COWASJP.COM –
O l e h: Mohammad Hakim
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Alumnus IKIP Negeri Surabaya, mantan guru di Yayasan Alfalah Surabaya
KETIKA banyak orang memilih menitipkan anaknya di pondok pesantren (Ponpes) agar mengenyam pendidikan agama Islam yang lebih berbobot, justru terjadi hal mengenaskan di Ponpes Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Seorang santri tewas dikeroyok belasan santri lainnya dalam asrama pondok.
Berita ini bagaikan petir di siang bolong bagi dunia pendidikan. Juga bagi para orang tua yang mengidolakan Ponpes sebagai tempat pendidikan bagi putra-putri tercinta. Lebih mengenaskan lagi, kasus ini terkuak bukan dari pihak Ponpes tempat korban menuntut ilmu, namun justru dari pihak keluarga santri asal Kencong, Jember, tersebut.
Korban adalah Abdullah Muzzaka Yahya, santri Ponpes Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Yahya meninggal, Minggu (28/2/2016), setelah menjalani perawatan sehari di Rumah Sakit Airlangga Jombang dengan kondisi tubuh penuh memar dan lebam. Keluarga yang curiga kematian Yahya tidak beres melapor ke Polsek Kencong yang diteruskan ke Polres Jember.
Polres Jombang yang mendapatkan pelimpahan laporan dari Polres Jember langsung bergerak melakukan penyidikan. Ditemukan indikasi kekerasan yang menimpa Abdullah. Polres Jombang lalu menangkap 12 santri Ponpes Darul Ulum dan seorang santri dari pesantren lain di Jombang.
Menurut Kasat Reskrim Polres Jombang AKP Wahyu Hidayat, penganiayaan berujung maut ini terjadi sekitar pukul 20.00 WIB, Sabtu (27/2/2016). Yahya awalnya dikeroyok enam santri teman sepondoknya.
“Menurut pengakuan para tersangka, mereka tak hanya menggunakan tangan kosong saat mengeroyok. Selain memukul menggunakan peci, juga raket,” kata Wahyu.
Kejadian itu ternyata baru babak awal karena penganiayaan belum berhenti. Dalam kondisi babak belur akibat dianiaya, keenam pelaku menggiring korban Abdullah ke asrama tempat tinggalnya. Di sana ternyata sudah menunggu tujuh santri lain.
Mereka pun melanjutkan penganiayaan terhadap korban Yahya yang sudah terluka, bahkan dengan cara lebih kejam. “Ada (tersangka) yang menggunakan barbel. Penganiayaan kedua berlangsung sekitar pukul 22.30 WIB,” ujar Wahyu.
Dua peristiwa penganiayaan ini rupanya membuat kondisi korban Yahya memburuk. Sekitar pukul 23.30 WIB, Yahya kejang-kejang dengan mulut berbusa. Dia dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Erlangga, Jombang.
Meski telah mendapatkan perawatan intensif, kondisi Yahya terus memburuk dan meninggal. “Minggu (28/2) sekitar pukul 23.30 WIB, korban meninggal di rumah sakit. Setelah itu jenazah korban dibawa ke rumah keluarganya di Jember,” ujar AKP Wahyu Hidayat.
Belum jelas informasi apa yang diterima pihak keluarga dari pihak Ponpes. Namun, keluarga melihat ada kejanggalan pada kematian Abdullah. Pada tubuh korban terlihat banyak luka lebam. Mereka pun melapor ke Polsek Kencong.
Dari pengakuan para tersangka, penganiayaan itu dilatarbelakangi dendam salah satu tersangka. Beberapa waktu lalu, korban bersama beberapa pemuda setempat memalak salah satu pelaku di bawah flyover tak jauh dari lokasi Ponpes.
“Karena dendam, salah satu pelaku mengajak teman santri lainnya melakukan balas dendam dengan menganiaya bersama-sama. Para tersangka dijerat Pasal 80 ayat 3 Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan korban di bawah umur. Ancaman hukumannya 15 tahun penjara,” kata AKP Wahyu Hidayat.
Baik pelaku maupun korban adalah anak-anak di bawah umur yang sedang menuntut ilmu di sekolah setingkat SMA di Ponpes Darul Ulum. Tentu dengan bobot pelajaran agama lebih besar. Misalnya mereka mendapatkan pelajaran tafsir Alquran Jalalain, pelajaran yang tak diterima siswa-siswa SMA umum.
Akui Kecolongan
Selasa (2/2/2016), Ponpes Darul Ulum kemudian mengumumkan telah mengeluarkan 12 santrinya yang menjadi pelaku pengeroyokan Yahya hingga meninggal. Rochmatul Akbar, Majelis Pimpinan Pondok Bagian Keamanan dan Ketertiban Pesantren Darul Ulum, mengakui adanya penganiayaan itu di pondoknya.
Dia berterus terang pihak pondok kecolongan. Disebutkan, para pelaku mengeroyok Abdullah Muzzaka dalam asrama dengan cara mematikan lampu kamar sehingga berhasil mengelabuhi petugas pondok.
“Kebetulan di asrama itu kan ada kegiatan pengajian. Ketika di asrama yang pertama itu sebelum maghrib kelihatannya sudah dibawa ke asrama yang pertama. Di pondok itu kan ada pengawasan asrama, dari keamanan pusat pondok. Nah, ketika kejadian dibawa ke asrama itu, mungkin pengurus asrama yang pertama tidak tahu. Sebab, saat dibawa korban belum diapa-apakan. Atau mungkin disembunyikan dalam kamar, terus diinterogasi secara diam-diam hingga terjadi pemukulan itu," kata Rochmatul Akbar panjang lebar.
