COWASJP.COM – Pecah telor. Pemerkosa anak kini dihukum mati. Jatuh pada Herry Wirawan (37) di vonis hakim Pengadilan Tinggi Bandung, Senin, 4 April 2022. Anulir vonis Pengadilan Negeri Bandung, 15 Februari 2022, hukuman seumur hidup.
***
Itu berkebalikan dengan dua kasus serupa, beberapa tahun silam. Vonis peradilan tingkat pertama: Hukum mati. Vonis peradilan banding: Seumur hidup.
Yakni, 13 Desember 2016 terdakwa Jurjani (45) pemerkosa NNA (4) divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sangatta, Kutei Timur, Kalimantan Timur. Berubah jadi penjara seumur hidup di tingkat banding, pada 27 Februari 2017.
Lagi, 24 Agustus 2017 hakim Pengadilan Negeri Sorong, Papua Barat, memvonis hukuman penjara seumur hidup buat Ronald dan Lewi, pemerkosa sekaligus pembunuh bocah 5 tahun, Kezia Mamasa. Padahal, Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman mati.
Terpidana Herry, sebaliknya. Divonis hukuman penjara seumur hidup di peradilan tingkat pertama. Oleh majelis hakim pimpinan Y Purnomo Surya Adi.
Akhirnya divonis mati di peradilan banding.
Mengapa Herry divonis mati di Pengadilan Tinggi Bandung?
Hakim Pengadilan TinggI Bandung yang diketuai Herri Swantoro berdasar dokumen putusan, Senin (4/4/2022) menyebutkan:
"Menimbang bahwa dengan memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan majelis hakim tingkat pertama, maka majelis hakim tingkat banding berkeyakinan terhadap terdakwa haruslah diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatannya."
Dilanjut: "Putusan pidana tersebut yang dapat memberikan efek jera dan menjadi contoh bagi orang lain. Agar tidak melakukan perbuatan serupa dengan perbuatan terdakwa."
Lantas: "Sehingga, Majelis Hakim tingkat banding berkeyakinan hukuman yang pantas dan patut dijatuhkan terhadap terdakwa adalah hukuman mati. Dengan harapan, sebelum hukuman mati dijalankan, terdakwa sempat dan dapat bertobat kepada Tuhan sesuai ajaran agama yang dianutnya."
Juga, terpidana Herry dikenakan denda Rp300 juta. Istilahnya, beban restitusi.
Yang seluruh uangnya akan diberikan kepada keluarga korban perkosaan Herry.
Vonis restitusi itu juga menganulir vonis hakim di Pengadilan Negeri Bandung. Yang membebankan restitusi kepada negara. Padahal, vonis Pengadilan Negeri Bandung ini dinilai hakim Pengadilan Tinggi Bandung sebagai menyalahi hukum, atau tidak sesuai hukum, atau melanggar hukum.
Soal itu, dalam amar putusan hakim Pengadilan Tinggi Bandung, dinyatakan:
"Menimbang bahwa majelis hakim tingkat pertama telah menjatuhkan putusan untuk membebankan restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Bahwa hal ini bertentangan dengan hukum positif yang berlaku."
Para korban, 13 santriwati anak didik Herry sendiri. Usia korban antara 11 sampai 13 tahun. Mereka diperkosa Herry secara bergilir dan rutin, sejak awal 2015 di pondok pesantren yang dikelola Herry di Bandung.
Sampai dengan keluarga korban lapor polisi pada 3 Mei 2021. Atau selama sekitar enam tahun. Di saat usia anak-anak itu masih 6 sampai 8 tahun.
Dari 13 santriwati itu, menghasilkan sembilan bayi. Lahir dari delapan santriwati yang diperkosa. Salah satunya melahirkan dua bayi.
Semua bayi itu kini dalam kondisi hidup. Kini diasuh para ibu mereka, yang juga masih anak-anak. Di rumah-rumah para ortu mereka di Garut, Jawa Barat.
Kepada para korban itulah denda restitusi Rp300 juta akan dibagikan. Dengan proporsi berbeda, diatur oleh pihak pengadilan.
Amar putusan: "Pidana yang dijatuhkan tersebut bukanlah sebagai upaya balas dendam atas perbuatan terdakwa. Namun secara umum sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan serupa di kemudian hari. Dan, dari kemungkinan pengulangan perbuatan serupa yang dilakukan oleh terdakwa."
Pelaksanaan hukuman mati, sebagaimana berlaku di Indonesia, tembak mati pada jantung. Oleh regu tembak Polri yang dipimpin jaksa selaku eksekutor.
Menanggapi vonis mati Herry, pihak Kejaksaan Agung menyambut baik. Kepala Pusat Penerangan Hukum, Kejagung, Ketut Sumedana kepada wartawan, Senin (4/4/2022) mengatakan:
"Kejaksaan Agung menghormati putusan pengadilan. Kejaksaan Agung mengapresiasi tugas-tugas pelaksanaan penuntut umum di daerah, karena telah terakomodirnya semua tuntutan dan pertimbangan yang dibuat oleh jaksa, dalam putusan pengadilan tinggi."
