COWASJP.COM – Suami-isteri EL (35) - IA (32) dan dua anak mereka, mencuri sebuah tabung gas 3 kg. Di warung Muhammad Yusuf di Kwitang, Jakarta Pusat, Minggu (31/10/21). Tabung sudah dijual, pelaku ditangkap polisi. Akhirnya dibebaskan.
***
Mengapa dibebaskan? "Korban sudah mencabut laporan. Diselesaikan secara Restorative Justice," kata Kapolsek Senen, Kompol Ari Susanto saat dikonfirmasi, Selasa (2/11/2021).
Bukankah, pencurian delik pidana biasa? Bukan delik aduan? Arti pidana biasa, meskipun korban mencabut laporan polisi, perkara pidana tetap berlanjut.
Memang. Tapi, bukan ke situ arah kasus ini. Melainkan, Restorative Justice. Sesuai arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, saat fit and proper test di DPR, 21 Januari 2021.
Kompol Ari: "Terus, rencananya dari Polsek Senen akan memberikan bantuan kepada tersangka dan keluarga. Kami akan memberikan pengecekan kesehatan dan lain-lain."
Enak banget. Mengapa begitu? Karena, tersangka EL, mengatakan ke polisi, begini:
"Nama saya EL, dan ini istri saya. Kami melakukan ini, karena kebutuhan rumah tangga Pak... Buat sehari-hari, makan, ya, kebutuhan aja Pak. Karena saya benar-benar sulit buat hidup."
Pengakuan EL ini divideokan Polsek Senen, dan dibagikan kepada pers.
EL: "Ini buat kebutuhan hidup kepepet, makanya saya bisa melakukan ini sehingga saya khilaf. Mohon dimaafkan."
EL dan IA sudah dibebaskan, Selasa (2/11/21).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dipublikasi Kamis, 15 Juli 2021, jumlah penduduk miskin Indonesia per 31 Maret 2021 tercatat 27,54 juta orang.
Indikator miskin adalah: Pengeluaran per kapita per bulan Rp 472.525. Jika dikalkulasi per kapita per hari hanya Rp 15.750.
Kapolsek Senen Kompol Ari Susanto (kanan).(FOTO: Karin Nur Secha/detikcom)
Gampangnya, orang (tua-muda, pria-wanita) yang bisa hidup dengan pengeluaran Rp 15.750 per hari ke atas, disebut (oleh BPS) tidak miskin. Kalau di bawah itu, berarti miskin.
Mungkin, EL masuk golongan 27,54 juta penduduk miskin versi BPS itu. Dengan pengeluaran per kapita Rp 15.750 per hari. Atau di bawahnya. Mungkin.
Nah, seumpama 27,54 juta orang itu meniru tindakan pidana EL (karena dibebaskan), terus bagaimana?
Tidak. Tidak... Tulisan ini tidak ke situ. Seandainya, toh peniruan puluhan juta orang itu terjadi, ya risiko penerapan Restorative Justice. Soalnya, Restorative Justice sudah sejak 1990-an diterapkan di Amerika, aman-aman saja. Di negara Amerika yang kaya.
James Dignan dalam bukunya: Understanding Victims and Restorative Justice (2005) mengungkapkan, istilah Restorative Justice dicetuskan Albert Eglash (1977).
Sedangkan, Albert Eglash adalah psikolog pada 1950-an bekerja melayani narapidana di penjara.
Eglash melihat kebutuhan narapidana bertanggung jawab atas perilaku mereka yang menyakiti orang lain dan memikirkan nilai rehabilitasinya. Eglash ingin orang-orang memahami nilai, dalam membuat restitusi ketika mereka menyakiti orang lain.
Kerja Eglash itu ia bukukan, berjudul Restitution in Criminal Justice: A Critical Assessment of Sanctions (1977).
Di situ, Eglash membagi hukuman jadi tiga bentuk:
1) Retributive justice.
2) Distributive justice.
3) Restorative justice.
Retributif adalah penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Disebut juga Conventional Justice.
Distributif adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan. Biasanya untuk pengguna narkoba.
Restoratif merupakan prinsip restitusi. Melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan: Reparasi (perbaikan sakit hati) bagi korban dan rehabilitasi bagi pelaku.
Restorative Justice lahir pada awal 1970. Karena Retributive Justice dianggap kurang memberi manfaat terhadap korban, pelaku, dan masyarakat.
Lalu, para aktivis sistem peradilan pidana yang tersebar di Amerika Utara dan Eropa kemudian berupaya mengadakan gerakan reformasi sistem pemidanaan secara terorganisasi.
Ternyata, tahun 1974, terinisiasi Victim-Offender Reconciliation Program (VORP) di Ontario, Kanada, yang diindikasi sebagai gerakan awal konsep Restorative Justice.
Awalnya, program ini ditujukan kepada pelaku tindak pidana anak (pelakunya anak) dalam bentuk ganti rugi kepada. Misal, anak mencuri sesuatu. Kemudian ortu memberikan ganti rugi kepada korban. Berdamai. Tanpa peradilan.
Hasilnya: Tingkat kepuasan cukup tinggi dari korban, pelaku, maupun masyarakat. Prestasi ini mendorong lahirnya program serupa di kawasan Eropa dan Amerika Utara.
Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya: Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (2014) membagi lima pola implementasi Restorative Justice:
1) Court-based restitutive and reparative measures. Konsep ini diusung pendukung “civilization thesis” di Inggris. Yakni, ganti kerugian dari pelaku kepada korban, sebagai reparasi terhadap korban.
2) Victim-offender mediation programmes. Pendekatan yang dipengaruhi Gerakan Christian Mennonite (Christian Mennonite Movement) menitikberatkan nilai rekonsiliasi antara korban dan pelaku.
3) Restorative conferencing initiatives. Pendekatan yang menekankan konferensi sebagai sarana penyelesaian pidana yang terdiri dari dua model, yakni family group conference dan police-led community conferencing (musyawarah antar pihak, disaksikan polisi).
4) Community reparation boards and citizens panel. Pendekatan ini menggunakan mekanisme panel antara warga dan dewan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana sebagaimana konsep children hearing system di Skotlandia.
5) Healing and sentencing circles. Pendekatan yang popular bagi warga asli Kanada ini mengikutsertakan para pihak yang umumnya terlibat dalam pengadilan tradisional ke dalam ruang persidangan konvensional.
Kasus pencurian tabung gas di Kwitang, masuk pola nomor tiga. Tersangka EL dan IA sudah dipertemukan polisi dengan korban Muhammad Yusuf. Mereka berdamai. Yusuf mengikhlaskan tabung, tanpa perlu ganti rugi.
Kendati, Restorative Justice belum ada dasar hukumnya di Indonesia. Tugas pemerintah bersama DPR menyusun aturannya.
Kasus Kwitang semacam uji coba, menunggu reaksi masyarakat. Menunggu reaksi Anda. (*)