COWASJP.COM – MAU jadi pemimpin-pemimpin yang hebat? Jadi CEO perusahaan-perusahaan terbaik dunia? Bacalah aneka ragam buku, termasuk buku-buku fiksi seperti novel-novel, karya drama, dan kumpulan cerpen dan puisi. Begitu laporan-laporan Oktober tersebut.
Foto-foto:Salim UNJ,SokTahu (Desaign: CoWasJP)
Laporan yang dikutip Fatimah Ibtisam menyebut beberapa CEO top dunia seperti Larry Page, Co-founder Google dan CEO Alphabet Inc. Larry disebut menyukai buku yang mengangkat kehidupan tokoh sukses seperti Nikola Tesla, seorang insinyur, ahli teknik elektronik sekaligus inventor kenamaan di dunia. Buku pilihan adalah My Inventions: The Autobiography of Nikola Tesla (karya Ben Johnston), Arne Sorenson, CEO Marriott International, sementara itu, memiliki pilihan buku Sorrows of the Moon: A Journey Through London (karya Iqbal Ahmed). Buku ini mengangkat observasi penulis mengenai kehidupan komunitas imigran di London. Diceritakan mengenai keseharian komunitas tersebut, bagaimana cara mereka menyesuaikan diri dengan London, serta bagaimana hubungan mereka dengan tempat dan budaya asalnya.
Sementara itu, Jeff Bezos, Founder dan CEO Amazon, membaca buku The Remains of the Day (karya Kazuo Ishiguro). Sebagai bos toko buku raksasa, Jeff membaca dan membeli 10 buku per bulan. Salah satu buku pilihannya ini disebut-sebut sebagai buku terbaik dan wajib dibaca. The Remains of the Day juga sudah diadaptsi ke layar lebar dan mendapatkan 8 nominasi Oscar.
Lain lagi dengan Mark Zuckerberg, co-founder dan CEO Facebook. Dia memilih buku The End of Power (Moises Naim) dan The New Jim Crow (Michelle Alexander). Seperti diketahui, buku The End of Power membahas mengenai kepemimpinan dari masa ke masa, baik dalam bidang bisnis, pendidikan, agama, hingga keluarga. Sedang The New Jim Crow menyoroti tentang sistem peradilan Amerika Serikat yang dinilai tidak adil pada kalangan kulit hitam dan keturunan latin.
Mark Zuckerberg (Foto: Mirror)
Dan Bill Gates, Founder & CEO Microsoft, membaca Business Adventures (John Brooks). Gates kabarnya mendapatkan kiriman buku kumpulan cerita bisnis ini dari pengusaha legendaris Warren Buffet.
Karena di Indonesia nyaris tak ada berita tentang pemimpin berbicara tentang buku, marilah kita lanjutkan dengan membicarakan pemimpin negara lain yang bergelut dengan buku.
Mantan Presiden AS Jimmy Carter tahun lalu meluncurkan bukunya barunya, A Full Life: Reflections at Ninety, yang berisi puisi-puisi dan lukisan-lukisan karya presiden AS ke-39 tersebut. Carter bukanlah orang baru di dunia seni. Salah satu lukisannya, Live Oak at Sunrise, terjual 250.000 dollar AS di acara pengumpulan dana Carter Center pada 2012. Dan dalam buku barunya ini, Carter menampilkan lukisan-lukisannya terkait ayah, ibu, dan istrinya Rosalynn, rumah masa kecilnya. Berbagai lukisan itu dikerjakannya puluhan tahun. Sedang puisi-puisinya sebelumnya pernah diterbitkan dalam koleksinya tahun 1994, Always a Reckoning.
Mantan Presiden AS Jimmy Carter. (Foto: kompas)
Sebelumnya, Carter sudah menulis pula, A Call to Action: Women, Religion, Violence, and Power. Dalam bukunya tersebut, Carter berbicara tentang isu-isu hak kaum perempuan di seluruh dunia. Satu hal yang paling disedihkan adalah tradisi khitan anak perempuan, yang disebutnya sebagai “penganiayaan paling serius terhadap anak perempuan.” Dia pun memuji para aktivis perempuan seperti Molly Melching yang memberdayakan ribuan komunitas di Afrika.
Jimmy Carter adalah salah satu presiden AS yang memang luar biasa perhatiannya kepada masalah-masalah sosial dan ekonomi negara-negara miskin. Perhatiannya kepada rakyat yang negerinya dilanda konflik kekerasan dan perang juga tinggi. Dalam buku Palestine Peace, Not Apartheid, Carter mengritik keras tindak kekerasan Israel terhadap rakyat Palestina. Tokoh yang memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian itu pun sampai dituduh Israel dan kelompok-kelompok Yahudi sebagai sebagai tokoh antisemit (baca: anti Yahudi).
Buku-buku karya Jimmy Carter sudah berderet-deret. Selain dua buku di atas, Carter juga menulis belasan buku lainnya, di antaranya The Jimmy Carter Library, A Remarkable Mother, We Can Have Peace in the Holy Land, dan Beyond the White House Waging Peace, Fighting Disease, Building Hope. The Hornet’s Nest: a Novel of the Revolutionary War.
