Laporan Okky dari Portugal (59)

Paling Enak ke Swiss untuk Liburan, Jangan untuk Tinggal Lama

Zirco yang berjuang melawan dinginnya udara Swiss. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

COWASJP.COMTODDLER yang berumur 3 tahun sedang di fasenya sering tantrum (uring-uringan). Dari mulai hal sepele hingga masalah besar. Kinerja otak sedang bertumbuh untuk bisa mengelola stres yang dirasakan. Tentu membutuhkan peran orang tua di sampingnya untuk tumbuh kembangnya. 

Sama seperti halnya proses adaptasi merantau di Eropa yang sudah memasuki tahun ketiga. Banyak sekali proses tantrum dan stres yang harus dikelola dengan baik. Dukungan orang terdekat menjadi sumber energi pertama untuk terus bisa berjuang melewati kehidupan sehari-hari. 

Bagaimana rasanya 3 tahun merantau (ke Eropa) dan belum pernah pulang ke Indonesia yaa?

Masih teringat jelas 3 tahun lalu tepat pada bulan Juli tanggal 11 tahun 2021. Kami terbang pertama kali ke Swiss pada masa pandemi covid. Salah satu orang Indonesia yang beruntung karena satu hari setelah kami terbang dari Surabaya ke Singapura ternyata Singapura menutup semua penerbangan dari Indonesia. Hanya transit pun nggak boleh.  

Dengan menggunakan fasilitas pesawat kelas bisnis, membuat DoubleZ (dua anak laki-laki penulis: Zirco dan Zygmund) nyaman dalam penerbangan jauh Singapura - Swiss. Hampir 18 jam nonstop. 

BACA JUGA: KBRI Gelar Pasar Kuliner Indonesia 2024 di Lisabon​

Zirco yang masih umur 4,5 tahun sudah mulai bisa dikendalikan. Dia sudah tahu apa yang dia rasakan dan inginnya apa. Hanya untuk jalan jauh dia belum kuat. Jadi rewelnya karena capek jalan. Zygmund yang masih berusia 10 bulan, cenderung aman juga. Aktifitasnya masih banyak digunakan untuk tidur, makan, rewel, pup, main, merangkak ke sana ke sini. Aktif sekali pokoknya ya bunda.

Keputusan untuk tinggal 1 tahun di Swiss ternyata membawa rezeki baru. Bagi kami ini adalah semua keberkahan besar. Tuhan memberikan kesempatan untuk keluarga kecil kami explore negara di Eropa. 

Rezeki tidak berhenti sampai situ saja. Ternyata kami tidak pulang ke Indonesia setelah Papi Fariz menyelesaikan tugasnya di Swiss. Kami paham sekali keputusan ini berat untuk keluarga di Indonesia. Mereka yang awalnya memiliki harapan berjauhan dari cucu hanya 1 tahun ternyata sekarang bertambah. Proses diskusi bersama suami tidak memakan waktu lama. Saat suami cerita akan dipindahkan tugas dengan mantab saya langsung menjawab “Ayok pindah dan berpetualang, jangan khawatir aku sudah siap untuk resign dari profesi dosen”. 

oky232ec9.jpgMengatasi stres dan tantrum dengan kegiatan positif. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Belum tuntas 1 tahun, ternyata hanya 9 bulan di Swiss langsung pindah ke Portugal. Ya, negara yang terkenal dengan bintang sepakbolanya Cristiano Ronaldo. Hampir 1 minggu sebelum keberangkatan nangis setiap hari gara-gara meninggalkan negeri dongeng yang sungguh indah ini, hehe. 

Tapi percayalah, tinggal di Swiss itu lebih cocok kalau liburan atau penempatan singkat seperti ini. Kalau jadi warga lokal Swiss harus siap dengan segala mahalnya semua barang, harga sewa, dll. Ingat!! Di balik gaji Swiss yang besaaaaaar, ada biaya hidup yang jauh lebiiih besaaaaar. 

Yang enak tuh kalau dapat gaji Swiss tapi tinggal di Indonesia. Naaah sudah berasa jadi sultan tuh moms.

