COWASJP.COM – ockquote>
C a T a T a N: TOFAN MAHDI
--------------------------------------
CATATAN ini masih dari rangkaian kunjungan saya ke Israel tahun 2007 lalu. Tidak ada yang istimewa dari Abu Ghosh, selain bahwa kota yang 90 persen penduduknya beragama Islam ini masuk dalam wilayah Israel. Seperti apa kehidupan masyarakat di sana? Catatan perjalanan saya ke Abu Ghosh, awalnya akan diterbitkan juga di Harian Jawa Pos, enam tahun lalu.
Namun, dengan berbagai pertimbangan kebijakan redaksional, jalan-jalan sebagai rangkaian kegiatan liputan konflik Israel-Palestina tersebut tidak ditayangkan. Sempat saya tulis, tetapi naskahnya sudah hilang, sehingga harus ditulis ulang. Anggapan sebagian besar kita yang tinggal di Indonesia, konflik Palestina-Israel adalah konflik antara umat Islam dengan Yahudi.
Bahkan ada juga anggapan bahwa konflik tersebut antara Muslim dengan Yahudi yang dibantu kaum Nasrani. Padahal, senyatanya, konflik Palestina-Israel bukanlah sebuah perang agama. Tetapi adalah konflik politik perebutan wilayah yang dipicu oleh proklamasi berdirinya negara Isreal tahun 1948.
Yang berperang adalah bangsa Arab-Palestina dengan orang-orang Yahudi yang tinggal di Israel. Dan bangsa Arab-Palestina tersebut sekitar 85 persen adalah Muslim, sekitar 18 persen Nasrani, dan sisanya agama lain termasuk Yahudi. Jadi, orang Arab-Palestina baik yang beragama Islam maupun Kristen sama-sama berperang melawan orang-orang Yahudi yang hidup di Israel. Bahkan, beberapa organisasi militan anti-Israel dipimpin oleh orang Palestina yang beragama Kristen.
Sebaliknya, di Israel pun yang berpenduduk 8 juta jiwa, selain Yahudi sebagai mayoritas, sekitar 16 persen warga Israel beragama Islam dan sekitar 2 persen beragama Kristen, serta sekitar 1,5 persen agama lainnya. Jadi, di Israel, Islam adalah agama terbesar kedua setelah Yahudi. Bahkan, seorang tokoh dari Partai Buruh Israel keturunan Arab, Raleb Majadele, menjadi menteri beragama Islam pertama di dalam Kabinet Israel. Majadele ditunjuk sebagai menteri urusan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan olahraga.
Dalam konteks konflik Palestina-Israel yang tak kunjung usai hingga saat ini, warga Israel keturunan Arab menghadapi dilema batin yang berat. Seperti yang dirasakan warga kota Abu Ghosh, kota yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Jerusalem. Dilema antara membela eksistensi negara Israel atau membela saudara-saudara mereka bangsa Arab-Palestina yang juga mengharapkan kedaulatan dan kemerdekaan negara Palestina. Sebelum lebih banyak kisah tentang Abu Ghosh, mari kita tengok kilas balik sejarah konflik Palestina-Israel.
Meskipun akar konflik bisa ditarik jauh ke belakang di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; namun sejarah singkatnya bisa dimulai menjelang berakhirnya Perang Dunia ke-2. Wilayah Arab-Palestina yang sejak 1920 berada di bawah British Mandate, setelah sebelumnya selama 400 tahun menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman; menjadi daerah tujuan imigrasi warga Yahudi yang “terusir” dari Eropa. Sentimen antisemit yang menguat di Eropa dus terjadinya holocaust (pembantaian warga Yahudi oleh Nazi Jerman di bawah Adolf Hittler); memicu pengungsian besar-besaran warga Yahudi dari sejumlah negara Eropa di tanah Palestina.
Tembok pemisah yang dibangun Israel untuk mengisolasi rakyat Palestina. (Foto: cowasjp.com)
Gerakan Zionis (kembali ke tanah air) sendiri sudah mulai muncul sejak akhir tahun 1890-an dan semakin menguat saat pecah Perang Dunia ke-2. Di bawah British Mandate, warga Arab dan Yahudi hidup bersama di dalam tanah Palestina. Eskalasi konflik di tanah Palestina semakin menguat ketika gelombang pengungsian warga Yahudi dari Eropa semakin sulit dibendung, bahkan oleh tentara Inggris sendiri.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, antara 1946-1947, ratusan warga Yahudi terus berdatangan ke tanah Palestina. Halauan dari tentara Inggris justru dibalas oleh pihak Yahudi dengan serangkaian teror dan mencapai puncaknya dengan aksi pengeboman Hotel David di Jerusalem yang menjadi kantor pusat Pemerintahan Inggris di Palestina. Warga Arab-Palestina di wilayah pendudukan Israel.
