COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Roso Daras
----------------------------
HARI Tani Nasional, 24 September berlalu tanpa ingar-bingar. Mungkin sebagian besar anak bangsa, lupa bahwa petani adalah anak sejati Indonesia. Adalah Yayasan Aku dan Sukarno (YADS) yang memaknai peringatan Hari Tani Nasional dengan menggelar sebuah diskusi publik. Topik yang diangkat adalah Peran Pemuda, Masyarakat, dan Pemerintah dalam Mewujudkan Reforma Agraria Sejati.
Diskusi digelar di kantor YADS, Jl Condet Raya 27, Kramatjati, Jakarta Timur, Sabtu (24/9) pukul 13.00. Dua pembicara dihadirkan dalam diskusi tersebut. Pertama, Prof Dr AF Sigit Rochadi, dosen Paca Sarjana Universitas Nasional (Unas) Jakarta, yang juga Ketua Program Studi MAP (Magister Administrasi Publik). Pembicara kedua, Bono Budi Priambodo, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang juga Pengurus Masyarakat Pancasila, sekaligus Anggota Pengawas YADS. Diskusi dipandu Ketua Umum YADS, Meiniwan Halawa, yang juga aktivis GMNI.
Dalam siaran pers yang diterima redaksi cowasjp.com disebutkan, diskusi Publik terbatas itu, dihadiri para aktivis kampus maupun aktivis pemuda. Beberapa di antaranya datang dari Unsika (Universitas Singa Perbangsa) Karawang. Ketua Dewan Pembina YADS, Roso Daras, tampak hadir dan menjadi peserta dalam diskusi yang berlangsung hangat itu.
Prof Sigit mengilas-balik sejarah pertanahan di Indonesia. Ia juga menjabarkan hakikat land reform, serta keberpihakan pemerintah dari masa ke masa terhadap reforma-agraria. “Era Bung Karno jelas, land reform dijalankan bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Era Soeharto, reforma agraria nyaris tidak disentuh, atau bahkan dikubur sama sekali. Orde Reformasi pun setengah hati. Termasuk, dua kali kepemimpinan SBY, juga tidak mengutak-atik reforma agaria. Nah, era Joko Widodo, harusnya bisa, tetapi sayang, kelihatannya masih ragu-ragu untuk menyentuh reforma agraria sejati, karena mungkin takut distempel kiri,” ujarnya.
Di sela-sela diskusi, Prof Sigit menggambarkan, betapa kekuasaan absolut Presiden Soeharto, telah meminggirkan aspek agraria yang berkeadilan. Ironisnya, tidak ada satu elemen bangsa pun yang berani mengkritisi. “Bayangkan, saya pernah berurusan dengan aparat militer hanya karena menunjuk foto Pak Harto,” ujar Sigit seraya menambahkan, “saya tunjuk tapi sambil bilang, gara-gara orang itu, negara ini rusak....” Rupanya, ada “mahasiswa” susupan, lalu lapor ke intel.
Pembicara Bono Budi Priambodo, membuka paparannya dengan kalimat, “Saya bawa paparan, tapi sudahlah... saya tidak akan bicara itu. Silakan di-copy saja. Saya ingin langsung mengajak diskusi adik-adik. Sebenarnya, apa sih esensi dari diskusi ini? Esensinya adalah, apakah kita masih peka terhadap cita-cita pendiri bangsa? Apa cita-cita pendiri bangsa? Jelas dalam mukadimah UUD 1945... Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Karena itu, cobalah menjadi pemuda yang peka terhadap praktik-praktik penindasan dan segala bentuk kebijakan yang pada akhirnya justru memiskinkan petani. Pemuda jangan merasa santai, karena toh bisa makan, bisa mencari kerja....
“Saya lebih suka melihat pemuda yang bikin onar ketika ada rakyat miskin didholimi orang kaya,” katanya disusul pesannya kepada peserta dari Karawang, “kalian dari Karawang. Cobalah lihat.... Dulu Karawang jadi lumbung padi, sekarang petani dimiskinkan dan muncul pabrik-pabrik milik asing. Setidaknya, pekalah terhadap keadaan. Kalau toh nanti kalian jadi PNS, jadilah PNS yang benar-benar concern membela rakyat kecil. Pesan saya, jangan terlalu doyan duit.”
Diskusi makin hangat, bahkan saking hangat dan semangatnya, nyaris menenggelamkan hujan besar yang mengguyur Jakarta, merobohkan jembatan penyeberangan di Pasar Minggu, serta gelegar guntur yang membahana.... ***