rumah, sudah roboh. Rakyat Indonesia pasti sedih, di tengah korupsi merajalela, Ketua KPK begitu.
***
TAPI, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyatakan, insan KPK tidak malu atas penetapan Firli sebagai tersangka. Itu ia katakan di konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (23/11/2023).
Alexander: "Sekali lagi kita juga harus berpegang pada prinsip praduga tidak bersalah. Itu sejak dulu yang kita pegang. Apakah kami malu? Saya pribadi, tidak! Karena apa? Ini belum terbukti. Belum terbukti,"
Kata-katanya bernada optimistis. Tapi getir. Karena, Firli, Ketua KPK pertama yang jadi tersangka korupsi (pemerasan) sejak KPK berdiri 2003. Karena, nama gedungnya saja Merah Putih sesuai warna gedung itu di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Warna kebanggaan rakyat Indonesia. Kini kebanggaan itu pudar.
Alexander: "Sekali lagi, ini baru tahap awal. Nanti masih ada tahap penuntutan dan pembuktian di persidangan. Itu yang teman-teman wartawan harus kawal, monitor, ikuti bagaimana proses ini berjalan di Polda Metro Jaya.”
Tersirat rasa tidak percaya Alexander pada Polda Metro Jaya di kalimat itu. Seperti halnya ketika ada kabar kematian saudara kita, lalu kita tak percaya. Tapi ini benar-benar terjadi. Dirkrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak pada Rabu (22/11) malam mengumumkan Firli tersangka, begini:
"Berupa pemerasan, atau penerimaan gratifikasi, atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya terkait penanganan permasalahan hukum di Kementerian Pertanian Republik Indonesia pada kurun waktu tahun 2020 sampai 2023.”
Penyidik, kata Kombes Ade, sudah bertindak hati-hati, dengan memintai keterangan 91 saksi. Bahkan, sampai saksi ahli gerak tubuh untuk menganalisis gestur Firli di foto saat bertemu terduga korban pemerasan, Menteri Pertanian (saat itu) Syahrul Yasin Limpo di GOR Bulutangkis Jakarta yang beredar luas itu.
Firli dijerat Pasal 12e, 12B atau Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.
Bunyi Pasal 12e: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Pasal 12B: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan ancaman hukuman segitu, Firli tidak langsung ditahan saat ditetapkan tersangka. Sedangkan, sesuai KUHAP, tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun ke atas, seharusnya ditahan.
Ditanya wartawan, berapa nominal pemerasan Firli terhadap Syahrul Yasin Limpo?
Ade menjawab: "Terkait dengan materi penyidikan, nanti kita update berikutnya.”
Tapi polisi sudah menyita dokumen penukaran valuta asing (valas) dengan total Rp 7,4 miliar. Juga ikhtisar Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) atas nama Firli Bahuri periode 2019-2022. Juga 21 unit ponsel disita.
Kombes Ade: "Dokumen penukaran valas dalam pecahan SGD dan USD dari beberapa outlet money changer dengan nilai Rp 7.468.711.500 sejak bulan Februari 2021 sampai September 2023.”
Dari kalimat Ade itu wartawan menafsirkan, bahwa Firli menukarkan mata uang asing ke money changer senilai segitu. Bukti penukaran itu sudah disita polisi. Logikanya, itulah uang pemerasan Firli terhadap Syahrul.
Perkara pemerasan, paling sulit dibuktikan. Setidaknya, dibuktikan oleh bukti hukum langsung. Sebab, semua pemeras pasti sangat teliti agar jangan sampai ada bukti. Jangan sampai ada yang tahu, kecuali pemeras dan yang diperas. Jangan sampai ada rekaman CCTV atau rekaman dari kamera video tersembunyi. Tidak mungkin ada tanda terima pembayaran peras.
Apalagi, dalam hal ini, tersangka dan korban sama-sama tokoh, sama-sama cerdas, sama-sama hati-hati.
Mungkin, karena itulah Wakil Ketua KPK Alexander berpesan ke wartawan di konferensi pers, mengatakan: “Ikuti, bagaimana proses ini berjalan di Polda Metro Jaya.”
Mungkin, bukan Alexander tidak percaya pada penyidik Polda Metro Jaya. Melainkan, salah satu bukti hukum yang dikatakan Kombes Ade adalah bukti tidak langsung. Bukan bukti langsung.
Betapa pun, rakyat Indonesia berduka atas penetapan Firli sebagai tersangka. Harapan pemberantasan korupsi luntur sudah. Sebaliknya, koruptor dapat angin baru. Paling tidak, koruptor bisa berdalih: “Ketua KPK-nya aja begitu.” (*)