Sabtu Jadi Kongkow ABG Israel Tofan Mahdi (kanan) bersama seorang tentara Israel di wilayah perbatasan Israel-Suriah Catatan ini masih dari rangkaian kunjungan saya ke Israel tahun 2007 lalu. Tidak ada yang istimewa dari Abu Ghosh, selain bahwa kota yang 90 persen penduduknya beragama Islam ini masuk dalam wilayah Israel.
Seperti apa kehidupan masyarakat di sana? Catatan perjalanan saya ke Abu Ghosh, awalnya akan diterbitkan juga di Harian Jawa Pos, enam tahun lalu. Namun, dengan berbagai pertimbangan kebijakan redaksional, jalan-jalan sebagai rangkaian kegiatan liputan konflik Israel-Palestina tersebut tidak ditayangkan. Sempat saya tulis, tetapi naskahnya sudah hilang, sehingga harus ditulis ulang.
Anggapan sebagian besar kita yang tinggal di Indonesia, konflik Palestina-Israel adalah konflik antara umat Islam dengan Yahudi. Bahkan ada juga anggapan bahwa konflik tersebut antara Muslim dengan Yahudi yang dibantu kaum Nasrani. Padahal, senyatanya, konflik Palestina-Israel bukanlah sebuah perang agama. Tetapi adalah konflik politik perebutan wilayah yang dipicu oleh proklamasi berdirinya negara Isreal tahun 1948. Yang berperang adalah bangsa Arab-Palestina dengan orang-orang Yahudi yang tinggal di Israel. Dan bangsa Arab-Palestina tersebut sekitar 85 persen adalah Muslim, sekitar 18 persen Nasrani, dan sisanya agama lain termasuk Yahudi.
Jadi, orang Arab-Palestina baik yang beragama Islam maupun Kristen sama-sama berperang melawan orang-orang Yahudi yang hidup di Israel. Bahkan, beberapa organisasi militan anti-Israel dipimpin oleh orang Palestina yang beragama Kristen. Sebaliknya, di Israel pun yang berpenduduk 8 juta jiwa, selain Yahudi sebagai mayoritas, sekitar 16 persen warga Israel beragama Islam dan sekitar 2 persen beragama Kristen, serta sekitar 1,5 persen agama lainnya.
Sebelum memasuki areal Masjidil Aqsa, diperiksa ketat oleh tentara Israel. (Foto: cowasjp.com)
Jadi, di Israel, Islam adalah agama terbesar kedua setelah Yahudi. Bahkan, seorang tokoh dari Partai Buruh Israel keturunan Arab, Raleb Majadele, menjadi menteri beragama Islam pertama di dalam Kabinet Israel. Majadele ditunjuk sebagai menteri urusan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan olahraga. Dalam konteks konflik Palestina-Israel yang tak kunjung usai hingga saat ini, warga Israel keturunan Arab menghadapi dilema batin yang berat.
Seperti yang dirasakan warga kota Abu Ghosh, kota yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Jerusalem. Dilema antara membela eksistensi negara Israel atau membela saudara-saudara mereka bangsa Arab-Palestina yang juga mengharapkan kedaulatan dan kemerdekaan negara Palestina.
Sebelum lebih banyak kisah tentang Abu Ghosh, mari kita tengok kilas balik sejarah konflik Palestina-Israel. Meskipun akar konflik bisa ditarik jauh ke belakang di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20; namun sejarah singkatnya bisa dimulai menjelang berakhirnya Perang Dunia ke-2. Wilayah Arab-Palestina yang sejak 1920 berada di bawah British Mandate, setelah sebelumnya selama 400 tahun menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman; menjadi daerah tujuan imigrasi warga Yahudi yang “terusir” dari Eropa.
