Buko di Pinggir Jalan

COWASJP.COMHAMPIR separo puasa Ramdahan kita lewati. Tidak terasa pula sudah berapa kilogram berat badan kita turun. Atau sebaliknya. Malah tambah ndut! Hee.. hee. Betapa tidak. Setiap kali berbuka atau buko (Jawa) tiba, saat itu pula banyak siasat yang kita lakukan.

Ada yang ingin mengembalikan stamina dengan makan secukupnya. Tak jarang pula ada yang ingin balas dendam. Mereka ada yang mengadakan buko bareng di kantor, rumah-rumah makan atau kafe. Juga ada yang siap-siap menunggu adzan magrib di masjid. Tak terkecuali saya. 

Sejak bulan suci tiba, saya selalu menyempatkan buko bareng siapa saja. Jika dulu masih aktif bekerja, saya sering buko di kantor bersama rekan-rekan kerja. Begitu pula saat di luar kantor, saya selalu manfaatkan buko di masjid yang saya lewati. Hanya sesekali buko bersama anak dan istri, ketika libur kerja.

Kebiasaan bukbar inilah ternyata sulit saya hilangkan. Cuma bedanya, saya kini tak lagi buko bersama rekan sekantor karena sudah pensiun dari Jawa Pos. Juga tidak banyak undangan buko bareng dengan kolega kewartawanan. Namun demikian saya tetap memilih harus buko berjamaah.

Banyak cara untuk membatalkan puasa saat adzan magrib tiba. Apalagi di Surabaya. Di kota kelahiran saya ini tak sedikit warganya yang ramah-ramah. Pangerten saat Ramadhan datang! Persis seperti orang Arab di Madinah atau Mekkah. Sehingga kita tidak perlu kuatir telat berbuka puasa.

Beberapa lokasi di jalan protokol, pasti ada saja sekumpulan orang yang membagikan takjil secara gratis. Sebut saja di daerah Surabaya Timur. Di depan kantor KONI Jatim setiap menjelang magrib selalu ada yang memberikan sebungkus tas kresek berupa kurma, minuman segar dan kue mue.

Juga di jantung kota, Jalan Raya Darmo, depan kantor DPRD Surabaya, SMA Trimurti, dan di seberang RS Siloam, serta Jalan Kertajaya dekat viaduk rel kereta api. Ini belum termasuk jalan-jalan yang belum sempat saya lalui. Katanya, Ormas Pemuda Pancasila setiap bulan suci Ramadhan selalu bagi-bagi takjil  di depan markasnya, bertetangga dengan Kantor Walikota.

Aktivitas rutin ini juga dilakukan Alumni SMA Trimurti yang sekolahnya bersebelahan dengan Gedung Grahadi. Setiap kali membagikan kue dan kurma, selalu memacetkan jalan sekitarnya. Karuan saja, banyak pengendara yang terjebak hingga adzan tiba belum bisa berbuka. Apalagi di depan Grahadi, bila sore itu juga menyediakan hal yang sama. Sehingga kemacetan di dua ruas jalan tersebut tak terelakkan.

Suasana berbuka di pinggir jalan ini, agaknya dari tahun ke tahun terus meningkat. Hanya saja mereka tidak menggunakan cara yang tepat agar tidak mengganggu arus lalu lintas. Juga tidak menganggu orang yang ingin cepat membatalkan puasanya,.

takjilcmBJD.jpg

Haji Nawadi Ketua AMP saat bagikan takjil di Jalan Darmo. (Foto: Cak Amu/CoWasJP.com)

Kondisi seperti inilah yang dibaca Aliansi Madura Perantau (AMP). Organisasi kemasyarakatan yang baru dibentuk ini, sengaja mmbuat cara yang tepat. Yaitu enggan mengganggu pengguna jalan raya dengan memilih lokasi yang nyaman. Juga jam membagikan takjil tidak harus mepet dengan waktu adzan magrib.

