COWASJP.COM – Rasa-rasanya setelah ada selentingan para pensiunan JP era 80an dan 90an akan mendirikan Yayasan Pena Jepe Sejahtera, dalam hati berucap Alhamdulillah. Sebab, . tujuannya untuk menggugat para pemegang saham JP yang rata-rata memang sangat kaya raya.
Beda dengan kondisi ratusan para karyawannya yg sekarang ini boleh dibilang sangat memprihatinkan. Malah teman sedaerah di Madiun yang sama-sama "wong lawas" sampai tidak punya rumah. Yaitu Mas Santoso Bondet.
Mas Santoso jadi "kontraktor". Maksudnya selalu berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan di kampung A, kemudian pindah lagi ke rumah kontrakan lain di kampung B. Jangan dibayangkan rumah kontrakannya besar. Rumah tipe 27. Ruang tamunya hanya 2 x 1,6 meter. Dan ketika sakit, Mas Santoso tidurnya ya di ruang tamu itu, di atas kasur lusuh. Tanpa tempat tidur.
Belum juga dengan konco lawas (mantan karyawan Jawa Pos) lainnya. Ada yang nggak bisa bekerja lagi karena gak ada lagi pekerjaan yang bisa ditekuni untuk menyambung hidup.
Misalnya usaha sampingan yang dulu dikerjakan tidak lagi bisa lestari karena adanya pandemi.
Kalau mendengar keluhan konco-konco lawas rasanya ngelus dada. Koq kebangetan. Dulu sangat membatasi karyawan untuk kerja dobel atau nyambi walau hanya berjualan kecil-kecilan di rumah. Masak iya sih istrinya disuruh nganggur hanya mengelola gaji suaminya. Dan kebanyakan memang begitu. Maka ketika pensiun di usia 50 tahun, harus kebingungan usaha apa. Dirinya belum terlatih untuk berusaha. Yang harus siap gagal dan siap bangkit lagi.
Aku juga masih ingat betul bagaimana sikap pejabat Jawa Pos yang menyindir karyawannya yang sudah mampu beli mobil walau hanya mobil bekas. "Wah.. kamu sudah kaya ya, kok sudah punya mobil," sehingga temen tadi gak berani lagi bawa mobil ke kantor. Lo ada karyawan bisa beli sendiri mobil bekas kok dicurigai macam-macam. Dinyinyiri.
Kok tega-teganya. Mestinya ya check recheck dululah. Ya memang gaji si A tadi masih kecil. Bisa jadi si karyawan tadi punya isteri yg sudah mapan, sehingga bisa beli mobil walau dengan jalan nyicil. Ada juga teman wartawan yang punya mobil. Dicurigai macam-macam pula. Padahal ayah sangat wartawan tersebut orang kaya. Mobil itu pemberian ayahnya. Aneh ya. Kita bekerja di media massa, tapi ada pejabat yang tidak melaksanakan prinsip jurnalistik: klarifikasi, check and recheck. Main tuduh melulu.
Mungkin ada yang wadul. Ini lo punya ini. Seharusnya yang wadul (pembisik negatif) dipertemukan dengan yang dituduh. Lantas ditanya: X ini wadul ke saya bahwa kamu punya mobil ya. Kamu dapat amplopan pejabat ya?
Y yang dituduh langsung bisa klarifikasi. Ini mobil pemberian Bapak saya. Bapak saya pengusaha yang lumayan lah. Apa nggak boleh.
Begitu kan clear.
Masih banyak sebetulnya tentang kesewenangan petinggi JP. Satu contoh saya sendiri yang seangkatan dengan Almarhum Mas Wijoyo Hartono dan Almarhum Mas Soegiono (manajer percetakan). 1 Juni 1982 sama-sama hari pertama masuk JP (Jawa Pos). Saya kebetulan ditempatkan di pemasaran, di Markas Kembang Jepun 166. Almarhum Bapak Imam Soeroso sebagai Direktur.