Sentimen antisemit yang menguat di Eropa dus terjadinya holocaust (pembantaian warga Yahudi oleh Nazi Jerman di bawah Adolf Hittler); memicu pengungsian besar-besaran warga Yahudi dari sejumlah negara Eropa di tanah Palestina. Gerakan Zionis (kembali ke tanah air) sendiri sudah mulai muncul sejak akhir tahun 1890-an dan semakin menguat saat pecah Perang Dunia ke-2. Di bawah British Mandate, warga Arab dan Yahudi hidup bersama di dalam tanah Palestina. Eskalasi konflik di tanah Palestina semakin menguat ketika gelombang pengungsian warga Yahudi dari Eropa semakin sulit dibendung, bahkan oleh tentara Inggris sendiri.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, antara 1946-1947, ratusan warga Yahudi terus berdatangan ke tanah Palestina. Halauan dari tentara Inggris justru dibalas oleh pihak Yahudi dengan serangkaian teror dan mencapai puncaknya dengan aksi pengeboman Hotel David di Jerusalem yang menjadi kantor pusat Pemerintahan Inggris di Palestina.
Di tengah situasi yang semakin panas ini, PBB pun turun tangan. Majelis Umum PBB melakukan serangkaian sidang dan perundingan untuk menentukan nasib dan masa depan tanah Palestina. Di tengah serangkaian perundingan antar para pihak yang berkepentingan dengan tanah Palestina, pada 14 Mei 1948 atau sehari sebelum berakhirnya British Mandate, salah seorang tokoh Zionis David Ben-Gurion memproklamasikan kemerdekaan negara Israel yang mengklaim menguasai sejumlah wilayah di tanah Palestina.
Proklamasi kemerdekaan Israel inilah yang langsung memicu meletusnya perang skala besar antara negara-negara Arab (Jordania, Mesir, Suriah, dan Iraq) dengan Israel yang secara sepihak didirikan di tanah Palestina. Kota Abu Ghosh, yang secara geografis berdekatan dengan lokasi pemukiman Yahudi, sejak Mei 1948 sudah diklaim masuk sebagai wilayah Israel. Abu Ghosh bukan kota besar, tetapi hanya sebuah distrik yang masih menjadi wilayah Jerusalem.
Lokasinya antara Jerusalem ke Tel Aviv. Kalau di Indonesia, besarnya seperti kota kecamatan. Karena memang dalam sejarahnya kota ini dihuni oleh warga Arab-Palestina; hampir seluruh warga Abu Ghosh yang berjumlah sekitar 20 ribu jiwa adalah warga Arab dan 90 persen di antaranya beragama Islam. Sisanya beragama Kristen dan agama lainnya. Dalam rangkaian kegiatan liputan konflik Palestina-Israel ini, saya sengaja mengunjungi kedua wilayah yang sedang bertikai.
Selain karena ini sesuai kesepakatan di awal dengan pihak pengundang yaitu sebuah LSM Israel yang berbasis di Australia, bahwa saya bersedia diundang mengunjungi wilayah Israel dengan syarat juga diberi izin untuk masuk ke wilayah Palestina. Juga karena saya ingin mendapatkan gambaran yang utuh tentang apa yang sesungguhnya terjadi di wilayah konflik Palestina-Israel saat ini.
Di wilayah Israel, selain ke Tel Aviv; saya juga singgah di Jerusalem dan Abu Ghosh. Sementara itu, di wilayah Palestina saya berkunjung ke kota Betlehem dan Ramallah. Jerusalem sendiri sebetulnya adalah wilayah Palestina tetapi saat ini masih dikuasai oleh Israel setelah negara-negara Arab kalah dalam Perang 6 Hari tahun 1967. Di Betlehem saya singgah di kantor Gubernur Betlehem dan mengunjungi Nativity Church (gereja kelahiran Jesus).
Sedangkan di Ramallah, selain berkunjung ke Markas PLO (Organisasi Pembebasan Palestina), saya juga menyempatkan diri untuk nyekar ke makam Yassir Arafat, tokoh dan pendiri PLO. Dari Jerusalem, saya mengunjungi Abu Ghosh menggunakan mobil minivan. Karena masih dalam wilayah kekuasaan Israel dan tidak melintas di wilayah Palestina; tidak ada pemeriksaan selama perjalanan dari Jerusalem ke Abu Ghosh. Jalanan lengang, berbukit dan berkelok-kelok.