Haji Nawadi sebagai ketua AMP mengakui tidak perlu pakai lama dan menghambat jalan raya. Caranya? Pesanan ratusan kue harus tiba di lokasi jam empat sore. “Pasukan juga harus sudah siap. Tidak lebih dari satu jam pasti ludes,” kata pengusaha ini sembari menyebut takjil yang dibagikan juga harus tepat sasaran.

Yaitu untuk orang yang benar-benar hendak berbuka puasa. Ia sengaja mengutamakan musyafir atau para pekerja yang puasa, dan tengah melakukan perjalanan pulang dengan mengendarai sepeda motor.

“Kalau yang bermobil minta ya kita kasih. Kami berikan takjil ini untuk siapa saja yang hendak buka puasa,” timpal wakilnya Choirul Anam.

Aksi ini, menurut Nawadi, akan dilakukan AMP hingga menjelang hari raya. Bahkan, menjelang Lebaran nanti pihaknya akan menyanggong taretan yang hendak toron di pintu masuk Jembatan Suramadu.

“Syukur Alhamdulillah berkat partisipasi teman-teman pengurus dan masyarakat peduli umat Islam yang berpuasa, sampai hari ini kami tetap samangat turun ke jalan,” tegas Nawadi.

Di Masjid Selain bisa berbuka puasa di pinggir jalan, masjid-masjid di Surabaya juga menyediakan buko bareng. Di Masjid Al Akbar misalnya. Beberapa menit menjelang berbuka , panitia sudah menyiapkan segelas minuman mineral lengkap dengan tiga butir kurma yang dikemas dalam plastik. Jamaah yang hendak ikut bukber bisa langsung mengambil posisi duduk berbaris, menghadap mimbar tempat sang ustad berceramah.

Seusai salat magrib, ibu-ibu berseragam bajum muslim warna pink, sudah siap membagikan nasi bungkus kepada jamaah yang antre memanjang menuju pintu keluar masjid. Suasananya tertib. Begitu pula saat mengambil air minum, mereka tak perlu berebut.

Ini berbeda dengan Masjid Muhajirin milik Pemkot Surabaya. Jamaah yang ingin berbuka bersama dan salat magrib berjamaah, tidak perlu duduk antre. Di masjid ini tidak ada tauziah seperti di Al Akbar. Jamaah bisam mengambil sendiri minuman segelas air mineral di meja dekat tempat wudlu.

mesji-al-akbar9iJpy.jpg

Jamaah berbuka di Masjid Al Akbar Surabaya. (Foto: Cak Amu/CoWasJP.com)

Petugas penitipan sandal siap memberikan sebungkus kurma dari dalam rak. Tidak disediakan tempat secara terbuka karena takut ada jamaah yang berebut. Cuma kelemahannya, bahwa jamaah yang tidak batal wudlu tidak tahu harus membatalkan puasanya. Ini dialami seorang musyafir yang hanya tola-tole, melihat rekannya sudah membatalkan puasa karena waktu magrib sudah tiba.

“Ngambil minumannya di mana pak,” tanya pria itu sembari meneteng tas rangselnya. Setelah diberi tahu ada di dekat tempat wudlu, pria separuh baya itu hanya tersenyum. “Kurmanya sudah habis. Tinggal ini,” ujarnya sembari menunjukkan segelas air mineral.

Jamaah baru mendapat nasi bungkus setelah semua ritual salat magrib rampung, Yang pulang duluan alias tidak ikut wiridan, tidak mendapatkan jatah itu, karena sebungkus nasi baru diberikan setelah imam masjid beranjak dari pengimaman. “Gak usah berebut semua pasti kebagian,” seru seorang takmir sembari menyebut setiap hari masjid menyediakan ratusan nasi bungkus.

Berbeda dengan masjid-masjid besar, masjid kecil di pinggiran kota justru ada jamaah yang tidak kebagian buko bareng. Contohnya di Masjid Berbek. Ada beberapa jamaah yang harus garuk-garuk kepala karena tak kebagian takjil. Ini tak lepas dari pasokan yang disediakan panitia tak sesuai dengan jumlah jamaah. Padahal di daerah ini adalah kawasan pabrik. Banyak pekerja yang berjamaah magrib. (*)

Pewarta :
Editor :
Sumber :

Komentar Anda