Ini suatu kemajuan. Pecah telor. Seperti terjadi di India pada pertengahan 2016.
Dikutip dari BBC News, 31 Juli 2018 berjudul "India death penalty: Does it actually deter rape?" diulas, begini:
'Ngamuk'-nya penegak hukum di India akibat lonjakan jumlah perkosaan pria dewasa terhadap anak-anak perempuan (usia 12 tahun ke bawah) di sana. Data: Jumlah perkosaan terhadap anak tahun 2012 tercatat 8.541 kasus. Meroket jadi 19.765 pada 2016.
Sejak itu ditetapkan, pemerkosa anak di India dihukum mati. Sebelumnya, sama kondisinya dengan Indonesia sekarang. Tepatnya, Indonesia sebelum jatuhnya vonis mati Herry Wirawan.
Di awal penerapan hukuman mati bagi pemerkosa anak di India, ditentang banyak pihak. Terutama oleh para aktivis. Secara keras.
Dr Anup Surendranath, direktur eksekutif Project 39A (organisasi keadilan sosial India) berargumen begini: Dengan vonis mati bagi pemerkosa anak, maka korban atau keluarga korban, jadi tidak berani lapor polisi.
Dr Surendranath: "Kekurangan pelaporan kasus perkosaan, sebab pelakunya sebagian besar dikenal oleh korban. Sehingga keluarga korban takut. Juga, berbagai dinamika yang menyebabkan korban dan wali mereka tidak melaporkan kejahatan tersebut."
Surendranath adalah Asisten Profesor Hukum di Universitas Hukum Nasional, Delhi. Ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Hukum NALSAR, Hyderabad, India. Dilanjut S-2 di Oxford University, Amerika (2007 -2012).
Hukuman mati (di India dengan tiang gantung) dalam perspektif masyarakat, bahwa gegara korban melapor polisi, berarti mengirimkan pemerkosa ke tiang gantung. Logika masyarakatnya terbalik. Orang yang dihajati dianggap menjahati penjahat.
Surendranath: "Masyarakat kita bicara tentang pelecehan seksual terhadap anak adalah hal yang tabu. Apalagi perkosaan. Ada budaya diam yang menyelimuti rumah dan institusi kita dalam menangani masalah ini dengan keseriusan yang layak."
Para keluarga korban perkosaan cenderung menyembunyikan perkosaan. Menyesali seumur hidup. Tapi tidak melapor ke polisi. Sebab, jika tersiar bahwa seorang anak perempuan korban perkosaan, kelak dia dewasa tidak laku menikah. Atau tidak ada pria mau menikahi.
Kondisi norma sosial begitu, membuat jumlah perkosaan terhadap anak meroket tajam. Pria dengan gampangnya memperkosa gadis kecil.
Akibatnya, terjadi gerakan masal. Mendesak penegak hukum bertindak serius menangani perkosaan.
13 September 2013 di New Delhi, India, muncul gerakan masal. Puluhan ribu orang berbondong ke Pengadilan Distrik di Saket. Menuntut agar pria pemerkosa anak gadis dihukum mati.
Hari itu sidang vonis perkara perkosaan lima pria terhadap seorang mahasiswi keperawatan usia 23 tahun. Warga India marah. Lima terdakwa itu:
Akshay Thakur, Vinay Sharma, Mukesh Singh, Pawan Gupta. Satu lagi, Ram Singh bunuh diri di Penjara Tihar pada dua hari sebelum sidang vonis.
Akhirnya, hakim memvonis hukuman mati terhadap semua terdakwa. Kecuali Ram Singh yang sudah mati duluan.
Gerakan itu terus menggelembung, diikuti gerakan serupa. Kian lama kian masif. Alhasil, pria pemerkosa anak gadis di sana pasti dihukum mati.
Kalau di India hukum mati pemerkosa melalui gerakan masal, di Indonesia tenang-tenang saja. Organisasi perempuan dan anak, memperjuangkan hukuman keras bagi pria pemerkosa. Tapi, tanpa gerakan masa jumlah besar.
Gerakan masal di sini kebanyakan terkait politik, atau digerakkan untuk kepentingan politikus.
Herry divonis mati, karena keterlaluan. Masyarakat ngeri, membayangkan bocah-bocah wanita santriwati Herry itu pulang, setelah melahirkan bayi.
Tak kurang, 14 Desember 2021, Presiden RI Jokowi meminta, agar pelaku pemerkosaan 13 santriwati itu dihukum tegas. Juga, mewajibkan simpati pada keluarga korban.
Vonis mati terhadap Herry, kata hakim, bakal membuat calon pelaku serupa mikir, apakah lanjut perkosa atau batal. Ini efek jera. Demi rasa aman masyarakat. (*)