COWASJP.COM – A Javanese who does not believe in magic is not Javanese anymore.
Susumu Awanohara dalam “FEER”
PEMBICARAAN tentang perdukunan atau magisme untuk kesekian kalinya mencuat kembali. Kasus paling akhir adalah sebuah kasus luar biasa menyangkut penipuan terhadap ribuan orang yang dilakukan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo, Jawa Timur.
Dimas Kanjeng (46), pembina Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng, telah dijadikan tersangka oleh polisi dalam kasus pembunuhan dan penipuan. Namun sebagian pengikutnya tetap meyakini pimpinannya tidak melanggar hukum. Marwah Daud Ibrahim (60), politikus Partai Gerindra dan anggota Dewan pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, ICMI, termasuk tokoh yang dengan gigih menyatakan berkali-kali bahwa Taat mampu menggandakan uang. Marwah menyebut kemampuan itu adalah karomah. "Ini tidak ilmiah. Bukan dimensi (ilmiah)yang kita pakai. (Tapi) Dimensi yang kita lihat dan Anda yakin. Tidak ada yang lain, kecuali kuasa Allah. Faktanya begitu," kata Marwah kepada wartawan.
Namun sejumlah orang telah melaporkan kepada polisi bahwa mereka telah ditipu Dimas Kanjeng sehingga rugi miliaran rupiah. Polisi kini terus menyelidiki dugaan Dimas Kanjeng membunuh setidaknya dua orang bekas anak buahnya karena khawatir kedok penipuannya terbongkar.
Sosiolog dan staf pengajar Fakultas ilmu sosial politik, Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Dr. Hotman Siahaan mengatakan praktik penipuan ini mampu melibatkan ribuan orang, karena sebagian masyarakat masih bersikap irasional dan terperdaya kebudayaan 'ingin cepat kaya'.
Tapi Hotman mengaku heran dengan keterlibatan sosok Marwah Daud Ibrahim, yang dikenal sebagai intelektual, meyakini praktik penipuan Taat Pribadi yang disebutnya sebagai 'semacam sulap-sulapan'.
"Beliau ini intelektual, akademisi yang terkenal, lalu tiba-tiba sangat irasional melihat perkara ini dan begitu membela Kanjeng Dimas," kata Hotman seperti dikutip BBC Indonesia.
Kasus lain yang terungkap belum lama ini adalah penipuan dengan iming-iming korbannya akan menjadi artis terkenal. Orang yang diduga melakukan itu adalah Gatot Brajamusti, mantan Ketua PARFI dan pendiri Pedepokan Brajamusti, melibatkan praktik ritual seks. Kepolisian Daerah Metro Jaya mengatakan saksi Reza Artamevia dan Elma Theana mengetahui ritual pesta seks yang sering dilakukan Gatot, tersangka kasus narkoba, terhadap korbannya.
"Aa Gatot (panggilan Gatot) memperdayai korbannya dengan sabu-sabu, kemudian melakukan pesta seks," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Awi Setiyono,, Selasa, 27 September 2016. Awi mengatakan pesta seks diduga telah dilakukan Aa Gatot selama sembilan tahun pada 2007-2016.
Reza juga membenarkan bahwa selama ini perilaku Gatot menyimpang. Hal ini juga dibenarkan Elma, yang sempat menjadi asisten pribadi Gatot, dan sejumlah saksi lain, termasuk korban. "Untuk memperdayai korban, Gatot memulai dengan mengisap sabu, termasuk dengan saksi dan korban," ucap Komisaris Besar Awi.
Sebelumnya, pada awal tahun 2013, masyarakat digegerkan oleh kisah dukun ‘sakti’ Mbah Subur di Jakarta, yang disebut banyak didatangi artis-artis yang memnta ketenaran nama dalam kariernya. Kasus ini mencuat setelah salah satu bintang film, Adi Bing Slamet, mengungkapkan “ajaran-ajaran sesat” Mbah Subur. Sang bintang tersebut, menariknya, sudah 17 tahun jadi murid Mbah Subur.
Belakangan juga terungkap, Mbah Subur punya 8 istri, hingga Front Pembela Islam (FPI) memintanya agar menceraikan 4 istrinya. Ada juga kabar dari keluarga Mbah Subur di kota asalnya, Jombang, bahwa mereka heran bila dikatakan Mbah Subur kaya raya dan dermawan. Pasalnya, ibu, iadik, istri dan anaknya yang hidup miskin tak pernah mendapat bantuan.