BACA JUGA: UMR Rp 14 Juta Tidak Cukup untuk Bayar Sewa 1 Kamar Apartemen di Pusat Kota Lisbon

Berawal dari wanita karir yang bekerja dari 9 to 5, kemudian mengerjakan pekerjaan rumah semua, mengurus anak sendiri tanpa bantuan keluarga, masak sendiri tanpa order dari aplikasi online sungguh melelahkan. Stres melihat harga barang di supermarket yang mahalnya selangit juga menambah pusing. 

Dari anak kota yang sukanya pergi ke mall mendadak disuguhi area yang tidak ada mall-nya. Langsung bingung weekend mau ke mana? Toko-toko besar hari Minggu tutup, hari Sabtu buka setengah hari, jalanan sepi, itu berasa aneh. 

Tidak boleh membuat suara bising pada hari Minggu sudah buat ketakutan kalau tiba-tiba polisi datang karena laporan tetangga. Belum lagi kondisi udara yang kering membuat kulit rasanya tidak nyaman sekali.

BACA JUGA: Asyiknya Bukber Bersama Teman dari Pakistan, China dan Amerika​

Lalu kenapa masih betah merantau dan tidak pulang ke Indonesia saja?

Ada hal lain yang lebih penting untuk lebih kita syukuri daripada fokus dengan stres dan mengeluh. Hidup di Swiss berempat merupakan salah satu impian keluarga kecil kami. 7 tahun yang lalu saya pernah mengharapkan sesuatu yang konyol. “Apa mungkin melanjutkan S3 di Swiss saja ya, kan di sana ada kantor suami juga, jadi sekali dayung dua pulau terlampaui”. Ternyata Tuhan berikan jawaban itu dengan cara tidak terduga dan tujuan yang berbeda. Masya Allah. Alhamdulillah. 

oky12f7f6.jpgKetika di Terbarunya Switzerland, lembah indah di ketinggian 802 meter DPL, 3 tahun lalu. (FOTO: Dok. Okky Putri Prastuti)

Hidup berempat di apartemen kecil, tidak punya mobil, membuat kami hidup lebih simple dan sederhana. Bisa dibilang merasakan stres tingkat rendah. Kok bisa?

Puji syukur pihak kantor memilihkan apartemen yang letaknya sangat strategis. Untuk pergi ke sekolah atau ke kantor cukup jalan kaki. Tidak sampai 500 meter. Kalau ingin naik bus cukup 1x stop. Kebetulan di depan apartemen ada halte bus. Kami belajar ke mana-mana jalan kaki, naik bus, metro, dan kereta. Tanpa mobil. Belajar lari untuk mengejar bus dan kereta. Tanpa pusing harus nyetir, bermacet-macetan, cari parkir, bayar parkir mahal, beli bensin, bersihkan dan cuci mobil. Semua stress itu hilang. 

Kantor memberikan fasilitas langganan tiket bulanan naik transportasi umum. Sehingga memudahkan kami untuk berpergian di Lausanne - Swiss. Kalau mau ke luar kota harus beli dan bayar tiket sendiri ya.

BACA JUGA: Paling Ramai Acara Bukber di Mesquita Central Lisboa, Lanjut Shalat Tarawih​

Dari yang suka menghabiskan uang untuk belanja makanan di mall dan aplikasi online, kami hidup lebih sederhana. Memasak, mencoba resep baru. Zirco belajar ikut memasak di dapur, Papi Fariz (suami penulis) mulai berkreasi dengan resep-resep yang berseliweran di instagram. Sebelumnya saya tidak pernah masuk dapur, hanya merebus indomie, masak telur ceplok, dan goreng nugget saja. Urusan dapur selebihnya selalu dihandle sama Utinya (neneknya) Zirco di Surabaya. 

