COWASJP.COM – ockquote>
TIDAK hanya umat di luar Islam yang memiliki persepsi salah dalam memahami ayat-ayat perbudakan, sebagian umat Islam pun – bahkan di kalangan pandakwah – juga mengalami misleading (kekeliruan/salah arah) dalam memahaminya.
Untuk memahami sikap Al Qur’an terhadap perbudakan, kita tidak bisa menyimpulkan hanya dari 1-2 ayat. Karena, setidak-tidaknya ada 18 ayat yang menyebut soal perbudakan itu secara eksplisit di dalam kitab suci. Itu pun dengan berbagai istilah yang berbeda: amah, raqabah, abada, dan malakat.
Melalui buku “MEMAHAMI AL QUR’AN DENGAN METODE PUZZLE” saya telah menjelaskan bahwa informasi ilahiah terhadap sebuah tema besar di dalam Al Qur’an selalu diwahyukan dalam surat dan ayat-ayat yang terpencar. Karena itu, untuk memahami secara utuh kita harus mengumpulkan seluruh ayat terkait. Atau, setidak-tidaknya, sebanyak mungkin. Semakin banyak ayat yang terlibat semakin holistik pemahaman yang bisa kita simpulkan.
Itupun, kita harus pandai-pandai menyusun gambar puzzle-nya. Ibarat menyusun potongan-potongan gambar gajah, kita harus tahu mana bagian kepala, bagian ekor, tubuh, kaki, dan lain sebagainya. Karena meskipun seluruh potongan gambar sudah berada di tangan kita, kalau menyusunnya salah, kita tidak akan memperoleh gambar yang benar. Yakni: gajah yang amburadul.
Demikian pula tentang ayat-ayat perbudakan. Kita harus tahu terlebih dahulu, tujuan turunnya ayat-ayat perbudakan itu apa? Untuk melanggengkan perbudakan? Ataukah, untuk menghapus perbudakan? Untuk itu kita harus meneliti ayat-ayat itu dengan seksama. Ibarat meneliti potongan-potongan gambar gajah sebelum kita menyusunnya menjadi gambar yang benar. Jangan sampai bagian kepala kita pasang di pantat gajah, dan sebaliknya. Itu misleading alias kehilangan arah.
Jika kita membaca dengan seksama, maka kita akan memperoleh kesimpulan bahwa turunnya ayat-ayat perbudakan bukanlah untuk melanggengkan perbudakan melainkan untuk menghapuskannya secara bertahap. Oleh sebab itu, seluruh ayat yang terkait dengan perbudakan haruslah ditempatkan sebagai sebuah proses untuk menghapus perbudakan tersebut. Bukan sebaliknya. Dan itu memang kemudian terbukti, di era Madinah perbudakan semakin berkurang dan akhirnya terhapus seiring selesainya tugas kerasulan Nabi Muhammad.
Dengan orientasi yang semacam ini kita lantas bisa memahami ayat-ayat yang sering menyesatkan berikut ini. Yakni, ayat yang sering disalahtafsiri sebagai merestui perbudakan. Bahkan oleh sejumlah umat Islam sendiri, yang kurang holistik dalam memahami maknanya.
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau APA yang (TELAH) mereka miliki (budak). Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” [Qs. Al Mukminuun (23): 5-6]
Ayat diatas, sepintas lalu seperti merestui untuk menggauli budak dengan semena-mena. Padahal kalau kita cermati, sesungguhnya ayat itu memiliki semangat MEMBATASI praktek perbudakan, yang sebelum Rasulullah lahir pun sudah sangat lazim. Islam datang justru untuk mengikis perbudakan dan kesewenang-wenangan terhadap kaum wanita, janda, gadis-gadis yatim, dan orang-orang yang tak berdaya. Islam memiliki komitmen sangat tinggi untuk melindungi dan mengentas mereka dari penindasan.
Secara Bahasa, itu terlihat dari istilah yang digunakan dalam ayat tersebut: “ma malakat aimanihim”, yang bermakna “APA yang TELAH mereka MILIKI dengan tangan kanannya”. Tidak menggunakan istilah lugas seperti ‘amah’ (budak wanita), atau ‘Raqabah’ (budak), ataupun ‘abada’ (hamba). Artinya, penekanannya bukan pada ‘budak’nya, melainkan lebih pada ‘kepemilikan’.
Dengan kata lain, mereka diperbolehkan untuk menggauli isteri-isterinya dan budak-budak yang memang SUDAH mereka MILIKI sebelumnya. Karena, budaya masyarakat waktu itu memang sudah lazim dengan praktek perbudakan. Nabi tidak bisa menghapusnya begitu saja. Harus bertahap. Karena itu awalnya dibatasi dulu, untuk kemudian secara bertahap dihapuskan.
Tujuan itu semakin jelas terlihat dari sambungan ayat berikutnya, di surat yang sama: “Barangsiapa MENCARI-CARI DI BALIK ITU (lebih dari apa yang sudah mereka miliki) maka mereka itulah orang-orang yang MELAMPAUI BATAS.” [Qs. Al Mukminuun (23): 7]
Jadi, marilah kita memahami ayat-ayat perbudakan ini dalam konteks yang utuh. Sehingga tidak terjadi misleading. Dan malah mengira ayat-ayat itu sebagai legalisasi bagi perbudakan. Salah besar. Karena, di sejumlah ayat lainnya, Allah dengan sangat lugas justru memerintahkan untuk mengikis perbudakan dengan memerdekakan mereka. Atau, bahkan mengawininya secara pantas, sebagaimana telah kita bahas di artikel sebelumnya.
Temasuk, cobalah cermati, kafarat-kafarat ibadah di dalam Islam dikaitkan pembebasan budak. Seperti ayat ini: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau MEMERDEKAKAN seorang BUDAK …” [Qs. Al Maidah (5): 89]
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) MEMERDEKAKAN seorang BUDAK sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Qs. Al Mujaadilah (58): 3]
Bahkan, bukan hanya sebagai kafarat alias penebus kesalahan, melainkan secara sengaja akhirnya Allah memerintahkan untuk membebaskan para budak dengan menggunakan dana zakat. Sungguh sebuah proses penghapusan perbudakan yang persuasif, tetapi sedemikian lugas dan efektif.
“Sesungguhnya ZAKAT-ZAKAT itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk MEMERDEKAKAN BUDAK, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang DIWAJIBKAN oleh Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Qs. At Taubah (9): 60].
Salam. (*)