Tofan Mahdi bersama tentara Israel di perbatasan Israel-Palestina di Tepi Barat. (Foto: cowasjp.com)
Selain sopir, perjalanan ke Abu Ghosh ini ditemani seorang pemandu warga Israel keturunan India, Roley Horowitz. Tak sampai satu jam perjalanan, kami memasuki wilayah Abu Ghosh. “Jangan khawatir, Anda akan merasakan suasana seperti di negeri sendiri. Karena di Abu Ghosh banyak berdiri masjid dan sebagian besar penduduknya beragama Islam. Dan Abu Ghosh jauh dari wilayah perang,” kata Roley seraya tersenyum. Kota Abu Ghosh, cukup artistik.
Bangunan bernuansa Timur Tengah mendominasi. Saya mengamati, sejumlah penanda jalan dan nama-nama toko atau bangunan, menggunakan perpaduan tulisan bahasa Arab dan Ibrani. ”Bahasa ibu warga Abu Ghosh adalah bahasa Arab, tetapi hampir semua warga di sini juga menguasai bahasa Ibrani,” katanya.
Untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan di Abu Ghosh, Roley memperkenalkan saya dengan salah seorang tokoh masyarakat di Abu Ghosh; Issa Jaber. Issa adalah warga Arab-Palestina beragama Islam dan sekarang tercatat sebagai Direktur Pendidikan di Dewan Kota Abu Ghosh. ”Assalamualaikum...” salam saya ketika masuk ke rumah Issa Jaber. ”Waalaikumsalam; dari Indonesia ya? Silakan masuk...” kata Issa dengan bahasa Inggris. Benar kata Roley, seperti masuk rumah sendiri.
Di ruang tamu; terpampang kaligrafi surat Al Fatihah yang sangat besar. Juga ada foto Issa Jaber bersama istri dan kedua anaknya berfoto di depan Masjidil Haram Mekkah.] ”Anda sudah berhaji ya? Anda kan tercatat sebagai warga negara Israel, memang bisa menunaikan ibadah haji?” tanya saya. Issa menceritakan, tidak ada larangan dari pemerintah Israel bagi warga Muslim untuk menunaikan ibadah haji atau umrah.
Namun yang menjadi kendala adalah kebijakan dari pemerintah Arab Saudi yang menolak masuk warga Israel. “Dulu, antara tahun 1968-1978, kami tidak bisa pergi haji. Tetapi, saat Mesir di bawah Anwar Saddat (Presiden ke-3) dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel, warga Muslim di Israel bisa pergi haji. Teknisnya melalui Jordania, kami diberi ID sementara sebagai warga negara Jordania, dan ID ini yang dipakai untuk mengurus visa haji,” katanya. Issa mengaku nyaman-nyaman saja hidup sebagai seorang Muslim di Israel.
”Kalau eskalasi konflik sedang reda, ya tidak ada apa-apa. Tetapi pada saat ketegangan antara Israel dengan negara-negara Arab memuncak, kami sering juga menjadi korban diskriminasi,” katanya. Pada suatu kesempatan, kata Issa, dia berkunjung distrik lain di luar Abu Ghosh. Pada saat itu sedang jalan-jalan bersama keluarga, kebetulan di distrik terebut terdapat pasar musiman orang-orang Yahudi. Saat asyik sedang berbelanja, tiba-tiba kerumanan warga dikagetkan oleh ledakan sebuah roket tidak jauh dari pasar tersebut.
”Tak lama setelah ledakan roket tadi, saya dan keluarga menjadi sasaran amuk massa. Karena mereka pasti menuduh roket tersebut dari Palestina dan kami sebagai warga Arab dianggap sama dengan pelakunya. Beruntung ada yang segera melerai,” kata Issa. Namun, di luar peristiwa tadi, Issa mengaku kehidupannya bersama keluarga normal-normal saja. “Silakan sholat dulu, nanti ceritanya saya lanjutkan sambil makan malam,” kata Issa saat terdengar kumandang adzan Maghrib dari masjid di seberang.
Hari Sabtu adalah puncak keramaian di Abu Ghosh. Mengapa demikian? Ketika kaum Yahudi sedang menjalankan ritual ibadah sabath (Sabtu); banyak ABG (remaja) Yahudi dari kota-kota lain berbondong-bondong datang ke Abu Ghosh untuk kongkow dan makan-makan di restoran.
”Mungkin para remaja itu, Yahudi yang sekuler,” kata Issa seraya tertawa. ([email protected])