COWASJP.COM – SOSOK Mukidi tiba-tiba membahana dalam sepekan terakhir ini dalam media sosial. Ia menjadi topik dan tokoh sentral, lakon, pada cerita humor pendek. Mukidi, nama khas Jawa atau Madura, yang dipersonofikasikan seseorang dari desa, pesisir, terbelakang, polos tapi cerdas dan banyak akal.
Bahkan, ada yang menggambarkan dengan memposting foto pria bule ganteng, dengan istri yang cantik, bahenol, berpenampilan orieantal.
Mukidi bisa menjadi apa saja. Yang penting, lucu pada akhir cerita. Dan, yang penting membuat pembaca tersenyum tipis hingga terbahak. Ketokohan Mukidi menjadi humor penghilang kepenatan, melupakan sejenak kehirupikukan bagi masyarakat kota seperti Jakarta.
Kita memang memerlukan cerita lucu, fiktif atau nonfiktif. Yang penting dapat ngakak, atau sekadar menulis wkwkwkwk...pada gadget Anda.
Ilustrasi humor mukidi. (Foto: tribunnews)
Naluri manusia untuk mencari kegirangan, kesenangan, kegembiraan, dan hiburan sudah dimiliki sejak masih bayi. Sejak bayi dilahirkan, ibunya segera melatihnya untuk menyukai kegembiraan.
Hampir setiap saat, sang ibu berusaha dengan giat agar sang anak dapat tertawa girang. Ia sering menirukan tingkah laku binatang, mengeluarkan bunyi aneh-aneh, dan memperagakan hal-hal yang tidak masuk akal, selalu merangsang agar anaknya suka tertawa. Ketika sang anak sudah beranjak dewasa, kebutuhan akan kegembiraan itu sudah melekat erat dalam dirinya.
Manusia hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegembiraan dan hiburan. Hal-hal yang aneh dan nyeleneh dapat menjadikan humor.
Dengan demikian, keberadaan humor sebagai sarana hiburan sangat penting. Humor dapat tampil mantap sebagai penyegar pikiran dan sekaligus sebagai penyejuk batin, dan penyalur uneg-uneg.
Humor juga dapat sebagai sarana persuasi untuk mempermudah masuknya informasi atau pesan yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius dan formal.
Dengan menyadari hal- hal itu, dapat disimpulkan bahwa humor memiliki suatu potensi penting. Humor dapat dijadikan suatu bahan untuk dikaji sebagai semacam ilmu. Semakin kritis suatu masyarakat, semakin tinggi pula permintaan mereka pada humor.
Walau sekilas tampak mbalelo, sesuka hati, cuek, sosok Mukidi mewakili beberapa dimensi. Ada yang serius, ada yang iseng. Dimensi keseriusan humor tampak pada penekanan syarat intelektual bagi pelaku atau penikmatnya. Mukidi meraup semua dimensi itu lewat media gadget (smartphone).
Pada sisi lain, kita tanpa sadar, telah memasuki era komputasi humor (baca: gadgetisasi humor).
Ilustrasi Mukidi (Foto: istimewa)
Begitu massifnya cerita Mukidi, hingga dapat merangsek pada jutaan gadget yang beredar di Indonesia.
Meskipun filsuf dan lain-lain telah membahas humor selama berabad-abad, pekerjaan komputasi humor telah dimulai di bidang ini.
Manusia telah berinteraksi dengan gadget dengan cara yang mirip dengan interaksi antar-sesama manusia. Mukidi mewakili kepribadian, kesopanan, pujian, dan bahkan kekonyolan. Dalam kasus Mukidi membuktikan, peran humor dalam interaksi manusia-gadget menjadi makin lapang.
Ada protes sosial di sana, ada kritik sosial, aktualisasi diri hingga mengkritik diri sendiri.
Yang pasti, Mukidi telah berhasil menempatkan fungsi humor sebagai rekreasi. Menghilangkan kejenuhan dalam hidup sehari-hari yang bersifat rutin. Sifatnya hanya sebagai hiburan semata.
Mukidi menjadi media komunikasi yang mempercepat terbukanya pintu keakraban. Selamat....ber-wkwkwkwk. **