COWASJP.COM – SAPTO merasa bingung waktu menerima pesa singkat di ponselnya. Dia bergumam sendiri "Waahh...besok hari Kartini, anakku harus pakai kebaya," gumamnya sambil menunjukkan wajah gelisahnya. Oooo...ternyata, pesan singkat tadi dari istrinya. Yang mengabarkan kalau besok anaknya harus sewa pakaian kebaya, sanggul plus riasnya.
"Nanti jam istirahat harus ke salon aku, menanyakan sewa kebaya dan riasnya," ujar si Sapto yang anaknya baru duduk di kelas 5 SD. Secara kebetulan, saya duduk di sebelah Sapto. Saya pun mencoba bertanya, "Harus ada tambahan pengeluaran dong pak," tanyaku. Pertanyaanku tadi langsung disambarnya dengan jawaban yang serius, "Pasti, uang 150 ribu pasti keluar itu," ucapnya.
Dari jawaban Sapto itu saya berpikir, kenapa setiap merayakan hari Kartini selalu berkebaya dan bersanggul? Mulai dari zaman saya masih sekolah sampai sekarang sudah punya anak yang sudah sekolah, hari Kartini selalu identik dengan kebaya dan sanggul. Kenapa dan kenapa? Apakah meneladani perjuangan Kartini pada zamannya dulu harus memakai kebaya dan bersanggul.
Yaaa...kalau yang disuruh pakai kebaya dan sanggul itu anaknya orang mampu. Kalau orang tuanya pas pasan, apakah itu tidak jadi memberatkan orang tuanya? Tidak adakah cara lain memperingati Hari Kartini dengan lebih kreatif dan lebih peduli dengan wanita pejuang kehidupan?
Kartini-kartini kecil dengan mengenakan kebaya saat mengikut acara fashion show. (Foto: prokal).
Seperti kita ketahui semua, Kartini pada eranya adalah pejuang untuk kaum wanita. Kartini harus berjuang menyamakan gender. Karena pada waktu itu, wanita dianggap remeh dan tidak mampu berperan layaknya seorang pria. Kaum wanita dianggap lemah. Wanita dianggap tugasnya hanya memasak di dapur. Wanita hanya mengasuh anak di rumah. Wanita hanya mencuci pakaian.
Kaum pria yang harus menjadi pemimpin. Wanita tidak bisa menjadi pemimpin. Kondisi itulah yang diperjuangkan Kartini. Wanita harus bisa sama kedudukannya dengan kaum pria. Ibaratnya, kaum wanita harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum pria. Tidak ada kesenjangan gender dalam hal kepemimpinan. Wanita bisa menjadi pengendali kehidupan, bukan hanya pria.
Alhamdulillah....perjuangan Kartini pada masa itu membuahkan hasil. Wanita tidak lagi menjadi kaum yang diremehkan. Saat ini, wanita telah banyak menduduki posisi strategis layaknya kaum pria. Wanita menjadi menteri juga sudah ada. Wanita menjadi gubernur, bupati atau walikota telah banyak di Indonesia.
Bahkan, Presiden Ke 5 Indonesia juga seorang wanita. Paling tidak, itulah hasil perjuangan Kartini yang bisa dirasakan wanita Indonesia di masa sekarang. Lalu, bagaimana wujud kita sebagai bagsa Indonesia meneladani perjuangan Kartini? Bila kita melihat selama ini, masih banyak yang terjebak pada penampilan Kartini.
Murid sekolah luar biasa pun ikut menyemarakkan perayaan Hari Kartini. (Foto: solider)
Yakni memakai kebaya dan bersanggul. Akhirnya, setiap 21 April, banyak sekolah, instansi atau bank yang mewajibkan anak didiknya, gurunya, pegawainya dan karyawannya yang wanita untuk memakai kebaya dan bersanggul. Rasanya, kalau meneladani seorang Kartini sebagai pejuang kaum wanita dengan memakai kebaya kok seperti melihat buku dari covernya saja.
Artinya, kita hanya melihat sosok Kartini dari penampilannya saja. Padahal, pada masa itu, pakaian kebaya dan bersanggul merupakan pakaian sehari- hari. Sebab, pada zaman itu memang belum familiar seorang wanita berpakaian menggunakan celana atau blus. Jadi, kebaya adalah pakaian sehari-hari.
