COWASJP.COM – ockquote>
C a t a t a n: Fuad Ariyanto
-------------------------------------
SAMPAI pertengahan Juli 2016, curah hujan masih belum menurun. Beberapa kawasan tergenang air. Apalagi di daerah sekitar pinggiran Bengawan Solo. Sawah, tambak, bahkan makam (kuburan) berubah bak danau. Warga yang kebetulan meninggal di musim ini tak bisa dimakamkan di pemakaman umum. Jenazahnya terpaksa dititipkan.
Jalanan basah, air menggenang di beberapa titik lubang jalan desa, Perahu-perahu kecil milik warga bisa ditambat tepat di pinggir jalan karena permukaan air persis menyentuh bibir jalan. Sejatinya, di bawah perahu-perahu itu adalah sawah atau tambak yang tenggelam akibat curah hujan yang tak kunjung berhenti.
Pemandangan itu mewarnai sebagian desa-desa di pinggiran Bengawan Solo wilayah Utara. Termasuk, desa Blawi, kecamatan Karang Binangun, Kabupaten Lamongan.
Mongso rendeng (musim hujan) berkepanjangan membuat warga Blawi --yang umumnya petani, petambak-- harus lebih sabar karena lahan tak bisa digarap. Hujan masih kemrecek sehingga air tak segera mengalir ke kali. Padahal, menurut prakiraan Dinas PU Pengairan Kabupaten Lamongan, bulan-bulan Juli, Agustus, sampai September merupakan masa terkering di daerah itu. (Times Indonesia, 6 Januari 2016).
Curah hujan pada bulan itu biasanya hanya 80 mm. Sedangkan paling deras pada Desember, curah hujan bisa mencapai 420 mm.
Jika mongso rendeng ’’normal’’, minggu-minggu Juli biasanya waktu pemupukan tanaman padi di sawah maupun ikan di tambak. Penebaran benih ikan dilakukan pada Mei, diikuti musim tanam pada Juni. Panen padi maupun tambak diperkirakan bisa dilakukan sekitar Agustus.
Karena hujan deras sejak Januari-Februari belum juga reda, petani-petambak harus menunggu air surut. Sedangkan petambak yang belum tuntas memanen ikannya, harus rela kehilangan karena ikan-ikan itu menemukan jalan keluar. Lepas dari tambak, keluyuran ke sawah, ke daratan yang lebih rendah, termasuk main ke pemakaman.
Kata sebagian orang, hujan kemrecek seperti itu merupakan tambahan kebahagiaan bagi pengantin baru. Tubuh-tubuh yang biasa dingin sendiri mendapat asupan hawa panas dari tubuh lain jenis. Menimbulkan aroma hangat, nyaman, plus sedikit geli. Karena itu, biasanya pengantin baru suka berlama-lama kelesetan di tempat tidur.
Bendungan Gerak Sembayat (BGS) di desa Sidomukti, Gresik. Pintu air sudetan Bengawan Solo. (Foto: koleksi Abd. Malik Murti).
Sahabat saya, Abdul Malik Murti, pria asal Glagah, Lamongan, mendapatkan kenikmatan semacam itu. Pada 10 Juli lalu dia menikah dengan perempuan Blawi setelah beberapa lama menduda.
Kebahagiaannya terpancar dari senyumnya yang lebih sering tersungging. Rambutnya yang semigondrong kelihatan lebih klimis, dan kumis lebatnya dibentuk rapi mirip bintang film India.
Kegembiraannya berlipat kala dia melihat beberapa pria memegang walesan (joran) duduk di ’’kolam musiman’’ di desa itu.
Dia mendekat. Beberapa pemancing sudah mendapatkan tiga-empat Nila cukup besar. Bukan mustahil ikan-ikan itu merupakan pelarian dari tambak di sekitarnya. Namun, ketika diamati lebih jeli, di permukaan ’’kolam pancing’’ tersebut tersembul batu-batu berjajar rata. Alamak!!! Ternyata, batu-batu itu merupakan ujung dari batu nisan.
Dia terkesiap. ’’Kolam pancing’’ itu ternyata kuburan.
Tapi, syahwat memancingnya lebih besar dari rasa merindingnya. Bagaimana jika ada orang meninggal, sementara kuburan tenggelam? Jenazah terpaksa dititipkan. Tentu menitipkan jenazah tidak seperti titip becak atau motor.
Warga desa membuat pemakaman titipan di dekat pintu masuk kuburan. Terdapat empat bangunan yang dibuat lebih tinggi berukuran sekitar 10 X 20 meter. Masing-masing berkapasitas 24 jenazah.
Proses pemakaman tidak berbeda dengan pemakaman biasa. Hanya, sebelum peti mati dimasukkan ke liang lahat, diletakkan dua tali besar di bawah peti. Fungsinya, untuk mengangkat peti ketika jenazah dipindahkan ke pemakaman umum bila sudah kering.
Tak ada biaya tambahan bagi keluarga yang menitipkan jenazah ke makam penitipan tersebut. Mereka hanya diwajibkan menyumbang satu pick-up pasir urug.
Pemindahan jenazah dilakukan oleh keluarga dibantu tetangga. Biasanya, diikuti dengan selamatan dengan tumpeng di masjid desa.
Malik, pemancing tulen itu, kemecer melihat ’’kolam pemancingan’’ itu. Dia segera mengabarkan keberadaan lahan mancing unik itu ke komunitas mancingnya di Surabaya. Termasuk pada sohib-nya, Chairul Wadud, pakar batu akik (dalam tulisan terdahulu: Akik Sleman Tangan Cekot) itu.
