COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Roso Daras
---------------------------
BANTENGAN... seni tradisi asli masyarakat Malang Raya. Lebih khusus lagi, budaya yang berakar pada seni pencak silat ini lahir, tumbuh, dan berkembang di area sekitar empat gunung di Jawa Timur: Semeru, Bromo, Arjuno, dan Kawi.
Sejarah pertumbuhan seni Bantengan, akhirnya berpusat di kawasan Batu. “Tapi kalau menelusur sejarahnya, sangat-sangat panjang. Bahkan sudah ada dari zaman Kanjuruhan,” ujar pendekar bantengan Batu, Agus Riyanto (49).
Nama Agus Riyanto kini sangat disegani komunitas bantengan se-Malang Raya. Bisa jadi lantaran ia merupakan trah atau keturunan pendekar terkenal zaman dulu, Kastari, atau Mbah Ri. Tetapi lebih dari itu, Agus juga disegani karena memiliki dedik eksistensi Agus di jagat bantengan Malang Raya asli, komitmen, dan totalitas mengembangkan seni bantengan.
Tahun 2014, bisa jadi puncak eksistensi Agus di jagat bantengan Malang Raya. Ketika itu, dengan difasilitasi Walikota Batu Eddy Rumpoko, Agus menggelar acara bantengan kolosal. Ribuan pelaku seni bantengan tumpah-ruah di dalam stadion Batu.
“Ya, itu acara bantengan kolosal pertama dan terbesar. Lebih seribu bantengan berpartisipasi, dari ratusan kelompok bantengan se-Malang Raya,” papar lelaki gondrong itu.
SUKSES: Acara bantengan kolosal pertama dan terbesar di adakan oleh Agus Riyanto Bantengan Batu. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Seni bantengan itu sendiri, berakar pada seni pencak silat. Gerakan pemain bantengan adalah gerakan silat. Bahkan pemeran macan dan monyet, juga harus punya kemampuan dasar silat. Ya, bantengan terdiri atas tiga unsur binatang: Banteng, macan, monyet. Banteng dimainkan oleh dua orang. Satu orang di depan, berperan sebagai kepala, satu lagi di belakang, menjadi ekor dan menyesuaikan gerakan teman main di depan.
Sedangkan, untuk macan dan monyet dimainkan oleh satu orang. Dalam satu kelompok bantengan, bisa beranggotakan 50 sampai 60 orang. “Jadi, satu kelompok, bantengnya bisa 10 atau lebih,” ujar Agus, yang mengaku total menggeluti bantengan sejak tahun 2005.
Agus senang, bantengan kini hidup lagi di Malang Raya pada umumnya. Seni ini sempat mati-suri. Lama. Lama sekali. Tahun 2005 Agus menghidupkannya kembali. Awalnya, sangat sulit mencari teman bermain bantengan. Lambat laun, terhimpun satu kelompok, menyusul kelompok lain, dan tiga tahun kemudian, 2008, seni bantengan mulai marak.
Kebangkitan tahun 2008, ditandai dengan gelar Karnaval Bantengan. Agus mengkoordinir puluhan kelompok bantengan melakukan atraksi ala karnawal, menyusuri jalan raya antara Stadion Batu dan finish di Balaikota.
SPIRIT: Agus Riyanto (kiri) saat mengatur dan memberikan semangat kepada para pemain dalam sebuah acara karnaval Bantengan di Kota Batu. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Sejak itu, meski tidak terlalu sering, satu-dua warga mulai memanggil untuk perform hajatan. Ketika masyarakat mulai menyambut, ketika itu pula bantengan hidup. “Dulu, bantengan hanya ditampilkan saat acara tujuh-belasan. Jadi, praktis setahun hanya sekali pertunjukan. Makanya mati,” ujar Agus.
Ketika Agus mulai menggali dan menghidupkan kelompok-kelompok bantengan, didapati kenyataan, bahwa sudah banyak pendekar bantengan yang meninggal. Desis kata “masih untung” keluar dari mulut Agus, demi melihat properti bantengan masih utuh. Persoalannya kini tinggal mengkader pendekar. “Tidak semua orang bisa jadi pendekar. Harus ada ritual khusus yang dijalani sebelum madeg pendekar. Silsilah juga penting,” papar Agus.
