COWASJP.COM – SEBELUM saya mengajak Anda melangkah menjelajahi lebih jauh sisi gelap peredaran narkoba di dalam penjara, ada cerita lain yang teramat sayang untuk dilewatkan. Sebuah pengalaman kecil yang sungguh ironis. Rasanya, sulit dipercaya. Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin, di dalam sel tahanan kepolisian, yang dijaga ketat, siang dan malam, para tahanan masih bisa menggelar pesta narkoba?
Sore, menjelang magrib (5 Maret 2007), di Polrestabes Surabaya. Itulah hari pertama sekaligus pengalaman pertama saya sebagai tersangka dan mendekam di tahanan kepolisian.
“Di dalam sel, kalau dimintai uang oleh tahanan lainnya, jangan dikasih. Bilang saja tidak punya uang,” pesan reserse yang mengantar saya ke ruang tahanan.
Pesan itu lewat begitu saja di telinga. Kalah kuat dengan terjangan problem yang berkelebat liar, ruwet, dan berjubel-jubel. Saking banyaknya, otak tidak mampu merangkum satu demi satu. Kepala serasa mau pecah!
BACA JUGA: Pesta Miras dan Kopi Susu Limbah Sabu
Saya diserahkan kepada komandan piket ruangan sel. Setelah diperiksa, badan dan barang bawaan, petugas membuka pintu terali besi yang menuju ke deretan kamar tahanan.
Di lantai satu, ada lima kamar sel, masing-masing berukuran kurang lebih 6 x 10 meter.
Suara gesekan gembok dan engsel besi membuat para tahanan berhamburan mendekat ke depan terali. Mereka berteriak-teriak sambil menjulurkan tangan. Ada yang membentur-benturkan gembok sel dengan besi terali.
Sebagian lagi memukul-mukul botol air mineral kosong ke lantai. Suasana jadi gaduh. Buas, mirip sekelompok anjing liar yang sedang rebutan bangkai. Dan, saat itu, saya adalah ‘bangkai’ yang siap dicabik-cabik dengan taringnya yang runcing. Saya gentar. Gemetar!
“Ndan, masukkan ke sini aja. Ayo Ndan, minta berapa Ndan.” Dari sel yang lain juga berteriak-teriak dengan kalimat yang hampir sama. Selalu ada kata; “minta berapa Ndan”.
Saya mulai paham, ternyata, setiap tahanan baru, yang penampilannya “jelas” selalu jadi rebutan. Istilah “jelas” atau kadang juga disebut “bening” itu artinya tahanan yang punya duit. Kalangan ini antara lain, kasus penipuan, korupsi, penggelapan, penombok togel dan lain-lain.
Para tahanan masih terus berteriak-teriak dari dalam kamar sel, dari balik terali besi. Sementara polisi yang dipanggil Ndan (komandan) tadi, mendekat ke setiap sel. Bicara sebentar lalu pindah ke sel yang lain. Setelah itu, saya dipanggil dan dimasukkan ke sel B. Saya baru sadar bahwa saya ternyata “dijual”. Sel yang berani bayar tinggi menjadi pemenangnya. Buset! Saya dilelang seperti budak belian.
Gembok sel dibuka dan para tahanan bertingkah sok jagoan. “Sandalnya dicopot!” bentak, entah dua atau tiga di antaranya. Saya mencopot sandal sebelum satu kaki saya menginjak lantai bagian dalam kamar sel. Mental saya terpuruk ketakutan. Pikiran saya sibuk mengira-ngira, perlakuan kasar macam apa yang bakal menimpa?
“Bilang assalamualaikum,” bentak mereka lagi. Saya pun mengucapkan “Assalamualaikum.” Karena saya mengucapkan salam tadi terlalu pelan, seorang tahanan yang bertubuh kekar dan bertato di dada, membentak dengan sangat kasar; “Assalamualaikum yang keras!”
