COWASJP.COM – ockquote>
Sabtu malam, sehari setelah berlangsung pesta sabu-sabu, beberapa teman merancang pesta yang lain. Mabuk-mabukan di sel tahanan Polrestabes, Maret 2007 lalu.
KALI ini bukan Gatot yang memprakarsai. Ada teman lain, namanya Yudi. Pria bertubuh kecil, maksud saya, badannya tidak tinggi dan juga tidak pendek, kurus, kulitnya hitam, rambut keriting. Suaranya lantang disertai sorot matanya tajam. Yudi, yang tersandung kasus putau (heroin) itu cukup disegani. Malam itu, dia menggalang dana. Bagi yang doyan mabuk, ditarik iuran Rp 50 ribu. Sementara yang lain, diminta sumbangan suka rela.
Tradisi pesta minuman gaya kampung, tentu beda dengan gaya peminum di pub atau nite club. Jenis minumannya juga berbeda. Malam itu, mereka memesan minuman aplosan. Beberapa jenis minuman dicampur jadi satu. Saya tidak tahu apa saja. Kalau tidak salah, ada tiga atau empat macam, salah satunya jenis Kuntul. Kemudian, mereka melengkapi dengan tambul (makanan ringan sebagai selingan). Yudi bilang, mau pesan tambul RW (daging anjing).
“Kalau tidak ada RW, nyambek (biawak) aja Ndan.” Yudi menyerahkan sejumlah uang kepada oknum polisi yang disebut Ndan. Ndanyang satu ini bukan Ndanyang menawarkan saya kepada kepala kamar ketika hari pertama saya masuk kerangkeng. Juga bukan Ndanyang nyambi sebagai penjual shabu kemarin. Ndanyang ini adalah Ndanyang lain lagi. Dan, jatah untuk Ndan, jelas lebih tinggi dibanding harga minuman. Siapa perduli? Asal malam Minggu bisa mabuk-mabukan, bisa senang-senang, bisa bergembira.
Sekitar pukul 21.00 BBWI, minuman yang dikemas dalam 3 kantong plastik dan juga tambul RW nya datang. Ndan yang mengantar berpesan, acara baru boleh dimulai satu jam kemudian. Wajah para pemabuk tampak berseri-seri. Ada yang mempersiapkan gelas, ada yang menuangkan minuman dari plastik ke dalam botol air mineral. Yang lain lagi menyiapkan tambul di piring.
Mereka duduk dalam posisi melingkar, sementara Yudi bertindak sebagai bandar. Dia yang
menuang minuman ke dalam gelas dengan takaran yang sama, kemudian menyerahkan kepada peminum secara berurutan.
BACA JUGA: Pesta Sabu di Ruang Tahanan
Itulah saat mereka melupakan segala problem. Mengabaikan berbagai beban pikiran, stress dan rasa kangen kepada keluarga. Ketika gelas minuman sudah dua kali putaran, tawa dan canda mereka mulai menghangatkan suasana.
Ada yang menyanyikan lagu-lagu dangdut diiringi musik kotekan dengan suara gendang dari galon kosong air mineral. Saya dan beberapa teman yang tidak ikut minum, larut dalam kegembiraan teman-teman. Dan, malam itu, pesta mabuk juga berlangsung di Sel A dan D.
Gatot, kepala kamar bilang bahwa dia akan bikin kopi paling enak di seluruh dunia. “Bisa bantu aku memasak air?” katanya. Saya mengangguk saja, tapi bagaimana mungkin bisa memasak air di dalam sel? Tidak ada kompor, tidak ada panci. Juga tidak ada elemen pemanas air. Kalau pun ada elemen, di dalam sel tidak ada colok listrik. “Kita memasak air pakai apa?” saya bingung, benar-benar bingung. Gatot hanya tersenyum dan mengajak saya ke belakang.
Dia lalu mengambil botol air mineral yang sudah terisi. Airnya separuh botol. Kemudian leher botol diikat dengan tali rapia. “Kamu pegang talinya,” kata Gatot.
Saya masih bingung, saya ikuti saja kata-katanya. Talinya saya pegang dan posisi botol menggantung. Setelah itu, dia membakar kertas koran yang dicampur dengan beberapa buah tutup botol dan tutup galon mineral dari plastik. Apinya cepat menyala.
“Biarkan pantat botol itu berada di atas api. Pertahankan posisinya sampai airnya mendidih,” kata Gatot. Saya masih ragu, apa mungkin? Bukannya pantat botol bisa meleleh dan airnya ambrol?
“Jangan terlalu jauh dengan api, biarkan apinya menempel sedikit di pantat botol,” katanya. Saya turunkan sedikit dan api itu menjilat-jilat pantat botol. Ternyata tidak leleh. Dalam hitungan kurang lebih 20 menit, air di dalamnya mendidih. Jujur, tidak pernah terpikirkan dan saya jadi terheran-heran. Dasar tahanan.
Bubuk kopi susu diaduk kemudian dihidangkan dalam dua gelas. Saya dan Gatot minum di gelas yang sama, sementara gelas yang satunya diberikan kepada teman lain. Mungkin karena beberapa hari tidak minum kopi, kopi susu buatan Gatot terasa nikmat. Dan saya angkat jempol ketika Gatot bilang; “nikmat kan?”.
“Ini belum seberapa, tunggu 15 menit lagi,” kata Gatot. Memang ada kopi yang bereaksi menunggu 15 menit? Ada-ada saja. “Kopi susu buatan saya ini paling istimewa, nomor satu di dunia. Kopi susu ajaib,” ucapnya sambil tertawa.
Baru 10 menit berjalan, tiba-tiba, jantung berdegup kencang, keringat bercucuran. Reaksi lainnya, badan saya jadi enteng dan gerakan makin agresif. Maunya bergerak terus. Saya mulai sulit menahan bicara. Saya ngoceh terus. Reaksi seperti habis mengkonsumsi sabu. Bahkan lebih hebat dari itu. Saya mulai berpikir, kopi apa yang sudah saya minum? Gatot terpingkal-pingkal.
Baru beberapa hari menjadi tahanan, selalu saja ada kejutan. Ternyata bukan kopinya yang ajaib, tetapi air yang dimasak di dalam botol itulah yang jadi menghadirkan sensasi.
“Air yang kita masak tadi adalah air sabu yang kemarin kita pakai. Saya tidak membuangnya. Kopi tadi namanya kopi sabu,” jelas Gatot. Beberapa teman yang lain, mungkin lima orang yang ikut mencicipi kopi susu limbah sabu itu, bereaksi sama dengan saya dan Gatot. Buset dah!
Dulu, beberapa tahun yang lalu, saya memang pernah mendengar ada penjual jamu keliling dan warung kopi yang sengaja mencampurkan beberapa sendok air limbah sabu dalam racikan jamu dan kopi. Banyak orang yang merasa ketagihan karena reaksi spontan yang menggairahkan.
Tapi, sungguh jangan pernah mencoba. Sebab, dalam waktu beberapa bulan, bakal terserang sakit pada organ tubuh bagian dalam. Saya bukan ahli medis dan saya belum pernah konsultasi soal efek limbah sabu yang masuk ke dalam perut. Tapi ada beberapa teman pemakai yang sering meneguk air limbah sabu, meninggal karena sakit mendadak. Sekali lagi, jangan pernah mencobanya! (*)