COWASJP.COM – ockquote>
O L E H: ERWAN WIDYARTO
-----------------------------------------------
Pernahkah Anda mengikuti ke mana sampah kita berakhir? Pasti belum!
Apakah saya pernah mengikuti ke mana sampah yang saya hasilkan dibawa? Hehehe, belum juga.
Tapi, apakah Anda pernah mempertanyakan hal semacam itu? Setidaknya memiliki pertanyaan semacam itu? Pernahkah Anda menelisik di manakah ujung akhir sampah yang kita produksi? Syukurlah, kalau belum. Karena pasti banyak temannya hehehe.
“Ah, seperti kurang kerjaan aja!” Begitu pasti jawaban yang Anda berikan jika ditanyakan hal seperti itu. Dan memang kurang kerjaan jika kita mengikuti sampah yang kita produksi dari rumah itu akhirnya “berakhir” di mana.
Namun, kalau kita mempertanyakan ke mana saja sampah-sampah yang kita produksi, tentu bukanlah tindakan orang yang kurang kerjaan. Itu sikap orang yang peduli. Sudah seharusnya kan, kita peduli terhadap “masalah” yang kita buat? Sudah pada tempatnya juga kan, kalau kita menaruh perhatian pada sesuatu yang kita hasilkan. Toh, tanpa harus mengikuti sampah kita, kita bisa tahu sebenarnya ke mana saja sampah-sampah itu.
Mungkin, kita begitu yakin dan percaya bahwa sampah-sampah kita, semuanya akan ditampung di TPA (Tempat Penampungan Akhir) sampah. Kita merasa sudah cukup bertanggung-jawab dengan membayar iuran sampah setiap bulan kepada tukang sampah yang berkeliling di sekitar lingkungan kita. Kita sudah merasa bertanggung-jawab dengan tidak pernah membuang sampah sembarangan. Kita juga merasa sudah bertanggung-jawab dengan tidak membakar sampah dan seterusnya.
Tapi, keyakinan-keyakinan kita itu tidak seluruhnya benar. Dari data yang pernah dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata sampah-sampah rumah tangga yang dibawa ke TPA hanyalah sebesar 40,09%. Itu sudah hitungan untuk TPA resmi maupun TPA liar. Itu artinya hanya separuh kurang. Lalu, ke mana sampah-sampah lainnya?
Dari data BPS itu terlihat bahwa sebanyak 7,54% sampah ditimbun, 35,49% dibakar, 1,61% diolah dan sisanya sebanyak 15,27% dibuang atau berserakan di kali, jalan, taman dan sebagainya. (Lihat grafis!)
Sudah barang tentu, data ini cukup memiriskan. Perlakuan sampah yang tidak benar, misalnya dibakar, akan menimbulkan persoalan tersendiri. Asap hasil bakaran sampah, sangat mengganggu. Menimbulkan polusi. Belum lagi kalau yang dibakar adalah benda atau zat yang berbahaya. Asapnya yang terhirup akan sangat membahayakan masyarakat. Begitu pula sampah yang dibuang di kali, semua sudah tahu, hal itu akan membuat saluran mampat. Dan banjir pun terjadi.
Membakar sampah merupakan satu hal yang dilarang dalam pengelolaan sampah. Membuang sampah sembarangan juga satu hal yang harus dihindari dalam pengelolaan sampah yang baik.
Membakar sampah banyak mudharatnya. Dan itu ternyata tidak hanya pembakaran di area terbuka. Di area tertutup pun, pembakaran sampah yang tidak benar teknologinya, juga memberikan dampak negatif. Ada contoh kejadian yang bisa dijadikan cermin atau diambil hikmahnya. Dalam salah satu tulisan yang pernah saya baca diungkap kejadian di Jerman seperti ini.
Tahun 1980-an unit pembakaran sampah resmi di Jerman didemo. Tuntutan para pendemo ini bisa sangat diterima karena memang saat itu emisi yang dikeluarkan oleh cerobong dari pembakaran sampah sangat kotor dan mencemari lingkungan. Bukan hanya emisi CO2 tapi juga logam berat, furan dan dioksin sangat mengkhawatirkan.
Aksi protes tersebut mendapat respons. Yakni, perbaikan pada proses pembakaran. Di antaranya semakin ketatnya aturan lingkungan. Aturan ini pun membuat para ahli teknologi pembakaran dan para ahli lingkungan berupaya keras membuat pembakaran sampah menjadi lebih ramah lingkungan.
Dan usaha para cendekia ini memberikan hasil, sekarang lebih dari 55% sampah di Jerman didaurulang dan dikompos, sisanya baru dibakar. Hasil pembakaran ini pun sangat menggembirakan kemajuannya, emisi dioksin yang keluar dari pembakaran sampah di Jerman dari tahun ke tahun terus menurun dibandingkan dari industri lain.
Di tempat kita, dari data yang ada di BPS, masih menunjukkan tingginya prosentase sampah yang dibakar. Padahal pembakaran sampah di sini, dilakukan tidak dengan teknologi. Sampah yang ada dibakar begitu saja.