Karena takut, spontan saya mengucap ulang dengan suara lantang, tapi konyol: “Assalamualaikum yang keras!” Tentu saja seisi sel, ada 30-an tahanan terpingkal-pingkal. Saya cuma nyengir. Sialan!
Gatot, tahanan bertato di dada itu memanggil. Saya diminta duduk bersila di bawah, sementara dia duduk di atas tempat tidur. Ternyata dia adalah KM (kepala kamar). Saya diwajibkan membayar uang kamar Rp 1 juta. “Apa kamu keberatan?”
Alasannya, uang tadi untuk petugas, untuk beli air minum, cairan pembersih lantai, untuk beli kopi setiap hari. Saya minta keringanan Rp 500 ribu. “Kamu masuk ke sini tadi aja kita bayar Rp 250 ribu kepada petugas. Sudah, kamu harus bayar Rp 750 ribu aja. Bisa dicicil tiap minggu. Dalam dua minggu harus lunas. Tidak ada tawar menawar lagi.” Gila!
Tidak ada pilihan.
Pengelolaan uang kamar, tidak transparan. Suka-suka dia. Para tahanan lain tahu, tapi diam saja. Jika tahanan lain dibesuk berharap dapat duit dari keluarga, Gatot, sebaliknya.
Setiap istri dan anaknya datang, pulang membawa uang. Enak bener!
Paling tidak, dalam hitungan kasar, penghasilan KM selama dua bulan berkuasa, minimal Rp 5 jutaan. Mereka yang tidak mampu bayar, dijadikan pekerja. Tugasnya menyapu, ngepel, menjaga kebersihan bak mandi, WC dan mencuci piring.
Saya tidak minta keringanan. Setuju saja. Badan saya terasa letih, ngantuk. Lalu pulas tertidur di lantai ubin. Esoknya, ketika bangun, celana panjang saya hilang. Tidak berani tanya kepada siapa-siapa. Takut ada yang tersinggung. Lagian, di dalam sel itu ada 30-an orang. Semuanya penjahat. Nah!
Hari ketiga di dalam sel, muncul problem baru. Saya mulai sakaw (ketagihan). Badan sakit semua, tulang serasa mau patah. Pikiran kacau, resah dan sensitif. Bawaannya, ingin marah tanpa alasan yang jelas. Harus bagaimana?
Mungkin karena saya terlihat resah, Gatot, kepala kamar mendekati. “Prapatan yuk?”
Maksud lelaki bertato naga di dadanya itu, mengajak saya ikut urunan beli sabu seperempat gram. Saya menyerahkan tiga lembaran 50 ribuan. “Kita berempat,” katanya setelah menerima uang dari saya.
Kurang lebih satu jam ke depan, muncul oknum polisi. Gatot mendekati. Entah mereka bicara apa. Seperti berjabat tangan. Tapi bukan. Ada sesuatu, ada take and give. Hanya sebentar, mereka berpisah. Oknum polisi pergi sambil bilang begini: “hati-hati” dan Gatot menjawab: “Siap Ndan!”.
Kamar WC, satu-satunya tempat agak tersembunyi. Letaknya di ujung belakang ruangan sel. Ada tembok setinggi pusar. Jika kita berada di dalamnya dengan posisi duduk, maka tidak akan kelihatan dari depan. Di sanalah pesta sabu dilakukan. Gatot memanggil kami satu per satu. Bergantian menikmati kristal haram itu.
Dari cerita di atas, saya tidak bermaksud melecehkan instansi kepolisian. Saya hanya ingin mengatakan sekaligus mengingatkan bahwa peredaran narkoba sudah demikian meluas. Ada di mana-mana. Bahkan di instansi penegakan hukum sekali pun terjadi transaksi. Pengedarnya adalah oknum polisi. Dan, kita juga sering mendengar ada polisi ditangkap polisi. Ironis! (*)
13 Agustus 2014