Saya akhirnya senang sekali bisa belajar memasak di dapur sendiri dengan 3 pelanggan yang selalu menjadi korban icip-icip masakan mami DoubleZ. Zygmund yang sedari bayi sudah ikut kegiatan di dapur, sudah mulai berani ikut menumis lho. Stres tidak begitu besar, karena kompor yang ada di apartemen adalah kompor listrik. Sehingga tidak begitu berbahaya bagi saya dan Zygmund. Impian saya adalah DoubleZ selalu mengingat cita rasa masakan maminya, meskipun suatu saat nanti mereka sudah merantau jauh untuk mencapai cita-citanya. Amin Amin Amin.

Di apartemen yang sederhana ini kami mulai belajar untuk sharing tanggung jawab. Zirco sudah mulai belajar mandi sendiri dan bantu beres-beres. Papi juga dapat bagian untuk ngepel, cuci piring setelah dinner dan buang sampah. Tidak hanya saya yang bertugas membersihkan rumah. Hal ini juga bisa mengurangi stres. Beruntungnya selama di Swiss juga ada fasilitas orang yang membersihkan rumah seminggu sekali. Sprei dan handuk juga diganti setiap 2 minggu sekali. 

oky5.jpgDoubleZ pertama kali menginjakkan kaki di Eropa, di Swiss. (FOTO: Okky Putri Prastuti)

Saya mulai memperhatikan mereka bagaimana cara efisien membersihkan rumah. Maklum di Indonesia setiap nyapu dan ngepel rumah akan selalu mendapatkan komplain karena kurang bersih. Siapa yang sama seperti saya? hihihihi. Di sini saya belajar bahwa standar kebersihan dan kerapian masing-masing orang itu berbeda. 

So far tinggal di Swiss itu serasa liburan panjang. Selama 9 bulan di Swiss kami tidak memikirkan biaya apartemen, air, gas, listrik, transportasi, dan sekolah. Uang saku harian yang di dapat oleh Papi Fariz dibuat makan dan kebutuhan sehari-hari. Masih ada sisanya banyak dong? Kaya raya yaaa??? Jelas habis bersih karena hampir setiap minggu kami traveling luar kota untuk explore indahnya Switzerland. Jadi kalau ditanya ke mana gaji Swiss CHF atau Euro mu selama ini? Uangnya terbang untuk bayar liburan dan mengukir kenangan yang tak terlupakan bersama DoubleZ. 

BACA JUGA: Bulan Ramadhan di Lisbon Tidak Ada Takjil​

Berkat tinggal di Swiss, DoubleZ bisa menginjakkan kakinya pertama kali di Paris - Perancis dan Milan - Italia. Alhamdulillah. Masya Allah. Rezeki yang luar biasa dari Allah.

Dari penatnya pandemi covid di Indonesia yang mengharuskan memakai masker ke mana-mana mendadak kami mendapatkan kenyamanan lepas masker. Di Swiss hanya wajib memakai masker di indoor (transportasi umum, supermarket, rumah sakit). Sedangkan di outdoor sudah bebas lepas masker. Kami bisa merasakan segar dan bersihnya udara. Supeeeer bersih. Bahkan langit Swiss tidak pernah berwarna biru ke-abu-abu-an. Selalu biru cerah, bersih tidak ada polusi. 

BACA JUGA: Anak Umur 7 Sudah Bisa Duduk di Kelas 3 SD, Bagaimana Ceritanya?​

Apabila ingin memfoto maka tidak diperlukan aplikasi apapun. Selalu tampak cantik. Bibir pun tak henti-hentinya mengucapkan syukur atas keindahan alam ini.

Kami berempat sama-sama menjadi support sistem andalan. Siapa pun yang pada saat itu sedang stres dan tantrum karena proses adaptasi, maka yang lainnya saling menguatkan. Dewasa dan anak-anak pun juga bisa sama-sama berasa di posisi ini. Karena di balik keindahan dan kenyamanan yang didapatkan juga ada kesusahan selama hidup merantau.

Kenyamanan liburan panjang ini seketika pudar sedikit demi sedikit setelah kami pindah ke Lisbon - Portugal. Kok bisa? 

Apakah menyesal pindah ke Portugal dan lebih baik balik pulang ke Indonesia saja? Ikuti cerita selengkapnya edisi flashback Mami DoubleZ merantau 3 tahun di Eropa. (Bersambung)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda