COWASJP.COM – ockquote>
O le h: Ariyono Lestari
--------------------------------
MUDIK yang selama ini menjadi tradisi tahunan masyarakat kita selalu saja menjadi berita. Mulai H-10, hampir semua stasiun televisi mulai membuat siaran langsung berbondong-bondongnya warga dari kota besar, terutama dari Jakarta ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Biasanya, yg menjadi fokus perhatian utama adalah jalur pantai utara (pantura) Pulau Jawa dan pelabuhan Merak. Karena, di dua titik itulah jutaan pemudik terkonsentrasi.
Menu-menu berita terbanyak didominasi oleh kemacetan di titik-titik tertentu, seperti jalur darat di wilayah Cirebon melalui jalan tolnya sampai Brebes. Kalau jalur laut biasanya berjubelnya pemudik di pelabuhan Merak.
Dan, lebaran tahun ini, wilayah Brexit (Brebes Exit, mengutip ketenaran Britania Exit), artinya pintu tol ke luar Kabupaten Brebes di bagian timur, yang top news. Kemacetan di Brexit pada H-3 dikabarkan mencapai puluhan kilometer panjangnya. Warbiasyaah....!
Kabar yang lebih menyesakkan, 12 Brexit orang meninggal dunia akibat kemacetan yang luar biasa. Bayi berusia 1 tahun meninggal karena terlalu banyak menghirup carbon dioksida di dalam mobilnya yang nyaris tak bergerak selama berjam-jam.
Ada ibu-ibu usia 50 tahunan yg saking sumpeknya berada di dalam bus memilih turun karena sakit mendadak. Ibu itu diantar ke rumah sakit terdekat tapi keburu.meninggal. Benar-benar pengaturan mudik terburuk sepanjang sejarah. Bahkan, pemerintah kabarnya tak muncul untuk ikut menyelesaikan persoalan rakyatnya.
SPBU BREXIT UTAMAKAN JERIGEN
Lalu, apa penyebab macet yang warbiyasyaah itu? Daniel, seorang pemudik asal Bekasi yang pulkam ke Solo mengungkapkan kejengkelannya melihat perilaku SPBU di Brexit. Selama ini, menurut Daniel, ada aturan tertulis tentang larangan melayani pembelian premium dengan jerigen. Tapi, yang terjadi di SPBU daerah Brebes berbeda. Mereka lebih memilih melayani warga yang membeli dengan jerigen daripada mobil yang mengantri panjang.
Lalu, warga yang antre dengan membawa premium itu dan memasarkannya ke para pemudik yang di tengah “terpenjara” kemacetan dan menjualnya dengan harga warbiasyaah: Rp 25.000 seliter. Bahkan ada yang Rp 40.000 seliter!
Para pemudik sudah pasti membayarnya karena memang tidak ada pilihan lain, daripada kehabisan bahan bakar dan mobil mogok di tengah kemacetan, tentu sangat merepotkan. Lalu, bisnis premium dengan jerigen jadi bisnis dadakan warga sekitar karena keuntungannya yang menggiurkan. Maka, antrean jerigen pun mengular mengalahkan antrean mobil.
Hilir mudiknya warga yang melayani pemilik mobil di tengah kemacetan Brexit itulah yang justru memperparah keadaan. Apalagi sepeda motor penjual bensin eceran itu nyelap-nyelip seenaknya di tengah kemacetan yang sangat parah itu. Daniel sendiri bersama keluarga baru sampai ke tempat tujuannya 2 hari kemudian.*