Selain Jimmy Carter, ada banyak presiden AS yang menulis buku. George Washington, misalnya, menulis buku Rules of Civility & Decent Behavior in Company and Conversation. Buku yang ditulisnya sebelum usianya menginjak 16 tahun itu membahas 110 aturan sosial yang berlaku di Amerika pada saat itu. Presiden James Madison juga menulis dalam buku The Federalist Papers (1788), bersama Alexander Hamilton dan John Jay. Presiden lainnya termasuk Abraham Lincoln (Speeches and Writing), Ulysses Grant (Personal Memoirs), Theodore Roosevelt (The Rough Riders), Harry S. Truman (1945 Year of Decisions), John F. Kennedy (Profiles in Courage), Ronald Reagan (The Reagan Diaries), dan Barack Obama (Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance).
Sebagai penulis buku, sudah jelas para presiden tersebut adalah pembaca buku yang rajin. Sebagian mereka bahkan diketahui “kutu buku luar biasa” seperti George Washington, John Adams, dan Thomas Jefferson. Bahkan dalam buku An Historical and Moral View of the Origin and Progress of the French Revolution karya Mary Wollstonecraft disebutkan bahwa John Adams (masa jabatan 1797-1801) adalah pembaca buku yang rakus. Dia punya 3.500 koleksi buku, jumlah luar biasa saat itu. Dan Thomas Jefferson? Dia bahkan kolektor buku yang “edan”. Jefferson (menjabat 1801-1809) selalu membeli buku sehingga menjelang meninggalnya dia disebut bangkrut.
Bila disimak lebih seksama, banyak buku yang dilalap para presiden tersebut adalah buku-buku sastra. Jimmy Carter penggemar berat puisi, termasuk puisi-puisi Dylan Thomas, sementara Bill Clinton dan Barack Obama menyukai novel, di antaranya novel-novel karya Gabriel Garcia Marquez.
Mengapa para pemimpin tersebut membaca sastra? Mungkin Anda bertanya demikian? Jawabnya mungkin bisa dikaitkan dengan fenomena yang makin mendapat perhatian bahwa karya-karya sastra diakui sebagai faktor yang sangat penting dalam kepemimpinan. Sebuah artikel di Harvard Gazette belum kama ini menjelaskan mata kuliah di Harvard Business School (HBS) yang mendasarkan pada karya-karya besar dalam sastra (seperti Macbeth karya Shakespeare dan War and Peace karya Tolstoy) untuk memberikan pelajaran tentang kepemimpinan moral dan situasi sulit yang sering muncul dalam pengambilan keputusan di luar kelas.
Profesor Joseph L. Badaracco. (Foto: harvard gazette)
Dalam sebuah wawancara panjang lebar, Profesor Joseph L. Badaracco menyebutkan dirinya sudah lebih dari 12 tahun meminta para mahasiswanya untuk membaca karya-karya sastra agar mereka menjadi para pemimpin yang lebih baik. Poinnya: Read fiction to be a better leader.
Prof Badaracco mengatakan pada para mahasiswanya untuk menyisihkan simbolisme. ”Pandanglah buku-buku itu sebagai studi kasus yang sangat menarik. Buku-buku itu tentang orang-orang sesungguhnya yang membuat keputusan-keputusan sulit,” katanya.
Berikut tiga pelajaran kepemimpinan yang dapat dicuplik dari karya sastra:
Hati-hati pada keyakinan Anda. Dalam karya sastra klasik Yunani, Antigone (Prestwick House, 2005) oleh Sophocles, para pembaca menyaksikan bentrokan berdarah yang muncul akibat perbedaan antara pemimpin publik yang keras pendirian dan pemimpin agama yang juga keras pendirian. Banyak orang tewas sebelum keduanya memikirkan kembali pendiriannya. Apa yang harus dilakukan oleh para mahasiswa bisnis adalah memikirkan kembali keyakinan mereka.
Berpikirlah tentang semua stakeholders. A Man for All Seasons (Vintage, 1990) karya Robert Bolt adalah karya sastra tentang Sir Thomas More, seorang penasihat Raja Henry VIII yang harus menentukan pandangannya apakah harus mendukung keinginan raja untuk menceraikan istrinya dan mengambil istri baru. Sebagai penganut Katolik yang taat, Thomas More berpendapat perceraian itu salah. Namun, ia merasa harus setia pada raja dan negerinya dan ia pun ingin mendukung sang raja.
Pertimbangkan Konsekuensi. Kadang-kadang kenyataan lebih baik daripada fiksi. Para mahasiswa juga membaca buku Hiroshima (Vintage, 1989), tulisan jurnalis John Hersey tentang keputusan Presiden Harry S. Truman dalam Perang Dunia II untuk menjatuhkan bom atom pertama kali di Hiroshima, Jepang. “Membaca buku-buku seperti itu tidak akan memberikan jawaban pada Anda, tetapi akan memaksa Anda untuk menghadapi realitas-realitas keputusan Anda,” kata Prof Badaracco.
Pandangan Badaracco ini rasanya klop bila kita simak pemikiran Belinda Seaward, yang terkenal dengan karyanya, Hotel Juliet. Seaward mengatakan, ketika kita meluangkan waktu untuk membaca fiksi, kita ingin tahu beragam karakter, setting dan ikut terhanyut dalam cerita-ceritanya.
”Bila kita membaca, kita menempatkan diri dalam situasi-situasi khayal secara intens yang tak pernah kita impikan dalam realitas. Ini memperkaya kita, membebaskan kita,” kata Seaward. (*)
Djoko Pitono, adalah veteran jurnalis, editor buku.