Bagi Malik, Wadud, dan anggota komunitas pemancingnya, kepuasan tertinggi memancing memang ketika mendapatkan gondolan (umpan disambar ikan). Tapi, gondolan bukan lah satu-satunya tujuan.
Memancing merupakan sebuah proses menemukan keselarasan antara jiwa raga manusiawi dengan alam. Tak jarang mereka pulang dengan tangan kosong, tanpa membawa ikan. Namun, mereka tak kecewa. Memancing memang tak selalu mendapatkan ikan. Tapi, tetap ada kepuasan.
Tengah malam, di atas perahu yang ditambat di Bengawan Solo, di sekitar Tanjung, tak jauh dari muaranya, di Ujung Pangkah, Wadud, Malik, dkk menyelipkan walesan mereka di sela-sela papan perahu. Sementara mereka telentang di perahu kecil itu, mata metanap langit, menghitung bintang-bintang yang tak terhitung. Hati berzikir.
Kadang, kala hati dan pikiran sangat tenang, indera terasa lebih tajam. Telinga mampu menangkap suara-suara selembut angin, Kecipak air, dan bisikan ikan yang seakan mencibir keberadaan mereka di atas perahu. Atau menangkap suara-suara tak berwujud. Itu semua dianggap sebagai tambahan kekayaan spiritual dalam mengenal Zat yang Maha Agung, Maha Tunggal.
Air menggenangi makam sejajar dengan permukaan jalan desa. (Foto: koleksi Abd. Malik Murti)
Sebagai pemancing sejati, Wadud dan Malik cukup hafal pola hidup udang galah, salah satu sasaran favoritnya. Binatang itu suka ngumpul di Rolak Jagir, Wonokromo, Surabaya, sekitar Agustus—November. Pada bulan-bulan itu, air tawar di rolak mengecil. Sementara air laut pasang mendorong air asin jauh ke hulu. Udang galah yang secara naluriah bergerak menyusuri air tawar terhenti di pintu air Jagir.
Selepas bulan itu, biasanya hujan mulai turun. Air tawar di rolak sudah tinggi dan udang galah terbawa arus air tawar ke mana-mana sampai mendekati muara.
Pada Februari sampai April, hutan wisata mangrove Wonorejo, Surabaya, merupakan tempat rendezvous (randevu) yang asyik bagi udang galah jantan dan betina. Di sela-sela semak mangrove itu mereka kawin dan bertelur. Pemancing udang disitu seringkali mendapatkan udang jantan dan betina dewasa. Coba saja.
’’Kolam pancing’’ di kuburan Blawi itu pun menjadi diskusi hangat di komunitas. Traffic diskusi melalui WhatsApp padat dalam hitungan detik. Ada yang menilai mancing di kuburan rasanya gak ilok (tidak etis) meski sangat mungkin mendapatkan hasil besar.
Namun, Malik pantang surut dalam mempromosikan desa Blawi, kampung barunya, sebagai lahan mancing yang layak didatangi. Blawi tak jauh dari Bendungan Gerak Sembayat (BGS) di Sidomukti, Kabupaten Gresik.
Bendungan tersebut disiapkan untuk mengelola banjir melalui sudetan Bengawan Solo di Kabupaten Gresik dan sekitarnya.
Akibat sudetan itu, ada beberapa dusun yang terisolir karena jalan terputus. Antara lain, dusun Perubungan. Untuk mengatasinya, BGS dilengkapi jembatan sebagai pengganti jalan yang putus tersebut. Kini, warga Perubungan dan sekitarnya punya akses jalan memadai menuju Kecamatan Bungah dan tempat-tempat lain.
:Abd. Malik Murti (kanan) dan Choirul Wadud. (Foto: Cak Fu/CoWasJP.com)
Sampai saat ini bendungan itu belum diresmikan. Tapi, Wadud dan Bambang Setijadi, sesepuh komunitas itu, sudah pernah melaluinya ketika melakukan orientasi lahan pemancingan.
Di bendungan itulah, Wadud yang kala itu berboncengan motor dengan Bembeng –panggilan akrab Bambang Setijadi— melihat fatamorgana. Jembatan bendungan tampak dua. Untungnya dia tidak memegang kemudi motor. Ahh…mungkin matanya terlalu capai, apalagi malam hari.
Menurut analisis Wadud, Bengawan Solo merupakan habitat terluas udang galah. Biasanya, pada Agustus--November udang galah berada di sekitar Kecamatan Dukun, Gresik,
Keberadaan BGS di Sidomukti bisa jadi tidak memberi kesempatan udang galah menjelajahi air tawar sampai ke hulu. BGS akan menjadi tempat persinggahan udang galah pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana Rolak Jagir melanggar hak hidup udang galah menyusuri air tawar.
Menurut teori, sejak menetas di air payau, bibit udang galah akan menyusuri air tawar sampai sejauh 300 mil. Karena itu, jika tidak terhalang BGS, udang galah bisa menyebar sampai ke Bojonegoro.
Fungsi utama Rolak Sidomukti –begitu warga sekitar menyebut BGS-- untuk menahan air tawar agar tidak segera lepas ke laut sekaligus menahan air laut agar tidak mengalir lebih jauh masuk ke hilir yang berdampak buruk bagi pertanian. Jadi, mancing dimana? *