Sejatinya, bantengan memiliki spirit gotong royong yang sangat tinggi. Selain pondasi gotong royong, pola hidup dan kehidupan komunitas bantengan juga sangat-sangat sederhana. Dalam setiap kelompok, tidak ada yang berperan sebagai penyandang dana. Setiap individu mengeluarkan sumbangan untuk kelompoknya. Baik untuk pengadaan dan perbaikan properti, maupun untuk kebutuhan latihan.
“Ada yang nyumbang sayur-mayur, buah-buahan, rokok, beras, lalu dimasak untuk makan bersama. Adat kelompok lain ada kalanya berbeda, sesuai daerah asal. Misal, ada yang menyumbang beberapa batang bambu, kayu, dan sebagainya. Sumbangan itu kemudian dijual, uang hasil penjualan dipakai untuk beli beras, lauk, dan akhirnya dipakai untuk makan bersama,” kata lelaki yang berprofesi sebagai pelukis itu
MURAH SENYUM: Sosok Pendekar Bantengan Batu Agus Riyanto. (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Ia menambahkan, pemain bantengan, umumnya mendedikasikan diri pada kelompoknya, di sela-sela kegiatan rutin. Jadi, yang berprofesi sebagai petani, ia mencari nafkah dari bertani. Yang pedagang, mencari nafkah dari berdagang. Yang pegawai, menghidupi diri dan keluarga dari gaji. “Kami tidak mencari hidup dari bantengan. Kami menghidup-hidupi bantengan,” kata Agus, seraya menambahkan, “bahkan ketika kami ditanggap, kami tidak dibayar. Pengundang paling hanya menyediakan konsumsi untuk makan.”
Kesederhanaan juga tampak dari properti yang digunakan. Pakaian serba hitam, simbol kerakyatan. Properti banteng dari kayu. Tanduknya, kalau tidak ada tanduk banteng asli, diganti tanduk sapi atau kerbau. Kalau toh tidak ada, bisa digunakan tanduk kayu.
Sejak bantengan booming tahun 2014, kini seni itu merebak pesat di Malang Raya. Tahun 2007, Agus mencatat jumlah kelompok bantengan di Malang Raya tak lebih dari 50. Maksudnya, kelompok yang aktif. Sejak aksi bantengan kolosal tahun 2014, kini bercokol tak kurang dari 300 kelompok bantengan se-Malang Raya.
MENJAGA KEMURNIAN TRADISI: Penulis Roso Daras (kiri) saat ngobrol tentang bantengan dengan sang komandan Agus Riyanto Bantengan Batu (kanan). (Foto: Roso Daras/CoWasJP.com)
Tantangan Agus ke depan adalah menjaga seni bantengan tetap murni. Ya, menjaga kemurnian tradisi seni bantengan. Ruh gotong royong dan sederhana, ditambah non-komersial. Agus menolak segala uluran tangan dari pihak mana pun, jika pada pelaksanaannya harus menggerus nilai-nilai tadi.
“Pemain bantengan itu mengutamakan rasa. Solidaritas dan persaudaraannya sangat tinggi. Contoh, kalau kami bikin acara, maka semua harus saya undang. Soal datang atau tidak, itu soal lain. Tetapi kalau saya lupa mengundang, mereka bisa tersinggung. Bayangkan, padahal tidak dibayar. Bahkan untuk ikut berpartisipasi, mereka juga harus iuran biaya sendiri. Tapi, ya itulah hebatnya bantengan,” ujar Agus bangga.
Karenanya, ia menolak peran koreografer atau penata busana masuk dalam seni bantengan. Sebab, kalau seni gerak mereka dipoles, percayalah, bantengan menjadi kaku dan tidak alami. Apalagi kalau kami harus dibungkus pakaian warna-warni dan blink-blink.... “Pernah saya nonton bantengan yang dikemas dalam panggung pertunjukan. Gerakannya diatur, kostumnya meriah... Batin saya bertanya, kok jadi kayak bencong gini... Opo tumon, bantengan bencong?” kata Agus disusul tawa renyahnya. ***