COWASJP.COM – Siang saat mentari mulai tergelincir, sekitar pukul 14.00, sinarnya masih tajam tapi sudah mulai menguning, memantul di genting baru Pendapa Ramayana Tamanmartani. Desa yang biasanya teduh itu tiba-tiba terasa lebih riuh, seolah ada denyut baru yang sengaja disiapkan. Di pintu masuk, bau bakmi Jawa yang dimasak dengan arang bercampur aroma wedang bir plethok yang mengepul dari teko besar. Semua seperti menyambut satu momen yang sudah lama ditunggu: peresmian Pendapa Ramayana Tamanmartani.
***
Di bawah langit yang mulai lembut, satu per satu tamu berdatangan. Sekda Sleman, Susmiarto, dengan senyumnya yang tenang; perwakilan Kundha Kabudayan yang memerhatikan detail pendapa sambil mengangguk-angguk puas; Kadispar Sleman yang beberapa kali tampak berdiskusi dengan pengurus desa; serta para pelaku pariwisata dari berbagai asosiasi — GIPI, ASITA, WIPI, HPI, Astindo, ASPPI, PPHI, dan lainnya. Kehadiran mereka bisa menjadi bukan hal kecil. Hari ini bukan hanya tentang peresmian bangunan, tetapi tentang arah baru pariwisata Sleman Timur.
Tepat ketika jam mendekati 15.00, gamelan mulai berdenting. Nada-nada rendah itu bergerak pelan, seolah mengajak seluruh hadirin mengatur napas: acara dimulai. Dari sisi panggung, muncul sosok “kera” itu — lincah, gesit, dan jenaka. Tari Kethek Ogleng menjadi pembuka yang memikat dan memecah kecanggungan awal. Gerakan para penari membuat anak-anak desa terkikik, sementara tamu-tamu dari asosiasi pariwisata sesekali mengeluarkan ponsel untuk merekam.
Sore yang awalnya biasa itu tiba-tiba berubah menjadi panggung mini festival. Cahaya matahari jatuh miring. Cahaya lampu memantulkan kilau di kostum penari. Sementara dari arah angkringan, aroma sate usus, tempe bacem, dan sega kucing semakin menggoda. Di tenda lain, nasi goreng, bakmi dan aneka camilan lain, menunggu diserbu. Beberapa tamu undangan dari asosiasi memilih berdiri sambil menikmati jajanan, membuat suasana terasa cair dan merakyat.
Ketika Kethek Ogleng perlahan meredup, gamelan kembali mengambil alih. Kali ini, alunannya lebih panjang, lebih megah, tanda lakon besar akan dimulai: Sendratari Ramayana.
Para pemain naik ke panggung dengan percaya diri. Namun, yang membuat penonton terkesima bukan hanya gerakan indah mereka, melainkan fakta bahwa hampir semua penari ini adalah warga Tamanmartani sendiri. Sehari-hari mereka bekerja seperti warga lainnya tetapi malam-malam tertentu mereka tampil di panggung besar: Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Dan hari itu, mereka main di “rumah sendiri.“
Itu sebabnya gerakan Rama tampak kokoh, langkah Rahwana terasa kuat, dan luwesnya Shinta membetot perhatian setiap orang yang menonton. Mereka tampil bukan sebagai warga desa yang “belajar menari”, tetapi sebagai seniman yang sudah terbiasa berada di panggung profesional.
Sore merayap menuju jam 16.00 saat lakon memasuki bagian Alengka. Langit bertambah oranye; cahaya makin dramatis. Sementara di belakang deretan kursi tamu, para ibu sibuk menata bakmi Jawa tambahan karena permintaan tak berhenti.
Di hadapan para tamu, Lurah Tamanmartani, Gandang Hardjanata, memberi sambutan dengan suara mantap. Ia menyampaikan bahwa pendapa ini lahir dari dukungan Dana Keistimewaan (Danais), yang memungkinkan warga memiliki ruang budaya yang layak dan megah.
“Pendapa ini bukan hanya bangunan. Ini rumah bagi seni, rumah bagi warga, dan semoga rumah bagi masa depan pariwisata Tamanmartani,” katanya.
Tapi yang menarik perhatian adalah komentar santainya saat menatap Ketua ASITA Atok Sunarjati yang hadir sore itu: “Sudah layak jual, kan?”
Pertanyaan retoris itu disambut tawa, tapi sesungguhnya ada keseriusan yang mengalir: Tamanmartani memang ingin naik kelas. Mereka ingin panggung yang tidak hanya hidup di hati warga, tapi juga masuk kalender pariwisata.
Gandang menegaskan harapannya agar Sendratari Ramayana tidak berhenti pada hari peresmian. “Kami ingin ini berkelanjutan. Kami siap kolaborasi. Yang penting, jangan dibiarkan berhenti di tengah jalan. Silakan ditanggap. Boleh Kethek Ogleng-nya saja, boleh jathilan-nya saja,” tambahnya.
Sekda Sleman, Susmiarto, memberi sambutan dengan nada apresiatif. Menurutnya, apa yang dilakukan Tamanmartani patut menjadi contoh bahwa kolaborasi antara warga, pemerintah desa, BumKal dan pelaku pariwisata bisa melahirkan daya tarik baru.
“Sendratari Ramayana di Balai Budaya Tamanmartani ini dapat menjadi atraksi wisata yang menguatkan posisi Sleman Timur. Kita butuh titik-titik baru untuk sebaran wisata,” ujarnya. Kehadiran pendapa ini dianggap sebagai pemantik. Terlebih, pemainnya profesional dan lokasinya dekat jalur wisata yang bisa dipaketkan.
Jam mendekati 17.00 saat adegan final Ramayana ditutup dengan tepuk tangan panjang. Para tamu berfoto bersama para penari. Satu hal yang bisa menjadi satu daya tarik bagi tamu jika sendratari ini jadi atraksi wisata.
Senja sudah menjingga, dan bayangan pepohonan desa memanjang di halaman pendapa. Para tamu dan pengunjung tidak langsung meninggalkan lokasi; sebagian masih menikmati jajanan angkringan, sebagian lagi terlibat diskusi kecil tentang kemungkinan paket wisata, jadwal pertunjukan, hingga konsep event bulanan.
Seorang anggota GIPI bahkan berkata sambil menyeruput wedang plethok: “Ini tinggal dikemas sedikit, bisa jadi signature-nya Sleman Timur.”
Para penari yang masih berkostum berdiri di sisi panggung, diberi selamat oleh warga dan tamu. Sore itu mereka bukan hanya seniman, tapi wajah masa depan Tamanmartani.
Ketika jarum jam mendekati 17.30, matahari tenggelam perlahan di balik pepohonan. Pendapa mulai lengang, tapi energi yang ditinggalkan tak hilang. Ada rasa bangga, rasa lega, dan—yang paling penting—rasa percaya bahwa ini hanyalah awal.
Tamanmartani telah membuka panggungnya.
Warga telah memberikan jiwa mereka.
Para pemangku kepentingan telah melihat potensi itu dengan mata kepala sendiri.
Harapan yang paling sederhana tapi paling kuat kini mengalir: Semoga cerita Ramayana di Pendapa Tamanmartani terus hidup, dan menjadi cahaya baru bagi Sleman Timur. (wan)