Tidak bisa diidentikkan antara Kartini, kebaya dan sanggul. Mungkin, pada masa itu, kebaya tidak hanya dipakai Kartini tapi besar kemungkinan semua wanita ya berkebaya dan bersanggul. Kalau kita melihat Kartini hanya dari penampilan saja dan lalu memperingati Hari Kartini dengan berkebaya dan bersanggul rasanya kok kurang pas. Bagaimana jika seandainya dahulu seorang Kartini tidak lahir di Jepara, Jawa Tengah? Tapi terlahir di Papua atau di Kalimantan.
Masihkah kita semua memperingati Hari Kartini dengan pakaian khas masing-masing daerah tersebut? Menurut saya, peringatan Kartini harus didasarkan pada realita kehidupan sekarang. Memang, saat ini sudah tidak ada lagi kaum wanita yang kedudukannya direndahkan. Tidak ada wanita yang dilarang untuk menjadi pemimpin. Tidak ada lagi wanita yang hak-haknya diberangus. Tapi, di kalangan tertentu, masih banyak wanita yang menjadi pejuang kehidupan. Ada baiknya peringatan Kartini didasarkan pada kaum wanita yang menjadi pejuang kehidupan.
Misalnya, pemberian penghargaan kepada seorang wanita yang mengais rezeki menjadi tukang tambal ban. Wanita yang bekerja sebagai tukang becak. Wanita yang bekerja sebagai kuli. Di tempat saya proses ekspor jahe misalnya. Mayoritas banyak wanita yang bekerja sebagai tukang sortir. Di tempat proses jahe instan CoWas contohnya.
Banyak wanita yang bekerja menjadi pengolah jahe instan. Mereka seakan-akan bekerja tak kenal waktu. Padahal mereka juga punya suami dan anak yang menunggu di rumah. Atau seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri. Wanita ini harus terpisah dari keluarganya hingga beberapa tahun lamanya.
Murid SD Kertajaya 4 Surabaya beradu panco ketika memperingati Hari Kartini di Surabaya, Jawa Timur, Senin (20/4). Lomba panco yang diikuti sejumlah murid. (Foto: simomot).
Belum lagi kalau harus menerima kekerasan dari majikannya. Wanita-wanita itu adalah pejuang yang tangguh untuk mengarungi kerasnya hidup. Jadi, tidak ada salahnya kalau peringatan Hari Kartini diisi dengan pemberian penghargaan kepada wanita-wanita tangguh yang menjadi pejuang kehidupan.
Saya yakin pemerintah di masing-masing daerah mampu mendata para wanita yang menjadi pejuang kehidupan. Memang, para wanita pejuang kehidupan di masa sekarang tidak lagi mengenakan kebaya dan bersanggul. Mereka hanya menggunakan celana jeans dan berkaos. Atau terkadang hanya menggunakan rok dan dipadu dengan kaos.
Tapi, yang terpenting bukan cara berpakaiannya. Semangatnya yang harus kita acungi jempol. Semangatnya berjuang mewarisi semangat Kartini kala memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Hanya saja, perjuangan para wanita itu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Untuk membayar SPP anaknya. Untuk membeli beras. Untuk membeli susu anaknya.
Begitulah seharusnya meneladani perjuangan Kartini, bukan sekadar berkebaya dan bersanggul. Jadi saya rasa kalau peringatan Hari Kartini ditandai dengan sebuah even besar mengenakan kebaya dan bersanggul lalu berhasil memecahkan rekor MURI rasanya sangat tidak pas. Para wanita, mulai anak muda hingga orang tua berlenggak lenggok di atas panggung dengan berkebaya dan bersanggul, apakah ini meneladani sikap Kartini?
Saya rasa itu lebih cocok disebut sebagai bentuk mempertahankan budaya luhur sebagai orang jawa dengan berpakaian kebaya dan bersanggul. Kalau seperti itu misinya, tidak perlu menunggu saat Hari Kartini. Pemerintah pusat tinggal membuat aturan untuk pegawai pemerintahan setiap hari tertentu diwajibkan mengenakan pakaian khas daerah masing-masing.
Kalau di Jawa berarti kebaya. Yang terpenting, saat peringatan Hari Kartini para wanita pejuang kehidupan harus mendapatkan perhatian lebih. Karena perjuangan mereka inilah yang sebenarnya mewarisi perjuangan Kartini. Bukan sekadar berkebaya dan bersanggul lalu disebut Kartini. (*)