COWASJP.COM – TIDAK SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, Nitilaku 2016 dalam rangka Dies Natalis Ke-67 UGM ini dibuat berbeda. Berbeda dalam format. Setidaknya format pawainya lebih ditata. Panggungnya lebih disiapkan. Pesertanya makin banyak komponen yang dilibatkan.
Kalau prosesinya tetap sama: berjalan bersama dari Pagelaran Keraton Yogya sampai ke Kampus Bulaksumur. Nitilaku memang semacam refleksi kepindahan kampus UGM dari dua tempat tersebut.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Nitilaku 2016 kali ini, saya juga lebih memperhatikan sosok Ketua Umum PP Kagama Ganjar Pranowo. Bukan karena sebagai Gubernur Jawa Tengah ia sedang disorot dalam kasus Semen di Rembang yang melibatkan masyarakat Samin. Bukan. Saya lebih memperhatikan sepatunya. Ya, sepatu Ganjar.
Tidak sama persis dengan kisah “Sepatu Dahlan” , kisah sepatu Ganjar pun menarik disimak. Jika “Sepatu Dahlan” bercerita mengenai kondisi kehidupan kecil mantan Menteri BUMN ini yang tidak punya sepatu, sepatu Ganjar bercerita soal sepatu yang “itu-itu saja.” Sepatu yang tak pernah ganti. Sepatu kesayangan.
Dalam buku “Gubernur Jelata” tulisan Agus Becak yang di-launching saat Alumni Dinner di Balairung UGM, Sabtu (17/12) malam, kisah sepatu Ganjar ini juga diungkap. Sepatu, bagi sebagian orang bisa menjadi simbol status sosial. Sepatu bisa menjadi penguat jati diri. Maka, banyak orang yang berganti-ganti sepatu atau mengoleksi banyak sepatu untuk menunjukkan siapa dirinya.
Ada yang menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan sepatu merek tertentu, model tertentu atau seri tertentu. Ada yang berburu sepatu yang model terbarunya baru keluar dan hanya dicetak terbatas. Ada anak yang seperti ini, yang sifatnya bertolak belakang dengan bapaknya.
Tapi Ganjar, seperti ditulis dalam buku itu, berbeda dengan kebanyakan orang. Ganjar tidak punya banyak sepatu. Tidak suka berganti-ganti sepatu. Sepatu kesayangannya satu. Sepatu hitam, kets, yang didesain seperti pantofel. Desain yang menjadikannya fleksibel. Bisa dipakai untuk acara resmi, bisa dipakai buat jalan-jalan, mumpuni untuk memanjat. Alasnya berbahan karet. Lentur dan kuat. Ganjar pun suka. Sepatu ini mendukung gayanya yang agak pethakilan.
Ganjar dikenal sayang sekali dengan sepatu bututnya yang dia beli ketika masih menjadi anggota DPR RI. Sepatu ini beberapa kali nglokop dan dilem atau dibetulkan ke tukang sol sepatu. Seperti saat peresmian Kebun Binatang Baturaden dan saat orasi Upacara Pembukaan Pelatihan Pembelajaran Sukses Mahasiswa Baru (PPSMB) UGM, Agustus lalu.
Saat bagian belakang sepatunya nglokop, Ganjar juga santai saja. Jika diingatkan, ia hanya bilang, “ Iyo wis kerasa, wis ben wae!” Baru sehabis acara, ia akan minta lem untuk menautkan kembali sepatu yang nglokop tadi. Atau meminta ajudan untuk membawanya ke tukang sol sepatu untuk memperbaikinya.
Maka, Nitilaku, berjalan sejauh 7 kilometer dari Pagelaran hingga Bulaksumur, menjadi tantangan besar untuk sepatu Ganjar. Apalagi Ganjar tidak sekadar jalan. Sesekali berlari, melompat, menari memainkan kendang dan sebagainya. Sebutan petakilan, sepertinya pas untuk Ketua Umum PP Kagama ini. Sepanjang jalan, Ganjar begitu responsif menanggapi permintaan foto, jabat tangan para peserta. Sesekali, justru Ganjar yang mendatangi orang untuk menyalaminya.
TIDAK NGLOKOP: Ganjar saat melintas rel kereta di Stasiun Tugu dengan sepatu yang utuh. (Erwan Widyarto/CowasJP)
Rupanya, sepatu Ganjar sudah terlatih kali ini. Ganjar yang berjalan dari Pagelaran sampai Bulaksumur tetap sumringah. Saya sempat memperhatikan sepatu yang dipakainya. Saat melintas teteg rel stasiun Tugu, Ganjar kelihatan berjalan tegap. Tak ada masalah dengan alas kakinya. Sepertinya, kali ini sepatunya memang tidak mangap atau nglokop solnya. Dan itu bertahan hingga Bulaksumur.
Jadi, Nitilaku boleh dibilang sukses karenanya….
Selamat untuk sepatu Ganjar eh… Selamat Ulang Tahun untuk UGM. Dirgahayu! (erwan widyarto)