Bicara Lingkungan, Tak Hanya Berbagi Ilmu tapi juga Harapan

Foto: Dokumen Pribadi

COWASJP.COMBEBERAPA waktu lalu, saya mendapat kabar yang membuat hati bergetar senang. Saya diundang menjadi narasumber dalam acara “Peningkatan Kesadaran terhadap Lingkungan melalui Pelatihan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dengan Prinsip Zero Waste”. 

Yang mengundang bukan sembarang lembaga, melainkan almamater saya sendiri—FISIPOL UGM, melalui Institute of International Studies dan dana hibah UP3M. Rasanya seperti pulang ke rumah lama dengan membawa bekal pengalaman baru. 

Dan lebih serunya lagi, materi yang diminta bukan sesuatu yang asing, melainkan kerjaan sehari-hari saya: edukasi gaya hidup zero waste. Hehehe, ini namanya mengajar sambil curhat pengalaman.

Hari itu, ruangan sederhana di Balai Desa Sukoharjo, Ngaglik, Sleman dipenuhi wajah-wajah bersemangat. Hadir ibu-ibu PKK, ibu ketua RT perwakilan RW, hingga anak-anak muda Karang Taruna. Mereka datang bukan sekadar mengisi kursi, tapi dengan mata berbinar dan buku catatan di tangan. Saya pun semakin bersemangat.

BACA JUGA: Perjuangan Menjaga Bumi Tak Bisa Ditunda Lagi, Aisyiyah Telah Memulai​

Saya mulai dengan memperkenalkan prinsip dasar zero waste—lima langkah kecil yang bisa kita praktikkan di rumah: refuse, reduce, reuse, recycle, dan rot. Saya ceritakan bagaimana menolak barang sekali pakai, mengurangi konsumsi berlebihan, memanfaatkan ulang, mendaur ulang, hingga mengomposkan sisa makanan. 

Sesekali saya selipkan celoteh ringan, agar suasana cair. Misalnya saat saya sampaikan ada aturan yang menegaskan bahwa “setiap orang wajib memilah sampah, “ saya tanya kalian semua orang kan? Hahaha semua tertawa dan menjawab: “Iya. Orang! “

BACA JUGA: Salah Kaprah Istilah Kerajinan Daur Ulang​

Rupanya mereka benar-benar antusias. Tangan-tangan terangkat, pertanyaan mengalir, tanda bahwa topik ini benar-benar menyentuh keseharian mereka.

Untuk menambah semarak, saya membawa “hadiah kecil”: beberapa sapu tangan yang saya kemas dalam wadah unik. Di dalamnya ada pesan edukasi soal pengurangan penggunaan tisu. Saya memberi judul “Cerita dalam Sepotong Tisu.” Salah satu peserta, seorang ibu, saya minta membacakan tulisan di dalamnya dengan lantang.

“Tahukah bahwa tisu adalah sampah yang lembut tapi sulit terurai?” begitu bunyi kalimat awal yang dibaca. 

Mereka terdiam sejenak, lalu terdengar gumaman kaget ketika disebutkan fakta. Sampah tisu di Indonesia per tahun mencapai 25 ribu ton. WWF mencatat, setiap hari 270 ribu pohon ditebang untuk membuat tisu. Untuk memproduksi satu ton tisu, butuh 324 ribu liter air. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, tapi peringatan keras tentang betapa borosnya kebiasaan kecil kita.

Di akhir, tulisan itu saya tutup dengan ajakan sederhana namun penuh makna: “Yuuk! Kembali gunakan sapu tangan dan lap makan untuk kurangi tisu!” Seketika ruangan riuh dengan anggukan, dan komentar spontan. Beberapa ibu bahkan langsung mengatakan sudah lama tidak pakai lap makan. Mereka pun mengaku siap berubah. 

“Bu-ibu!“ kata saya, “Mengurangi tisu ini berarti juga mengurangi pengeluaran. Percayalah!“ Yang duduk bersebelahan saling memandang. Sepakat membenarkan perkataan saya. “Kalau ibu-ibu, selisih lima rupiah saja, bisa pindah toko saat belanja… Ya kan? “ seloroh saya.

Sabtu itu, saya merasa bahagia bukan hanya karena materi tersampaikan, tapi karena ada dialog hidup. Ada percikan kesadaran. Ada rasa yakin “oh, ternyata saya bisa mulai dari hal kecil.” Itulah yang saya cari dalam setiap pendampingan pengelolaan sampah.

Yang lebih membahagiakan lagi, program ini tidak berhenti di satu kali pertemuan. Saya dijadwalkan kembali untuk mengisi pada tanggal 5 Oktober mendatang. Artinya, akan ada keberlanjutan, bukan sekadar seremoni. 

Dalam pertemuan besok, sudah ada evaluasi sikap hidup mereka. Karena salah satu PR dari pertemuan pertama, mereka diminta menimbang timbulan sampah di rumah masing-masing.

Dan kali ini saya beruntung. Punya partner yang keren: Kang Maman Sulaeman bersama tim Gerakan Sedekah Sampah Muhammadiyah Ranting Ngaglik. Mereka, kebanyakan papah muda dan mamah muda, yang sudah menjalankan pengelolaan sampah berbasis masjid. Konsep ini dikenal sebagai eco-masjid—sebuah terobosan yang menghubungkan spiritualitas dengan aksi ekologis. Dari masjid, mereka mengelola sampah warga, mengedukasi jamaah, sekaligus membangun gerakan sedekah berbasis lingkungan.

Melihat energi Kang Maman dan timnya, saya semakin optimis. Saya yakin, jika rumah ibadah bisa menjadi pusat perubahan perilaku, maka gaya hidup ramah lingkungan akan punya akar yang lebih kuat. Sebab, nilai religius dan nilai ekologis sejatinya saling menyatu.

Pulang dari acara itu, saya membawa perasaan ringan sekaligus penuh semangat. Ada rasa syukur bisa berbagi dengan almamater, ada rasa bangga melihat antusiasme warga, dan ada harapan besar ketika melihat gerakan eco-masjid tumbuh subur. 

Saya percaya, perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil, dari sepotong tisu yang kita tolak, dari sehelai sapu tangan yang kita pakai ulang, hingga dari komunitas kecil yang konsisten bergerak.

Dan pada akhirnya, saya belajar lagi satu hal penting. Ketika kita berbicara soal lingkungan, bukan hanya ilmu yang kita bagikan, tapi juga harapan. Harapan bahwa bumi ini bisa tetap layak dihuni, asalkan kita mau memulainya dari rumah, dari masjid, dari desa, dari diri kita sendiri. 

Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Pewarta : -
Editor : Erwan Widyarto
Sumber :

Komentar Anda