COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Imam Kusnin Ahmad
------------------------------------------
PULUHAN tahun suasana Lebaran Idul Fitri di lingkungan kami, khususnya menjelang dan sesudah shalat Ied, ada tradisi yang sebenarnya berbahaya. Yakni menyulut petasan.
Warga, tidak peduli berapa pun harga petasan itu. Untuk bisa menyediakan petasan di hari lebaran, terkadang warga membelanjakan rata-rata lebih dari Rp 500.000. Sekampung saya di Udanawu, Kabupaten Blitar, tradisi menyulut petasan hingga kini masih berjalan. Meski sedikit agak berkurang lantaran ada instruksi dari bupati dan Polres agar warga tidak membuat dan menyulut petasan.
Ditilik dari berbagai aspek, tradisi menyulut petasan di hari lebaran banyak rugi dari pada untungnya. Ruginya jelas, yakni menghambur-hamburkan uang yang hanya untuk mencari kesenangan sesaat. Atau bisa dikatakan memuaskan diri sendiri dan sangat mubadzir.
Belum lagi kalau sampai ada kecelakaan kena ledakan karena akibatnya sangat fatal. Kalau tidak tangannya buntung akibat kuatnya ledakan, atau kakinya luka parah.
Ilustrasi: Gedhebuk/CoWasJP
Kecelakaan gara-gara petasan hampir setiap tahun terjadi. Ketika saudara yang lain berlebaran dengan sanak dan famili, ia harus dirawat di rumah sakit karena kena ledakan petasan.
BESARNYA SEPAHA
Di kampung kami, petasannya rata-rata sebesar paha atau lengan orang dewasa. Satu slongsong petasan minimal berisi 1/4 kg obat petasan. Karena itu, ledakannya sangat kuat.
Banyak orang yang sakit jantung mendadak dan dibawa ke rumah sakit, karena jantungnya kambuh. Begitu juga bayi dan anak kecil. Orang tuanya harus ekstra hati-hati karena daya ledakannya sangat kuat.
Belum lagi kerugian material para peternak ayam. Gara-gara ledakan petasan yang kuat membuat ayam petelur setres .Kalau ayamnya stres, maka produksi telur menurun 20-30 persen. Kalau biasanya menghasilkan 50 kg per hari, berkurang 25 persen tinggal 37 kg per hari. Ini kalau hanya satu pertenak. Padahal di Kecamatan Udanawu hampir 27 persen peternak ayam petelur.
Alhamdulillah lebaran kali ini tradisi meledakkan petasan menurun drastis. Hal ini berkat instruksi resmi dari bupati dan aparat keamanan. Warga Kabupaten Blitar dilarang membuat dan menyulut petasan di tempat umum.
Memang ini tradisi, tapi tradisi asal Tiongkok ini harus segera dilenyapkan karena banyak mudhorotnya dari pada manfaatnya.
Menurut Dr H Agus Sunyoto, budayawan dan Ketua Umum Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Seluruh Indonesia) yang juga mantan wartawan Jawa Pos, memeriahkan idul fitri dengan menyulut petasan adalah pengaruh dari Tiongkok. Saat akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit, banyak orang Tiongkok Islam datang ke wilayah Majapahit. Selain berdagang mereka merayakan hari lebaran Idul Fitri dengan menyulut petasan. *