COWASJP.COM – ockquote>
Catatan: Erwan Widyarto
SETELAH berputar-putar di atas langit Jogja sebanyak tujuh kali, pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta itu pun akhirnya mendarat. Pesawat yang terbang dari Cengkareng pukul 19.00 WIB itu menurut jadwal landing di Bandara Internasional Adisutjipto Yogyakarta pukul 20.10 WIB. Nyatanya, baru bisa mendarat pukul 21.20 WIB. Satu jam lebih berputar-putar di langit malam Jogja dalam cuaca yang kurang baik. Keluar dari pesawat pukul 21.40.
Tiba kembali di Jogja, setelah empat hari meninggalkannya, tentu perasaan senang yang ada. Kangen keluarga, serta ingin segera bertemu anak dan istri segera terobati. Namun, bisa mendarat ternyata tak berarti bisa langsung turun dari pesawat.
“Para penumpang yang terhormat, mohon maaf, kita akan menunggu sekitar sepuluh menit di sini menunggu ada tempat parkir yang kosong.” Suara pramugari itu disampaikan saat pesawat berhenti di sisi timur bandara.
Suara merdu pramugari pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 568 dari Jakarta menuju Jogja dan Denpasar itu tak mampu menutupi kegalauan saya. Sebaliknya, justru menambahkan kejengkelan dan keprihatinan saya. Jengkel atau mangkel karena peristiwa menunggu parkir pesawat kosong ini menjadi akumulasi berbagai hal tak mengenakkan dalam perjalanan saya dari Pontianak menuju Jogja dengan armada berlogo kepala Singa Merah ini.
Tiket yang dibelikan oleh Yayasan Mekar Pribadi Jakarta untuk saya sebagai narasumber Workshop Apresiasi Tradisi di Perbatasan –dilaksanakan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat—adalah tiket terusan (connecting flight). Dari Bandara Supadio Pontianak menggunakan pesawat Lion JT 685 pukul 15.00 WIB. Mendarat di Terminal 1 Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten pukul 16.10 WIB. Untuk ke Jogja disambung dengan JT 568 yang berangkat dari Terminal 3.
Lazimnya sebuah penerbangan connecting, penumpang transit dilayani penuh oleh pihak maskapai. Begitu mendarat, lapor ke petugas, lalu diarahkan ke penerbangan berikutnya. Kendati berganti pesawat, penumpang tetap dilayani hingga ke pesawat berikutnya. Dalam kasus saya, begitu mendarat di Terminal 1 langsung diminta keluar terminal dan dipersilakan menuju Terminal 3. On your own business. Sak karepmu dhewe. Saya tidak bisa membayangkan bagi yang tidak paham situasi bandara atau bagi saudara yang difabel. Kesulitan tambahan pasti akan ditemuinya.
Dari Terminal 1 menuju Terminal 3 memang disediakan shuttle bus. Tapi informasi yang minim menyebabkan kebingungan. Bus yang ada pun tidak ramah bagi difabel.
Belum lagi ketika satu bus datang, begitu para penumpang yang sudah lama menunggu mau naik, sopirnya berkata, ”Mohon maaf kami mau istirahat.” Penumpang yang siap naik ke bus pun balik kanan….Kecewa!
Menunggu lagi bus berikutnya. Bus datang lagi, para penumpang pun naik. Lagi-lagi, informasi yang minim membuat orang-orang bingung. Hal itu saya lihat dari sejumlah orang asing yang berada dalam satu shuttle bus dengan saya. Mereka harus bertanya-tanya ke orang yang duduk di sebelahnya untuk sampai ke terminal yang akan ditujunya.
