COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Dhimam Abror Djuraid
-------------------------------------------
BELUM reda heboh kasus Gatot Brajamusti sekarang muncul kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Media pun berebutan memberitakan besar-besaran dua berita itu. Inilah fenonema lama negeri kita yang selalu terpukau oleh hal-hal yang bersifat klenik dan mistis. Sebelum terungkap ke media kita tidak tahu ternyata orang seperti Gatot Brajamusti punya sekian banyak pengikut setia yang rela melakukan apa saja yang diperintahkan Gatot. Praktik-praktik ritual, yang dalam standar orang normal menyimpang tidak masuk akal, dilakukan dengan penuh keyakinan oleh para pengikut Gatot.
Pun kita tidak banyak tahu bahwa di padepokan Taat Pribadi ada ratusan--atau mungkin ribuan--pengikut setia yang rela menuruti dan menjalankan apa yang diperintahkan Dimas Kanjeng, karena yakin akan kesaktiannya menggandakan uang.
Nalar kita tidak ketemu memikirkannya. Itulah yang oleh wartawan dan budayawan Mochtar Lubis disebut sebagai salah satu hal yang menjadi ciri manusia Indonesia; percaya takhayul, munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, lemah karakter, dan artistik.
Di antara enam ciri itu hanya ciri terakhir yang positif, selebihnya memalukan.
Tentu, banyak yang tidak setuju terhadap pandangan Mochtar. Tapi, sudah 70 tahun lebih sejak mengemukakannya pada Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, 1977, pandangan itu masih banyak dikutip banyak orang.
Dan, setidaknya fenomena Dimas Kanjeng, mau tak mau, membuat kita harus merujuk kembali kepada pandangan Mochtar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pemercaya takhayul.
Beberapa tahun yang lalu muncul seorang lelaki renta bernama Subur yang disebut Eyang oleh para pengikutnya. Ia disebut punya kemampuan linuwih dan diyakini oleh banyak sekali pengikutnya. Praktik ritualnya dianggap menyimpang, terutama--seperti juga Gatot--ada ritual seks disitu. Sebelum Gatota, ada seorang paranormal muda bernama Guntur
Bumi yang beroperasi layaknya seorang kiai yang punya banyak pengikut. Seperti Gatot, Guntur juga punya banyak pengikut selebritas yang meyakini tuahnya. Petualangan mereka berakhir di penjara. Itu pula yang kelihatannya bakal dialami Gatot dan Dimas Kanjeng.
Akan berakhirkah episode klenik ini? Tidak. Pasti akan muncul tokoh-tokoh baru dengan modus baru dan dengan pengikut setia yang ratusan dan bahkan ribuan lagi.
Tidak masuk nalar bagi akal sehat. Tapi, bagaimana kita bisa menjelaskan munculnya Marwah Daud Ibrahim yang menjadi pembela terdepan Dimas Kanjeng? Marwah, seorang doktor cemerlang lulusan Eropa, menjadi pembela dan pengikut setia seseorang yang dituduh sebagai dukun pengganda uang.
Itu sama dengan para pengikut Lia Eden yang jumlahnya ribuan dan sangat fanatik. Mereka yakin Lia adalah titisan Jibril (atau entah apalah). Ketika berita mereka muncul ke permukaan mereka tiarap. Tapi, saat situasi kembali normal mereka kembali pada aktivitas lamanya.
ILUSTRASI: Lia Eden. Ilustrasi/Foto: infospesial
Inilah paradoks modernitas. Semakin modern manusia ternyata semakin butuh akan hal-hal yang tidak rasional.
Modernitas muncul sebagai antitesa klenik dan takhayul. Nun sejak kurun Plato dan Aristoteles di zaman Yunani Kuno. Cara pikir manusia terbelah menjadi dua. Aristoteles, muridnya Plato, yakin bahwa dunia itu riil, nyata, tercecap, tercerap, tersentuh oleh indera. Hanya sesuatu yang bisa tersentuh oleh indera yang bisa disebut sebagai realitas. Hal-hal lain yang tidak tampak oleh indera dianggap tidak ada dan tidak bisa diyakini keberadaannya.
Plato berbalik keyakinan dari muridnya. Sang guru yakin bahwa realitas itu tidak hanya yang tampak dan tersentuh oleh indera saja. Ada realitas yang tak tampak tetapi tetap menjadi sebuah realitasa. Rasa benci, sayang, cinta, takut, sedih bahagia, kecewa, adalah realitas. Plato meyakini keberadaan hal-hal itu sebagai realitas.
Pada abad pertengahan bangsa Eropa hidup dalam kondisi yang penuh takhayul dan klenik. Lembaga gereja menjadi pembela terkuat keyakinan klenik dan takhayul dan mempergunakan kekuatan koersif untuk menghukum dan membunuh mereka yang menentang dominasi gereja.
Sampai muncullah zaman pencerahan, Rennaisance, yang membawa rasionalitas Aristotelian sebagai dasar ilmu pengetahuan. Muncullah para pemikir rasional seperti Descartes, Hume, dan Locke yang memperkenalkan rasionalisme dan empirisme Aristotelian. Lalu muncullah positivisme August Comte yang menjadi pendorong berpikir rasional sebagai dasar lahirnya revolusi ilmu pengetahuan.
Postivisme meyakini bahwa segala sesuatu terjadi karena hukum kausalitas, sebab akibat. Hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dalam hukum kausalitas dianggap sebagai bukan ilmu pengetahuan.
Zaman kejayaan akal mendominasi. Rasio menjadi segala-galanya. Iman dan filsafat tersisih karena berada pada sisi keyakinan yang berbeda. Filsafat dan agama bukan ilmu pengetahuan dan karenanya dianggap bertentangan dengan modernitas.
Kejayaan peradaban Barat yang moncer sejak abad ke-17 terbukti membawa kemakmuran bagi bangsa-bangsa Eropa. Ilmu pengetahuan melahirkan teknologi yang membawa kejayaan peradaban Barat mengalahkan peradaban lain termasuk Islam.
Peradaban Islam yang berhasil mengadopsi filsafat Yunan menjadi dasar peradaban yang lengkap karena dipadu dengan iman, ternyata hanya bisa bertahan tujuh abad.
Sepeninggalan Muhammad SAW pada abad ke-7, Islam berkembang dan bertahan, untuk kemudian runtuh pada abad ke-14 dan diambil alih oleh peradaban Barat yang sekuler berdasarkan pada prinsip positivisme yang menjadikan manusia dan kehidupan dunia yang nyata ini sebagai sentral. (*)