Berhubung status saya masih kontrak, ada teman yang menawari saya sebagai petugas penagih pelanggan koran JP. Dan waktu terus berjalan, pada akhirnya setelah beberapa bulan, saya dipanggil manajemen yang intinya saya tidak boleh kerja rangkap. Suruh pilih salah satu, ya jelaslah saya pilih JP, karena kerja di agen JP tadi gak mungkin ada jaminan.
Alhamdulillah saya dipanggil Bapak Imam Soeroso, apa saya sanggup untuk jadi agen JP di wilayah Surabaya Utara. Dengan sumbang sih pendapat teman-teman
di pemasaran, saya pun langsung setuju dan pindah kos dari Kawatan kampungnya Pak Shohib (almarhum) ke daerah yang saat itu sangat rawan kejahatan.
Kata teman-teman kalau hanya mengandalkan gaji, kapan bisa maju. Alhamdulillah. Makanya kondisi ekonomi saya dibanding dengan teman-teman masih lumayan. Apalagi istri saya jadi PNS (guru) walau saat itu bergaji kecil.
Ya seperti itulah rata-rata karyawan yang istrinya ikut bekerja, lebih mapan ketimbang yg single fighter.
Bagaimana gak trenyuh kawan, kalau kita lagi bertemu teman sekerja pasti ada aja yang dikeluhkan, karena memang begitu adanya.
Kita sering membandingkan gaji drngan perusahaan-perusahaan lain. Misal, dengan teman yg bekerja di Harian Sore Surabaya Post. Dia sudah bekerja 11 tahun sudah dapat tunjangan untuk cicil rumah dengan DP dikasih perusahaan. Untuk cicilan tiap bulan langsung gajinya dinaikkan sebesar cicilan rumah. Itu hanya contoh aja yg sama-sama perusahaan pabrik koran.
Dengan swasta yg lain? Aduh boro2 dengan nama besar Jawa Pos. Karena apa? Jawa Pos itu sudah dapat julukan Perusahaan Besar, tapi untuk standar gaji nanti dulu.
Makanya sampai sekarang penerimaan karyawan Jawa Pos tak pernah lepas dari siap dengan tekanan
Alhamdulillah.
Mudah-mudahan dengan adanya gugatan Yayasan Pena Jepe Sejahtera ini ada perubahan para pemegang saham luluh hatinya setelah melihat kehidupan para pensiunan JP yang jauh dari kata cukup. Masih harus sedapat mungkin banting tulang untuk nyaur (membayar) utang, membiayai sekolah anak-anaknya yg belum kelar. Masih banyak ternyata. Karena mereka nikahnya telat. Kerja melulu, baru menikah di usia 35 tahun. Bahkan ada yang lebih.
Yaa... mudah2an aja akan segera terbuka hatì para pemegang saham yang kini menguasai hak-hak karyawan yg sudah puluhan tahun mereka kuasai. Hak saham karyawan 20 persen, dan hak deviden per tahun.
Kok yo tega-teganya hati para beliau. Ingat, manusia tidak akan hidup selamanya. Dan mati pun tidak akan membawa harta dan kekayaannya.
SADARLAH Bos, Anda sekalian telah merampas hak karyawan yang mestinya Anda-Anda sebagai Bos Besar bisa mensejahterakan para karyawan Anda.
Semua parabpensiunan sangat menunggu berita baik dari Anda para pemegang saham JP. Sebelum Anda meninggalkan dunia ini, ingatlah sesuatu, bahwa Anda semua punya andil ikut menyengsarakan dan mendholimi seluruh keluarga, termasuk istri dan anak-anak mayoritas mantan karyawan JP.
Kapan lagi waktu untuk bertaubat?
Maaf kalau tulisan ini jauh dari harapan.
Maaf yaa. Memang saya bukan penulis.
SALAM. (*)
Penulis: Mansyur Effendi, mantan Karyawan Jawa Pos.