Mbah Suro Ngingil
Adakah hal itu aneh? Bagi masyarakat negeri ini, khususnya Jawa, jawabannya adalah ‘tidak’.Hampir 50 tahun lalu, di Desa Nginggil, Blora, Jawa Tengah, muncul Mbah Suro Nginggil yang disebut ‘sakti’. Beratus-ratus atau mungkin beribu-ribu orang dari berbagai daerah di Jawa datang kepadanya untuk minta ‘sawab’, ‘berkah’, atau kesembuhan dari sakit, dan lain-lain. Pemerintah curiga karena ada kecenderungan pro PKI yang telah dilarang, pembangkangan, serta pemilikan senjata-senjata api oleh cantrik-cantrik penjaga padepokannya. Padepokan Nginggil akhirnya diserbu oleh pasukan RPKAD (kini Kopassus) pimpinan Brigjen Sarwo Edhie Wibowo. Mbah Suro yang katanya sakti pun tewas, Desa Nginggil sempat dikosongkan dan ratusan pengikutnya sempat dibawa ke Kota Blora untuk diinterogasi. Kisah ini bisa diiikuti dalam buku Mbah Suro Nginggil karya Ramelan yang diterbitkan Penerbit Matoa Jakarta (1967).
Perihal perdukunan, klenik atau magisme memang bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa (juga banyak suku lain di negeri ini). Para pejabat dari lurah, bupati, anggota DPR gubernur hingga beberapa presiden sering diberitakan berhubungan dengan “orang pinter”. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sering pergi ke makam-makam dan tempat-tempat keramat bertuah gaib. Kehidupan Presiden Soekarno dan Soeharto pun tidak terpisahkan dari hal-hal tersebut.
Aktivitas Soeharto yang berkaitan dengan mistik begitu intensifnya sehingga muncul beragam cerita yang kental dengan mitos-mitos. Salah satunya adalah cerita bahwa Soeharto pantas berkuasa karena ia adalah "penerima sejumlah wahyu antara lain Wahyu Cakraningrat". Untuk hal-hal yang berkaitan dengan dunia magi tersebut, Soeharto punya kawan dekat yang selalu siap diajak bicara, yakni Soedjono Hoemardani, yang juga asisten pribadinya.
Dalam Edisi Khusus Majalah Tempo, 10 Februari 2008, Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia, bercerita di artikel: Soedjono dan 'Orde Dhawuh'.
Kata Budyapradipta, Soeharto telah lama tertarik dengan ilmu kebatinan Jawa. Ketertarikan itu semakin kuat kala Soeharto bertemu dengan Soedjono Hoemardhani pada Juni 1956. Kala itu, Soeharto kepala staf yang menjadi Panglima Divisi Diponegoro, dengan pangkat letnan kolonel. Sedangkan Soedjono seorang kapten. "Soedjono dikenal menyukai dunia kebatinan Jawa. Keduanya menemukan kecocokan," tulis Majalah Tempo.
Dalam cerita yang berkembang selama bertahun-tahun sejak 1970-an, Soeharto dikatakan sering menyepi ke berbagai tempat keramat, khususnya di Jawa Tengah. Soeharto juga sering dilukiskan memiliki banyak dukun yang selalu siap memberikan konsultasi dan membantu melindungi dirinya dari marabahaya.
Semasa Soeharto berkuasa, memang jarang ada media Indonesia yang mengungkapkan hal-hal tersebut. Tetapi orang-orang asing dan media asing sering banyak mengungkapkannya dalam bentuk tulisan di majalah, surat kabar dan buku-buku. Adam Schwarz, misalnya, dalam bukunya, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990 (1994) juga menyinggung masalah tersebut.
Buku lain berderet-deret, antara lain On the Subject of "Java (Cornell, 1994) oleh John Pemberton dan Solo in the New Order (Princeton, 1986) oleh James T. Siegel.
Dalam bukunya, Pemberton antara lain menulis bahwa selama 1970-an dan awal 1980-an, almarhum Soedjono Hoemardani, bertindak sebagai perantara (a go-between) untuk rombongan utusan Soeharto dan kekuatan spiritual "Jawa".
"Pada momen-momen kritis yang membutuhkan keputusan politik yang menentukan, rombongan tersebut pergi ke Nusakambangan di selatan pantai Jawa untuk mengambil Sekar Wijayakusuma, bunga yang diambil oleh para raja Jawa Tengah sebelum dinobatkan sebagai tanda hak atas tahta," tulis Pemberton, yang juga menjelaskan bunga yang legendaris itu mekar hanya sekali di tengah malam.