Alasannya, ada-ada saja. Ada satu cerita. Di suatu wilayah, seringkali terlihat sampah yang menumpuk di pinggir jalan karena orang-orang membuang secara sembarangan. Hal seperti itu tentu tidak mengenakkan bagi yang melihatnya. Menyadari hal itu, mereka pun berhenti membuang sampah sembarangan. ‘’Kami sudah tidak membuang sembarangan seperti itu,’’ begitu ungkap sejumlah warga di wilayah itu. Bagus. Begitulah seharusnya. Lalu, apa yang kalian lakukan?
“Kami musnahkan sampah dengan membakarnya. Tanpa sisa. Sehingga sampah tidak jadi masalah bagi orang lain. Tak ada tumpukan sampah. Tak ada bau. Beres kan?’’
Ups!
Apanya yang beres? Sampah memang tidak ada lagi. Habis terbakar. Tapi, bagaimana dengan asap hasil pembakaran sampah? Apakah saat membakar sampah, asapnya tidak ada? Apakah tidak ada yang menghirup asap hasil pembakaran sampah kita? Bukankah ada hukum kekekalan energi?
‘’O, pasti tidak. Sampah kami bakar di tempat sepi. Jauh dari pemukiman. Jadi aman!’’ Begitu jawaban mereka.
Benarkah pembakaran sampah, aman? Satu artikel yang dimuat di www.hdiindonesia.com menarik kita simak.
Saat membakar sampah, tidak terjadi proses pembakaran yang baik. Pembakaran yang baik membutuhkan Oksigen (O2) yang cukup. Saat membakar tumpukan sampah, mungkin bagian luar tumpukan cukup mendapatkan Oksigen sehingga menghasilkan CO2, tapi di dalam tumpukan sampah akan kekurangan O2 sehingga yang dihasilkan adalah gas Karbon Monoksida (CO). Sebagai gambaran kasar, satu ton sampah yang dibakar akan berpotensi menghasilkan gas CO sebanyak 30 kg.
Gas Karbon Monoksida (CO) merupakan gas yang berbahaya, karena dapat membunuh secara massal. Bila kita menghirup CO, hemoglobin darah yang seharusnya mengangkat dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu. Dengan begitu, tubuh akan mengalami kekurangan Oksigen, yang dapat berujung kematian.
Asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah juga berbahaya.
Tidak hanya untuk pembakaran sampah anorganik. Masalah juga muncul dari sampah organic.
Pembakarannya dapat mengakibatkan partikel-partikel yang tak terbakar akan berterbangan, atau menghasilkan reaksi yang menghasilkan hidrokarbon berbahaya. Hidrokarbon berbahaya yang dihasilkan asap pembakaran sampah, termasuk senyawa penyebab kanker yaitu benzopirena, yang mencapai 350 kali lebih besar dari asap rokok. Kita bisa terjangkit kanker paru-paru, infeksi paru-paru, asma, atau bronchitis karenanya.
Belum lagi dengan gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah, yang juga dapat merusak atmosfer bumi. Gas tersebut adalah senyawa chlor, yang dihasilkan dari pembakaran plastik. Pembakaran bahan sintetis yang mengandung nitrogen, seperti nilon, busa poliuretan yang ada pada sofa atau karpet busa, juga membahayakan karena dapat menghasilkan gas HCN yang berbahaya. (http://www.hdindonesia.com/pojok/ bahaya - membakar-sampah)
Nah, jelas sudah. Risiko pembakaran sampah secara terbuka sangat besar. Udara yang membawa asap dan partikel-partikel bakaran sampah tidak boleh dianggap sepele. Meski kita berkilah, pembakaran di tempat sepi dan jauh dari pemukiman, asap atau gas yang dihasilkan tetap akan berdampak bagi masyarakat. Karena gas yang dihasilkan dari pembakaran sampah, juga dapat merusak atmosfer bumi, mengancam lapisan ozon.
Tak ada alasan lain. Stop membakar sampah!
Lalu apa yang harus kita lakukan? Dengan mengetahui “ke mana saja” sampah kita, tentu kita harus berbuat sesuatu agar sampah yang kita produksi tidak menjadi masalah bagi pihak lain. Juga tidak menimbulkan persoalan bagi orang lain.
Dengan melihat data “ke mana saja sampah kita”, alangkah baiknya jika kita kemudian berpikir untuk melakukan sesuatu. Salah satunya, misalnya, meningkatkan jumlah prosentase sampah yang diolah dan mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Sesuai aturan perundangan –baik UU, Peraturan Pemerintah, Perda maupun Perbup/Perwal—yang mengatur tentang sampah, TPA hanyalah tempat untuk pembuangan sampah yang benar-benar tidak bisa dimanfaatkan. Itulah sampah yang disebut residu. (Besok kita bahas tersendiri topik ini)
Sebagai orang yang bertanggung-jawab, tentu kita tidak mau merepotkan pihak lain gara-gara ulah kita. Kita pasti bisa berbuat sesuatu, untuk mengurangi masalah yang bisa ditimbulkan oleh sampah kita. Kita pasti bisa berkontribusi, sekecil apapun, untuk mengurangi persoalan yang muncul karena sampah produksi kita.
Kurangi produksi sampah. Pilah sampah sejak dari rumah. Stop membakar sampah!
Saatnya bergerak! Salam Green and Clean!
ilustrasi: gedhebuk/cowasjp.com