COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Roso Daras
----------------------------
BERDIRI di atas jembatan Karanggeneng, Rembang, arahkan pandangan ke utara. Betapa muara sungai Karanggeneng menampakkan adanya sekam yang sewaktu-waktu bisa membara. Inilah salah satu kampung nelayan di Kabupaten Rembang, yang sangat menarik.
Jembatan Karanggeneng, dulunya hanya selebar 9,5 meter saja. Kemudian tahun 2013 diperlebar menjadi 17 meter. Jembatan ini menjadi pemisah antara ruas jalan utama Pantura, Jalan Gajah Mada dan Jalan Diponegoro.
Dari atas jembatan, kita bisa menyaksikan deretan ratusan perahu nelayan dengan segala kesibukannya. Sisi sebelah kanan jembatan, ada akses jalan menuju Kampung Tasik Agung, di situlah Tempat Pelelangan Ikan (TPI) terbesar di Rembang, bahkan Jawa Tengah. Siang hari, kesibukan TPI sangat padat. Para nelayan memisah-misahkan ikan hasil tangkapan ke dalam keranjang. Aroma transaksional khas kampung nelayan pun terjadi.
Nah, sebelum masuk areal TPI, bercokol sebuah Klenteng yang menghadap ke arah muara, pertemuan ujung sungai dan laut Jawa. Klenteng Mak Co (Tjoe Hwie Kiong). Rembang juga memiliki kelenteng bersejarah lainnya di Lasem, yakni Klenteng Cu An Kiong. Klenteng Cu An Kiong dipercaya sebagai klenteng tertua di tanah Jawa. Klenteng ini dibangun pada abad ke-16. Lokasinya berada di jalan Dasun, Desa Soditan.
Kelenteng Mak Co. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Masih di Lasem, juga terdapat dua kelenteng yang dibangun abad ke-17, yakni Klenteng Gie Yong Bio dan Klenteng Poo An Bio. Dus, di Lasem sendiri, setidaknya ada tige kelenteng bersejarah. Bisa dimaklumi, sebab, komunitas Tionghoa di Lasem memang sudah ada sejak dahulu kala. Hubungan komunitas Tionghoa dan masyarakat pribumi di sana pun sangat unik.
Kembali ke Kelenteng Mak Co di Tasikagung. Kehadirannya di tengah kampung nelayan Karanggeneng, membuatnya menonjol. Berdasarkan catatan sejarah, bangunan unik tersebut dibangun 1841 oleh Kapiten Lie. Pada mulanya didirikan di Desa Jangkungan-Kecamatan Kaliori, kemudian dipindah ke lokasi yang sekarang.
Setiap sepuluh tahun sekali diadakan perayaan besar-besaran. Acara dasawarsa selalu dimeriahkan atraksi kesenian tradisonal kaum Tionghoa, juga pertunjukan kesenian daerah Kabupaten Rembang. Kirab kesenian setiap sepuluh-tahunan, terakhir dilangsungkan 2011, dus perayaan berikutnya baru terjadi tahun 2021.
Keistimewaan kelenteng ini adalah menara kembar yang disebut Kie-Kwa yang tidak dijumpai pada kelenteng lain. Menara kembar Kie-Kwa seringkali berfungsi sebagai penunjuk arah bagi para nelayan.
Perahu-perahu nelayan saat bersandar karena tidak berlayar. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Berdiri di altar Klenteng Mak Co kita akan melihat kapal-kapal nelayan berlabuh. Kampung nelayan Karanggeneng memiliki tradisi panjang, sejak zaman Kerajaan Mataram Kartasura. Karenanya, dari dulu tempat ini selalu ramai. Hanya saja, jika dulu sungai ini banyak digunakan untuk pengangkutan kayu, saat ini praktis “dikuasai” komunitas pencari ikan.
Penulis saat menikmati suanana Kampung Nelayan dan latar belakang perahu-perahu nelayan dari Jembatan Karanggeneng, Rembang. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Di mana letak “membara”-nya Karanggeneng? Begini. Pernah mendengar demo nelayan di Rembang beberapa waktu lalu? Itulah salah satu aksi nelayan Rembang paling membara. Mereka bahkan dalam satu aksinya, sempat menutup jalur Pantura, sehingga melumpuhkan urat nadi yang menghubungkan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bukan hanya itu, demo atas kebijakan Menteri Susi itu juga berlanjut dengan ancaman hendak menduduki Istana.
Lalu, setiap 10 tahun sekali, Kelenteng Mak Co merayakan peringatan besar-besaran. Suasana membara ditingkah atraksi seni tradisi Tionghoa dan tradisi daerah Rembang. Berarak-arakan memadati Kota Rembang.
Jembatan Karanggeneng kampung nelayan, Rembang, Jawa Tengah pada zaman dulu. (Foto: repro/istimewa)
Last but not least... dalam ritual Sedekah Laut, atau perayaan-perayaan lain yang digelar di kampung nelayan Karanggeneng, tak ketinggalan pertunjukan dangdut Pantura sungguh membara. Para nelayan dan juragan ikan, larut dalam joget-ria penuh kegembiraan dan emosi. Para “taipan ikan” unjuk “harga diri” dengan ritual “nyawer” biduanita yang cantik dan seksi.
Berlembar-lembar uang lima-puluhan atau bahkan ratusan, disteples membentuk karangan bunga, dan dikalungkan di leher sang penyanyi. Yang lain, lebih suka menggenggam segepok rupiah, dan memberikannya kepada si-biduan, lembar demi lembar sampai lagu habis. Begitu suasana membara hingga menjelang subuh. ***