Dengan semangat yang sama, kata Pemberton, rombongan tersebut mengirimkan sesajian setiap tahunnya ke Gunung Lawu, Gunung Merapi, Parangtritis, Dlepih dan tempat-tempat lain yang ada kaitannya dengan kraton. Namun, keluarga Soeharto melakukan upaya-upaya supranaturalnya itu di tempat-tempat dan dengan cara yang melampaui conventional domain para raja Jawa di masa lalu.
Reruntuhan Candi Ceto, misalnya, dibangun kembali seperti tempat di Gunung Srandil dekat Cilacap dan Gua Wisnu di Jawa Timur. Sementara itu, kenang seorang penjaga Candi Sukuh di Gunung Lawu pada 1982, Hoemardani dan kawan-kawannya naik ke tempat itu setiap bulan.
"Mereka selalu bepergian di malam hari dengan tujuh mobil Mercedes warna hitam. Itulah sebabnya mengapa jalan di sini dibangun. Meskipun demikian, Soeharto sendiri tidak datang bersama mereka," tulis Pemberton.
Menurut penulis tersebut, Soeharto tampaknya punya alasan mengapa dia tidak perlu datang langsung ke tempat-tempat yang dikeramatkan itu. Pertama, di masa lalu para raja Jawa juga bisa mengirimkan utusan-utusannya. Alasan lain terkait dengan protokol diplomatik dan hubungannya dengan kelompok-kelompok Islam. "Ada kekhawatiran bahwa upaya-upaya berbau mistik yang terlalu jauh mungkin akan merusak kredibilitas, baik di kalangan internasional dan lebih-lebih lagi di kalangan kelompok-kelompok Islam yang murni," kata Pemberton.
Bung Karno
Presiden Soekarno (Bung Karno) juga dilaporkan berhubungan dengan “orang pinter” meskipun tak seintensif Soeharto. Dalam pidato-pidato semasa perjuangan kemerdekaan, Bung Karno sering memberikan motivasi rakyat dengan mengungkapkan ramalan-ramalan Prabu Joyoboyo, yang meramalkan kemerdekaan Indonesia setelah dijajah Belanda dan penjajahan "seumur jagung" oleh wong kate kuning kulite (Jepang).
Bung Karno juga disebut sering menemui Drs RMP Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini. Sosrokartono adalah seorang tokoh unik. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Leiden ini menguasai sekitar 24 bahasa, pernah menjadi wartawan perang The New York Herald di Eropa, konsul Prancis di Denhaag dan kepala penerjemah Liga Bangsa-bangsa (Volkenbond). Namun setelah pulang ke Tanah Air dia lebih banyak dikenal sebagai "dokter cai" alias "dokter air". Kegiatannya berkeliling ke berbagai daerah, menyembuhkan ribuan orang sakit hanya dengan memberi minum air kepada si sakit.
Menjelang kemerdekaan, Bung Karno disebutkan berkonsultasi dengan Sosrokartono. Hasilnya, Bung Karno diminta untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada Jumat, 17 Agustus 1945. Terlepas seseorang percaya atau tidak, tanggal itu disebutkan sebagai pilihan "Hyang Sosro".
Beragam cerita berbau mitos sering menyeliputi kehidupan Bung Karno sendiri. Entah dari mana datangnya. Tongkat komando Bung Karno, misalnya, dilukiskan sebagai warisan Prabu Brawijaya di Majapahit. Berkat tongkat bertuah itu, begitu keyakinan sementara orang, Bung Karno berkali-kali selamat dalam upaya pembunuhan terhadap dirinya.
"Cerita-cerita seperti ini sering membingungkan orang, karena merupakan campuran antara fakta sejarah dan mitos. Prabu Brawijaya memang raja Majapahit, ini fakta. Tetapi tongkat Bung Karno berasal dari Brawijaya, ini yang susah dijelaskan," kata Dr Dede Oetomo, sosiolog lulusan Universitas Cornell, AS.
Benar kiranya pandangan jurnalis Jepang Susumu Awanohara. Seperti dikutip di awal tulisan dari Majalah Far Eastern Economic Review, dia mengatakan, “Orang Jawa yang tidak percaya pada magisme bukan orang Jawa lagi.” (*)
Penulis adalah: veteran jurnalis dan editor buku.