COWASJP.COM – SEBENARNYA secara tradisional, masyarakat memiliki kearifan lokal dalam mengolah sampah. Utamanya sampah organik berupa dedaunan yang berjatuhan di halaman rumah, pekarangan maupun kebun dan sawah mereka. Yakni dengan membuat lubang lalu memasukkan dedaunan ke dalamnya kemudian mereka timbun dengan tanah jika sudah penuh. Sayangnya, potensi local genius tersebut makin lama makin hilang tergerus perkembangan zaman. Sampah-sampah daun yang ditimbun tercampur dengan plastik yang makin banyak mereka gunakan dalam keseharian.
Maka, solusi yang saya tawarkan kepada mereka adalah melakukan pemilahan sampah. Sampah organik dan nonorganik harus dipilah. Alhamdulillah, malam itu, Tim Pengabdian Masyarakat UCY menghibahkan sejumlah komposter pengolah sampah organik kepada mereka. ‘’Alat ini untuk mengolah sampah organik seperti sisa-sisa makanan, dedaunan dan sejenisnya menjadi pupuk organik. Cukup memasukkan sampah ke dalamnya lalu semprotkan cairan EM4 yang telah dilarutkan ke dalam satu liter air dan tambahan dua sendok gula pasir ini,’’ terang Imam Samroni.
Sedang sampah nonorganik seperti plastik, kain, kertas, dikumpulkan tersendiri dan dijual ke rongsok. Saya berikan gambaran, ketika sampah-sampah tersebut tidak dipilah dan langsung dibuang dan dibawa ke TPA, maka yang terjadi oleh “orang-orang kreatif” di TPA, sampah-sampah itu dipunguti lagi dan dibawa kembali ke tempat kita. Lebih baik, dengan sedikit sentuhan dari kita yakni pemilahan, sampah tersebut memberi nilai tambah ke kita. Dan lingkungan pun lebih terjaga dari polusi-polusi sampah plastik atau kain yang merepotkan. Lahan pun bisa diolah dengan lebih baik.
Ibu-ibu PKK Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat saat belajar ke Bank Sampah Griya Sapu Lidi. (Foto: CoWasJP.com)
Sedangkan untuk kasus pembuang sampah illegal, saya sampaikan cerita yang terjadi di kelurahan kami, Sidoarum. Hampir sama dengan peristiwa yang dialami warga Srandakan, di tempat kami juga sering ada orang membuang sampah di tempat yang bukan tempat pembuangan sampah. Yakni di sudut jembatan yang ada di jalan dekat Kantor Desa. Gerah dengan kondisi tersebut, Kepala Desa berembug dengan warga. Warga yang juga gerah dengan tumpukan sampah yang makin menumpuk di sudut jembatan sepakat dengan Kepala Desa untuk menangkap basah pelakunya.
Maka, strategi pun dibuat. Kepala Desa sendiri yang akan menangkap basah pelakunya. Beberapa hari, di pagi yang masih basah, Kepala Desa sudah siap di sekitar lokasi. Hari pertama, hari kedua belum ada yang bisa ditangkap basah membuang sampah di lokasi yang sudah ada tulisan larangan itu. Baru hari berikutnya, di pagi buta, saat sebagian orang masih terlelap dalam mimpi, ada sepeda motor yang melintas dan kemudian berjalan lambat ketika dekat dengan lokasi. Dan brrrr…. satu bungkusan plastik kresek hitam pun melayang ke sudut jembatan.
Sejurus kemudian, sekelebat bayangan hitam berlari ke arah pelaku dan mencegatnya. Pelaku pembuang sampah gelap itu pun ditangkap. Orang-orang kemudian berdatangan. Sidang di tempat pun dilangsungkan. Denda lumayan besar dikenakan kepada si pembuang sampah. Diikuti dengan penandatanganan perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Cerita penangkapan ini dengan cepat tersebar, dampaknya langsung terlihat. Tak ada lagi orang membuang sampah di lokasi terlarang tersebut.
Mendengar cerita saya tersebut, sejumlah warga terlihat manggut-manggut. Barangkali berpikir untuk bisa menerapkan strategi tersebut untuk mengatasi pembuang sampah illegal di wilayahnya yang datang lebih terang-terangan. ‘’Monggo saja, kalau bapak-bapak mau melakukan langkah yang sama. Koordinasikan saja dengan aparat desa dan tokoh masyarakat lainnya. Untuk hal-hal tertentu, kita sudah tidak bisa lagi hanya diam dan mengeluh,’’ kata saya.
Begitulah. Sharing pengelolaan sampah melalui bank sampah yang berlangsung hingga tengah malam itu menjadi terasa begitu bermanfaat. Tidak hanya bagi saya yang bisa berbagi pengalaman mengelola bank sampah dalam satu komunitas. Tampaknya juga bagi para pendakwah di pelosok Bantul tersebut. Apalagi, selain bisa berbagi cerita dengan saya, mereka juga mendapatkan pembagian Fatwa MUI no 27 tahun 2014 tentang sampah. Fatwa MUI ini bisa menjadi bekal mereka menyampaikan dakwah atau ceramah saat menjadi khatib Salat Jumat maupun pengajian-pengajian rutin lainnya.
Beberapa poin penting dari fatwa MUI tersebut adalah ‘’Membuang sampah sembarangan dan/atau membuang barang yang masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan diri maupun orang lain, hukumnya Haram.
Dan, Mendaur ulang sampah menjadi barang yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan umat, hukumnya wajib kifayah.’’ (Fatwa MUI No 47 Tahun 2014)
Jadi, mengelola sampah dengan lebih baik merupakan tindakan ibadah. Karenanya, mari kita olah sampah kita dengan lebih bijak.
Salam Green and Clean! (@erwanwidyarto)