COWASJP.COM – SAYA termasuk orang yang beruntung tahun 2024 ini karena secara tidak disangka-sangka saya lolos sebagai petugas haji kloter 34 SUB. Sedari awal saya agak ragu akan lolos seleksi, dikarenakan saya hanya mengandalkan rekomendasi dari pesantren yang saya bina.
Begitu pendaftaran petugas haji oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI dibuka, saya coba-coba mendaftarkan. Siapa tahu saya lolos.
Dan benar saja, saat mengikuti tes tulis Computer Assist Test (CAT) di Kemenag Kabupaten Probolinggo, saya dinyatakan lolos. Kemudian harus ikut tes lanjutan, yaitu tes wawancara di Kemenag Provinsi Jawa Timur.
Di tahapan ini, perasaan saya mulai kacau mengingat latar belakang saya yang bukan pegawai negeri Kemenag, alias hanya rekomendasi pesantren.
BACA JUGA: Cerita Pilu Toko-Toko Kitab di Mekkah yang Tak Serenyah Toko Coklat
Di luar dugaan pula, saya dinyatakan lolos untuk formasi Pembimbing Ibadah Haji Kloter (PIHK) atau bimbingan ibadah (Bimbad).
Begitu diterima sebagai petugas haji kloter, saya harus memenuhi persyaratan-persyaratan lain. Di antaranya adalah sertifikat pembimbing ibadah haji profesional. Setelah semua persyaratan terpenuhi, barulah saya mengikuti bimbingan teknis (bimtek) di Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES) di Sukolilo.
BACA JUGA: Pantang Tidur Sebelum Jama'ah Hilang Ditemukan
Bimtek yang digelar selama 9 hari tersebut diikuti juga oleh para calon ketua kloter, para dokter dan perawat. Semuanya melebur jadi satu sesuai dengan bidang penugasan masing-masing. Untuk materi bimbad kloter, salah satu materi yang menarik adalah materi tentang fiqih moderasi.
Fiqih moderasi yang digalakkan oleh Kemenag RI merupakan terobosan dan lompatan yang luar biasa. Sebab, fiqih moderasi ini merupakan alternatif yang bisa dipilih saat jama’ah haji ada yang karena faktor lanjut usia (lansia) dan risiko tinggi (risti) yang tidak bisa melaksanakan fiqih yang konvensional.
PIHK Kloter 34 saat mendiskusikan materi ibadah dengan ketua kloter. (FOTO: Dok. Ramly Syahir)
Fiqih moderasi adalah fiqih jalan tengah saat seseorang kesulitan melaksanakan fiqih normal (azimah). Dalam bahasa lainnya, fiqih moderasi adalah fiqih yang di dalamnya ditawarkan dispensasi semacam keringanan (rukhshah), saat ada alasan (illat) yang membolehkannya untuk mengambil keringanan tersebut.
Jujur diakui bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji memang terdapat banyak kesulitan, yang kalau dilaksanakan secara konvensional akan menyulitkan jama’ah haji. Bahkan bisa berakibat fatal.
BACA JUGA: Tunda Tawaf Ifadhah demi Keselamatan Jama'ah
Maka, fiqih moderasi menjadi pilihan yang bisa ditawarkan kepada jama’ah haji lansia, risti ataupun yang mempunyai cacat fisik yang lain. Salah satu contohnya adalah soal sholat di dalam pesawat.
Tentang sholat jama’ah haji di dalam pesawat ini ada empat pendapat:
Pendapat pertama, adalah sebagaimana yang dipegang oleh kalangan Malikiyah. Menurut pendapat pertama ini, mereka yang berada di dalam pesawat sudah tidak dikenakan kewajiban sholat karena ketiadaan air dan debu. Kewajiban sholat diganti dengan memperbanyak dzikir.
BACA JUGA: Hindari Peziarah Siluman, Petugas Raudah Lakukan Pemeriksaan Ekstra Ketat
Pendapat kedua, menurut Imam Hanafi, dalam kondisi di pesawat yang tidak berpijak langsung dengan bumi, maka jama’ah haji tidak usah sholat di dalam pesawat. Namun ketika mendarat diharuskan mengqodho sholat yang ditinggalkan.
Pendapat ketiga, menurut Imam Syafi’i, jama’ah haji tetap sholat di atas pesawat dengan tayammum. Namun dengan alasan menghormati waktu, dan ketika mendarat sholatnya harus diulang (i’adah).
PIHK saat memberikan bimbingan ibadah sholat di pesawat. (FOTO: Dok. Ramly Syahir)
Sedangkan pendapat yang keempat, adalah pendapatnya Imam Hambali yang mengatakan bahwa sholat sebagaimana biasa di atas pesawat, dan tidak usah dilakukan pengulangan.
Saat saya kumpulkan jama’ah kloter 34 dan diadakan bimbingan di mushalla Hotel Souad Palace di daerah Misfalah, saya coba memberi penawaran kira-kira pendapat mana yang mereka pilih? Dan ternyata separuh jama’ah lebih memilih pendapatnya Imam Malik karena lebih enak dan enteng. Sebagian yang lain memilih pendapat Imam Hanafi. Namun, sebagai pembimbing yang bertanggung jawab dalam hal ibadah, saya tetap menganjurkan jama’ah agar tetap mengikuti pendapat imam Syafi’i bagi yang tidak ada udzur. Dan boleh mengikuti Imam Hambali bagi yang risti dan lansia. Pendapat imam Malik yang dirasa nyaman dan enteng tidak saya rekomendasikan bukan karena salah, namun sekadar untuk kehati-hatian saja.
BACA JUGA: Kesigapan Petugas Arab Saudi Melayani Jama'ah Tersesat
Setelah mendengar arahan saya agar tidak mengikuti imam Malik, para jama’ah haji manut (sepakat) saja mengikuti saran saya. Walaupun dalam hatinya mungkin sedikit kesal karena tidak jadi ikut pendapat yang enteng-enteng.
Banyak lagi pendapat-pendapat ulama’ yang bisa dicarikan konsep moderasinya dengan tidak meninggalkan semangat kehati-hatian (ihthiyat) dalam pelaksanaan manasik haji. Termasuk safari wukuf, badal wukuf, dan murur saat bermalam di Muzdalifah yang baru saja diterapkan oleh Kemenag sebagai penyelenggara ibadah haji Indonesia.(*)