Astaghfirullah. Sangat mengerikan. Ponpes Darul Ulum Rejoso Jombang termasuk pesantren tersohor. Banyak orang tua yang ingin memasukkan anaknya ke Ponpes itu, sekali lagi dengan harapan anaknya mendapatkan pelajaran agama Islam dengan bobot lebih banyak dan mendalam.
Namun, apa lacur, dunia kekerasan pelajar kini ternyata bukan saja milik siswa-siswa sekolah umum. Memang menurut ilmu psikologi, usia remaja setingkat siswa SMA adalah fase mencari jati diri. Pada fase ini remaja rentan terjerumus alias salah langkah.
Nah, para orang tua sebenarnya sudah banyak yang paham akan hal itu. Karena itu, sebagian dari para orang tua ‘membingkai’ putra-putrinya dengan pelajaran ilmu agama di Ponpes. Dengan harapan putra-putrinya lebih terarah. Tidak salah langkah dan terjerumus.
Karena itu, peristiwa di Ponpes Darul Ulum ini tentu benar-benar mengagetkan para orang tua. Apalagi orang tua Abdullah Muzzaka Yahya. Dia yang ingin anaknya mencecap ilmu agama Islam lebih banyak malah pulang menjadi mayat. Benar-benar tragis.
Bahkan, peristiwa itu pantas disebut tsunami moral di dunia pondok pesantren. Betapa tidak, mereka yang seharusnya mewarisi ilmu agama Islam dari para ustad nyatanya menjadi remaja yang berbahaya. Ego mereka mengalahkan ilmu-ilmu agama yang mereka dapat dari bangku Ponpes.
Bukan yang Pertama
Menilik ke belakang, kematian santri karena dikeroyok sesama santri juga pernah terjadi di Madrasah Aliyah (MA) Raudlatut Thalibin, Tuban, akhir November 2015. Adalah Teguh Purnomo (15) diduga meninggal akibat dikeroyok sembilan temannya. Pengeroyokan itu diduga dipicu karena Teguh sering mengambil barang milik temannya.
Polisi mengungkap kematian tidak wajar itu berdasarkan laporan pihak Puskesmas Singgahan, salah satu kecamatan di Tuban. Semula, Teguh dibawa ke Puskesmas oleh beberapa temannya. Setelah itu, petugas Puskesmas member informasi kepada polisi bahwa Teguh meninggal tak wajar.
Berdasarkan laporan itu, anggota Polsek Singgahan mendatangi Puskesmas dan langsung mengidentifikasi kondisi jasad Teguh. Dari hasil identifikasi, Teguh tewas akibat penganiayaan. Jasad Teguh terdapat luka memar di mulut, mata, dan pingang.
"Setelah mengidentifikasi di Puskesmas, kemarin jenasah langsung dibawa ke kamar mayat rumah sakit umum Tuban,” kata Kasat Reskrim Polres Tuban Suharta. Karena ada dugaan penganiayaan, Polres Tuban kemudian mengambil alih kasus tersebut sejak Senin sore (30/11/2015).
Polisi memeriksa 10 siswa yang juga teman Teguh diperiksa di Mapolres Tuban. Kemudian, penyidik Polres melakukan olah tempat kejadian perkara di pondok pesantren, pada Selasa (1/12/2015). Di asrama itu, penyidik menemukan kayu dan beberapa benda yang diduga digunakan untuk menganiaya Teguh.
Setelah melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan, penyidik menetapkan sembilan teman Teguh sebagai tersangka dugaan penganiayaan. Proses hukum kasus itu pun bergulir hingga kini.
Belajar dari dua peristiwa yang terjadi di basis pesantren di Jawa Timur tersebut, bisa jadi peristiwa yang sama akan terulang pada masa datang di Ponpes lainnya. Dari situ pula muncul premis bahwa pendidikan sekolah dalam lingkup pondok pesantren ternyata bukan jaminan.
PR Besar Ponpes
Sekaligus dua peristiwa itu menjadi PR besar Ponpes-Ponpes yang mengembangkan sekolah dengan memadukan ilmu umum dan ilmu agama. Mengapa pendidikan yang mereka terapkan, meskipun dengan bobot ilmu agama lebih signifikan, tidak mampu meredam ‘keliaran jiwa memberontak’ para remaja.
Selain itu, dua peristiwa penganiayaan berujung kematian santri tersebut juga menjadi PR besar bagi keluarga. Sebab, pada dasarnya pendidikan pertama dan utama adalah dalam keluarga. Jiwa dan perkembangan anak awalnya terbentuk dari pendidikan dalam keluarganya, kemudian lingkungan di luar keluarga, seperti teman-teman bergaul dan teman sekolah.
Namun, Ponpes memiliki beban introspeksi lebih besar daripada keluarga dalam hal ini. Sebab, jika di rumah, santri adalah tanggung jawab keluarganya. Namun jika di Ponpes, santri adalah tanggung jawab lembaga Ponpesnya. Apa yang kurang dengan pendidikan di dalam Ponpes? Saatnya Ponpes-Ponpes instrospeksi.
Jika Ponpes gagal menjawab dua peristiwa kekerasan yang berujung kematian santri seperti pada kasus tersebut, bukan tidak mungkin lama kelamaan kewibawaan pendidikan dalam Ponpes akan luntur. Risikonya, Ponpes dianggap bukan lagi menjadi tempat yang aman dan luhur untuk menitipkan anak didik. Orang tua akan berpikir ulang menitipkan anaknya ke Ponpes. *