Belajar Tanpa Guru, Kerja Tanpa Ruang dan Waktu
Kalau saya boleh jujur, apa yang ditularkan Dahlan kepada anak buahnya memang sangat membekas dan akhirnya bisa menjadi bagian dari kehidupan kita.
SelengkapnyaKalau saya boleh jujur, apa yang ditularkan Dahlan kepada anak buahnya memang sangat membekas dan akhirnya bisa menjadi bagian dari kehidupan kita.
SelengkapnyaTahun 1987, tepat 10 tahun berprofesi sebagai jurnalis, atau 2 tahun sebagai kepala Biro Madiun. Berarti dalam karierku sebagai jurnalis, saya hanya menikmati 8 tahun saja sebagai news hunter.
SelengkapnyaBegitu Jawa Pos dipegang Grafity Press dengan manajemen baru (yang saya pahami honornya naik tikel tekuk), semangat saya dalam memburu berita bagaikan api digrujug bensin, eh….sekarang pertalite ya…hehehe.
SelengkapnyaSaya tak mengenal Dahlan Iskan secara dekat, selama saya bergabung dengan Jawa Pos sejak 1988, dan kemudian ditugaskan di tabloid NYATA, KOMPETISI, WANITA INDONESIA (supervisi), JPNN, dan majalah LIBERTY.
SelengkapnyaSiang itu di bulan Maret 1982 saya terkaget-kaget saat pak pos menyerahkan pos wesel. Saya memandangi tulisan nominal di wesel itu seolah tak percaya.
SelengkapnyaAntara Dahlan Iskan dan Bondet (lanjutan)Sebenarnya aku dan Dahlan iskan kenal sudah lama sekali, sebelum ia menjadi komandan Jawa Pos tahun 1982.
SelengkapnyaSaya tidak tahu, mengapa di penghujung malam ini tiba-tiba terketuk untuk menulis secuil kenangan bersama Dahlan Iskan yang kini meringkuk dalam sel tahanan.
SelengkapnyaKok bisa? Jawabnya: Semua tahu, usaha swasta beda dengan usaha negara.
SelengkapnyaSiang pada 1997 di Hotel Sahid Jaya Jakarta. Saya, Wartawan Jawa Pos, usai meliput konferensi pers perbankan oleh Bank Indonesia.
SelengkapnyaMendadak, ratusan orang di halaman depan Hotel Raffles lari berhamburan. Bunyi sirine meraung dari arah pintu samping hotel.
Selengkapnya