Sesampai di Terminal 3, kendati saya penumpang connecting flight, tetap saja menjalani prosedur seperti penumpang yang lain. Saya pun menuju ruang tunggu boarding. Di layar monitor jadwal pemberangkatan pesawat, terlihat urutan satu persatu pesawat berangkat sesuai jadwal. Yang ke Denpasar, ke Solo, ke Batam, ke Jogja dan seterusnya. Jadwal keberangkatan pesawat JT 568 yang saya naiki tak segera muncul di layar. Padahal jam sudah menunjuk pada pukul 18.50 WIB. Biasanya, untuk penerbangan pukul 19.00, seperempat jam sebelumnya sudah mulai boarding.
Informasi dari istri saya lewat telepon, Jogja sedang hujan deras. Saya lihat di depan meja petugas ada tumpukan kardus snak dan air minum. Saya berpikir, jangan-jangan delay. Ternyata tidak. Beberapa saat kemudian, para penumpang JT 568 diminta segera memasuki pesawat. Kami pun antre. Lalu memasuki lorong belalai gajah. Tapi tidak langsung ke pesawat. Lorong itu mengarah ke antrean naik bus….
Dan alamak….kami naik bus dengan tulisan besar LION Air Group itu dari Terminal 3 menuju ke pesawat yang berada di Terminal 1. Luar biasa. Kalau naik pesawatnya di Terminal 1, mengapa penumpang connecting flight seperti saya harus diminta ke Terminal 3 terlebih dulu?
Anehnya lagi, begitu turun dari bus, lagi-lagi tidak ada informasi yang mengarahkan kami harus naik pesawat yang mana? Pdahal kami diturunkan di tengah-tengah hiruk pikuk penumpang yang baru turun dari pesawat Lion. Lalu ada berderet-deret pesawat Lion juga. Para penumpang asing, bule-bule itu juga terlihat kebingungan. Ketika kami bertanya kepada petugas ground, barulah jelas pesawat mana yang harus kami naiki.
Dafri Agussalim, yang menyambung penerbangan ke Jogja setelah dari Singapura, juga tak kalah jengkelnya. Sudah lelah menunggu, eh masih harus bingung harus naik pesawat yang mana. “Heran saya tak ada informasi pesawat mana yang harus kita naiki,’’ katanya.
Masuk ke pesawat tak berarti juga segera terbang. Pesawat pun harus mengantre untuk mendapat giliran terbang. Seperti biasa, begitu mengudara, pramugari pun menginformasikan waktu tempuh menuju kota tujuan. “Penerbangan menuju Jogjakarta memakan waktu satu jam sepuluh menit,” kata pramugari memberi tahu kami.
Sayangnya, kendati waktu tempuh sudah terlewati, pramugari maupun awak kabin lain tidak menginformasikan apa yang terjadi. Ketika pesawat berputar-putar hingga tujuh kali di atas gelapnya malam Kota Jogja dengan beberapa kali menerobos awan hujan sehingga pesawat bergetar cukup keras, sama sekali tidak ada informasi dari pilot maupun pramugari. “Mengapa tak ada informasi dari pramugari kalau kita harus berputar-putar?” tanya Dafri heran.
Lalu kenapa harus berputar-putar? Rupanya, pesawat pun antre untuk mendarat di Bandara Internasional Adisutjipto ini. Runway yang pendek dan hanya satu, harus digunakan oleh sejumlah penerbangan yang padat. Dan sore hari merupakan “prime time” dengan jumlah penerbangan yang begitu banyak, baik kedatangan maupun keberangkatan.
Itu terlihat begitu pesawat kami mendarat. Tak ada apron atau tempat parkir pesawat yang kosong. Ada Sembilan apron yang semuanya terisi pesawat. Di apron 9, paling timur, pesawat Garuda Indonesia. Lalu ada Batik Air, ada Lion, Wing Air, Nam Air dan lainnya. Karena penuh itulah, pramugari menginformasikan bahwa pesawatnya harus menunggu sekitar 10 menit agar ada tempat parkir yang kosong.
Jika sudah begini, yang bisa kita lakukan hanyalah mengelus dada. Prihatin. Sembari berdoa semoga bandara baru yang lebih besar di Jogja segera terealisasi. Serta pelayanan maskapai yang lebih baik segera terwujud.***