Vonis Bebas Perkara Cabul, Karena Unus Testis

Dekan FISIP Unri Syafri Harto bersama istrinya, Tuti Syafri. (FOTO: Facebook @Tuti Hib/ seputartangsel.pikiran-rakyat.com)

COWASJP.COMHakim memvonis bebas Syafri Harto (55), mantan Dekan FISIP Universitas Riau, terdakwa cabuli mahasiswinya LM (21). Vonis di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Rabu (30/3) dengan pertimbangan: Saksi hanya satu, korban saja.

**

Hakim Ketua, Estiono, membacakan vonis. Selama persidangan, tidak terbukti terdakwa melakukan percabulan terhadap korban, mahasiswi LM. 

Rinciannya, seperti dibacakan Hakim Ketua, Estiono: 

"Tidak ditemukan adanya kekerasan. Terdakwa tidak ada mengancam saudara saksi korban LM saat bimbingan proposal."

Dilanjut: "Terkait adanya relasi yang tidak berimbang (antara pelaku yang Dekan FISIP dengan korban yang mahasiswi FISIP), menurut majelis, tidak bisa dijadikan alasan, karena tidak ada ditemukan kekerasan fisik dan kekerasan psikis."

Soal tuduhan, bahwa terdakwa dengan kedua tangannya memegang badan koban LM, sambil tanya: 'bibir mana bibir'? kepada korban LM, tidak dapat dibuktikan. Terdakwa membantah mengucap I love you, hingga mencium pipi kiri, kanan dan kening korban LM.

Terpenting, hakim menilai tidak ada saksi di kasus itu, selain saksi korban LM.

Estiono: "Saksi lain hanya mendengar cerita dari saksi LM. Keterangan satu saksi saja tidak cukup. Menurut KUHAP, saksi adalah orang yang melihat, mendengar langsung perkara pidana yang dialami sendiri. Bukan karena mendengar kata orang lain."

Maka, hakim memvonis: Bebas. Sekaligus memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari ruang tahanan.

Pertimbangan hakim yang paling signifikan di kasus ini: Satu saksi bukan saksi. Di adagium hukum dikenal sebagai "Unus Testis Nullus Testis". 

Definisinya, satu saksi tidak dianggap sebagai kesaksian. Satu saksi baru dianggap sebagai bukti hukum, jika isi kesaksian bertautan langsung dengan alat bukti lainnya.

Sesuai KUHAP (Kitab Udang-undang Hukum Acara Pidana) penyidik minimal harus memegang dua alat bukti permulaan yang cukup. Sedangkan, alat bukti hukum ada lima:

1) Keterangan saksi. 
2) Keterangan saksi ahli
3) Surat atau dokumen. 
4) Petunjuk. 
5) Keterangan terdakwa. 

Di kasus ini, hanya ada satu saksi korban. Dan beberapa saksi lain yang tidak melihat langsung kejadian pencabulan. Saksi-saksi selain saksi korban, hanya mendengar cerita dari saksi korban.

Alat bukti lain: Petunjuk. Adanya relasi yang tidak berimbang (antara pelaku yang Dekan FISIP dengan korban yang mahasiswi FISIP). Yang, berpotensi dijadikan alat penekan.

Menurut hakim, itu tidak bisa dijadikan alat bukti hukum. Karena tidak ditemukan bukti kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Oleh terdakwa terhadap korban.

Seperti diberitakan, kasus ini masuk ke ranah hukum, setelah korban LM membuat pengakuan lewat rekaman video. Diunggah di akun Instagram resmi Korps Mahasiswa HI UNRI dengan nama akun @komahi_ur.

Korban mengaku telah dilecehkan oleh Syafri  Harto, yang juga dosen pembimbingnya saat kegiatan bimbingan proposal skripsi. Video tersebut viral dan menyita perhatian berbagai pihak.

LM melaporkan Syafri ke polisi. Didampingi teman-teman mahasiswa Unri.

Kamis, 18 November 2021 Polda Riau menetapkan, Syafri Harto tersangka percabulan. Perkara diproses. Syafri belum ditahan.

Selasa, 21 Desember 2021 Rektor Unri, Prof Aras Mulyadi menonaktifkan Syafri Harto dari jabatan dekan dan tenaga pendidik. Penonaktifan ditandatangani Rektor Aras Mulyadi, Selasa (21/12/2021).

Senin, 17 Januari 2022 berkas perkara Syafri Harto dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Pekanbaru.

Setelah diperiksa kelengkapan berkas, Syafri langsung ditahan. Dengan alasan, agar tidak menghilangkan barang bukti. Atau melarikan diri. Atau mengulangi perbuatannya.

Senin, 21 Maret 2022 dalam sidang, Jaksa Penuntut Uumum (JPU) mengatakan, Syafri terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer Pasal 289 KUHPidana.  

JPU mengatakan dapat membuktikan adanya tindakan pemaksaan dan pencabulan oleh terdakwa terhadap korban. Maka, JPU menuntut terdakwa Syafri agar dihukum tiga tahun penjara. Akhirnya hakim memvonis bebas.

"Unus Testis Nullus Testis" juga terjadi di perkara perkosaan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Arimadidi (Manado, Sulawesi Utara) Nomor: 35/Pid.Sus./2015/ PN Arm. 

Kejadian di 2014. Waktu itu, terdakwa pria FL (40) dituduh memperkosa anak perempuan inisial FS (14).

Korban FS mengaku telah dipaksa hubungan badan dengan terdakwa FL saat rumah terdakwa dalam keadaan sepi. 

vonis-bebas.jpg1.jpgAliansi gerakan perempuan menggelar aksi diam di Kemendikbud dengan tujuan melawan kekerasan seksual di area kampus, 10 Februari 2020. (FOTO: CNN Indonesia/Feybien Ramayanti)

Hasil visum, ada luka robekan di vagina FS. Visum et Repertum Nomor: R/243/VER/VII/2014/PPT ditandatangani 8 Juli 2014 oleh pemeriksa dr. Christina N. Sanger.

Hasil visum ini kemudian terbukti, bahwa robekan vagina terjadi sudah lama. Bukan baru terjadi saat divisum.

Dari pihak korban menghadirkan saksi empat orang. Yang kemudian terbukti, empat saksi tidak melihat langsung kejadian. Melainkan, dari mendengar cerita saksi korban FS.

Alhasil, terjadilah adagium hukum "Unus Testis Nullus Testis". Majelis hakim memvonis bebas.

Di kasus semacam ini, tentu tidak gampang mendapatkan saksi, selain korban dan pelaku. Sangat jarang, perkosaan ditonton beberapa orang, ramai-ramai. Kecuali, perkosaan bergilir. Satu korban wanita digilir beberapa pria.

"Unus Testis Nullus Testis" jadi kata kunci kasus percabulan atau perkosaan.  Dengan mengetahui password itu, para calon korban perkosa bisa bersiaga. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda