COWASJP.COM – KAMIS sore itu, pesan singkat masuk ke handphone saya. ‘’Mas perkenalkan saya Lukman dari Lembaga Pengabdian Masyarakat UCY. Ada waktu nggak, Sabtu malam besok?’’ bunyi pesan dari nomor yang belum saya kenal.
Saya biasa mendapat pesan semacam ini. Jawaban saya pun standar. ‘’Ya. Salam kenal. Memang kenapa? Ada yang bisa saya bantu?’’
‘’Begini mas. Kami mau minta waktu njenengan untuk berbagi seputar pengelolaan sampah di Srandakan, Bantul. Bisa ya Mas. Waktunya jam 20.00. Maaf mendadak.’’
Dalam beberapa waktu terakhir, setelah mengajukan pensiun dini dari Jawa Pos tahun 2010, saya memang “mengabdikan diri” ke lingkungan sekitar rumah. Satu hal yang tidak bisa saya lakukan secara lebih intens saat masih berkhidmat di Jawa Pos. Kebetulan, di wilayah tempat tinggal saya, persoalan lingkungan ini mendapat perhatian serius. Ya soal penghijauan, soal sampah maupun soal air. Kami ingin hidup green and clean. Hijau dan bersih.
Singkat kata, melalui musyawarah warga, kami pun sepakat untuk mengelola sampah lingkungan dengan sistem bank sampah. Dan Bank Sampah kami, Bank Sampah Griya Sapu Lidi, pernah menjadi yang terbaik se-provinsi DIY tahun 2011. Saya pun kemudian sering menjadi fasilitator pendirian Bank Sampah di sejumlah daerah. Diundang untuk berbicara, berbagi ilmu ke berbagai daerah. Tidak hanya di provinsi DIY tapi juga ke Jawa Tengah.
Karena aktivitas saya itulah, saya dikenal sebagai seorang banker hehehe. Dan telepon atau SMS masuk menanyakan jadwal saya yang kosong untuk urusan bank sampah adalah hal yang biasa. Menggerakkan orang untuk mengelola sampah sejak dari awal timbulan sampah menjadi passion saya yang baru. Di luar kesibukan saya menulis buku biografi –individu maupun institusi—serta usaha distro kaos dan membantu usaha istri saya menjadi distributor alat suling air sehat.
Maka SMS dari LPM UCY di atas saya jawab, ‘’Oke! Siyappp!’’ Kebetulan tidak ada jadwal kegiatan pada waktu yang diminta itu. Maka, saya pun menyanggupinya. Komunikasi pun berlanjut. Saya diminta siap pada waktunya. Tidak perlu membawa kendaraan sendiri untuk ke lokasi. Saya akan dijemput oleh tim UCY untuk bersama-sama menuju lokasi. Saya pun diminta menyebutkan alamat penjemputan.
Sabtu malam sehabis Magrib, hujan gerimis. Sehabis salat berjamaah di masjid, saya menyiapkan diri untuk dijemput, sesuai dengan janji lewat komunikasi handphone. Srandakan lumayan jauh untuk ditempuh. Apalagi, untuk orang yang belum hafal arah ke lokasi. Agar tidak telat sampai lokasi, harus menyediakan waktu lebih awal. Dan, tim penjemput pun tiba di rumah. Segera kami bergegas berangkat.
Di dalam mobil penjemput, ada tiga orang. Dua orang dosen muda dan seorang aktivis sosial. Aktivis yang mantan anggota dewan inilah yang mengenalkan nama saya kepada dua orang dosen tersebut. Basa-basi perkenalan dan obrolan ringan pun mengiringi perjalanan di tengah malam gerimis itu.
‘’Sori mas, kami culik. Ini yang menyodorkan nama penjenengan,’’ kata Fauzie sambil menunjuk Imam Samroni yang duduk di samping driver. Imam Samroni adalah mantan anggota DPRD DIY yang kini bergiat di berbagai pemberdayaan masyarakat. Dia pernah mengundang saya memberi materi pelatihan vokasional memanfaatkan sampah plastik di desa Palar, Klaten, Jawa Tengah. Fauzie adalah kandidat doktor di Leiden, Belanda.
Bersama tim kemenag dan UCY.
‘’Wah kalau perintah beliau ini, saya tidak bisa menolak,’’ canda saya menanggapi.
Obrolan basa-basi itu pun melebar ke program penyadaran warga seputar sampah. Rupanya, kehadiran saya malam itu merupakan kegiatan lanjutan dari tim pengabdian masyarakat Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY). Jadi, sebelumnya telah dilakukan pertemuan antara tim UCY dengan tokoh-tokoh masyarakat di Srandakan. Tim UCY sebenarnya melakukan sosialisasi fiqih lingkungan. Sosialisasi dilakukan terhadap dai-dai atau pendakwah di desa-desa wilayah Srandakan. Lokasi ini berada di dekat pantai. (bersambung)