COWASJP.COM – MEMBACA uneg-uneg rekan-rekan mantan Karyawan Jawa Pos, rasanya pengin nulis juga. Apalagi beberapa waktu saya tak menulis di CowasJP.com, karena alasan kesehatan yang agak ngedrop. Maklum namanya stroke ternyata banyak pengaruhnya pada kondisi tubuh secara menyeluruh. Sepertinya sudah waras, eh ternyata belum.
Tapi saya tak ingin menulis tentang deviden, saham atau yang lainnya. Saya hanya ingin menulis memorabilia, kondisi Jawa Pos tahun 1982, saat Tempo mulai pegang kendali. Dahlan Iskan yang semula Kabiro Tempo Jatim pun dikasih mandat jadi redaktur pelaksana.
Saya menulis ini, siapa tahu masih ada yang bisa tersenyum kecut atau tertawa mengingat euforia saat itu. Tapi maaf, saya hanya bisa menulis tentang kondisi Jawa Timur yang saya agak paham. Di mana saat itu wartawannya sudah tuwir-tuwir.
Mungkin saat itu hanya orang sekelas itulah yang mau jadi wartawan JP, karena saking kecilnya honor. Tapi lumayanlah punya kartu pers JP, paling tidak bisa untuk cari obyekan, hehehehe.
Mereka itu di antaranya Pak Slamet HR (Sidoarjo), Pak Moersodo (Blitar), Pak Wahas Sofyan (Tulungagung), Usman Ali (Bojonegoro), Pak Sunu Sumoprawiro (Kediri), Pak Suharno (Gresik), Pak Boen Soepardi (Malang), Pak Yoeke Sukaryono (Probolinggo), Pak Abu Said (Sumenep).
Kayaknya hanya saya yang paling muda.
Suatu hari kami diundang rapat di Kembang Jepun 167-169. Rapat dipimpin Dahlan Iskan yang memberi motivasi dan semangat kepada semuanya. Saya yakin Dahlan paham benar kondisi wartawannya di daerah, sebagai basis utama pemasaran di Jawa Timur. Karena rata-rata kami hanya menulis berita seputar seremonial. Gak perlu saya tulis pastilah pembaca sudah tahu.
Suntikan Dahlan sepertinya manjur. Hingga menumbuhkan semangat baru, juga harapan baru, kata-kata yang saya ingat sampai sekarang dan saya jadikan azimat dalam melaksanakan tugas jurnalistik adalah.........’’Mari kita bersama-sama besarkan perusahaan ini, agar kelak bisa memberi pekerjaan kepada anak cucu kita’’.
Kalimat azimat itulah yang menyemangati jadi motivasi seluruh wartawan Jawa Timur, hingga berita seremonial sudah dianggap tidak usum (musim). Saya pun mengikuti gejolak euforia, apalagi honornya lumayan meski belum bisa dibilang besar.
Wilayah kerjaku di Madiun lumayan luas. Meliputi Madiun kota dan kabupaten, Ngawi, Magetan, Ponorogo dan Pacitan. Apalagi tanpa sarana yang memadai. Jangankan sepeda motor, sepeda pancal pun tak punya. Maka kalau ada liputan di luar kota Madiun jelas butuh sangu. Kalau sudah begitu, uti (istri saya) kebagian meloak apa saja yang bisa dijadikan sangu di Pasar Loak Puntuk.
Narik rombong dengan motor modifiksi roda 3. (FOTO: Dok. Keluarga Santoso)
Bahkan ketika sudah punya kantor nyewa di Jalan Kalimantan, Madiiun, sering kali dapat tugas mendadak liputan di daerah lain, seperti Solo, Jogya, Semarang bahkan sampai Purbalingga. Di saat duit kas belum cair siapa lagi yang pontang panting cari utangan kalau bukan si uti.
Zainudin Iskan, adiknya bos Dahlan yang pernah jadi tim saya di Biro Jawa Pos Madiun sering bergurau dengan saya....’’Lha ya bos (begitu dia panggil saya) dulu kalau ada penugasan gitu yang pontang-panting istrimu,’’ katanya sambil tertawa.
Dengan Zainudin Iskan pula saya hampir setahun tak pernah libur saat malam Minggu. Sebab dengan sukarela nyopiri mobil Kijang biru untuk mengambil koran jatah Madiun di Surabaya. Tanpa merasa terbebani, meski tanpa ada uang lembur. Yang ada jatah makan untuk sopir. Jadinya saya pakai berdua makan di tengah perjalanan malam hari itu.
Maaf teman, saya hanya menulis kenangan manis. Betapa manisnya kerjasama yang baik, dengan mengusung kata azimat dari Dahlan Iskan,...’’Mari kita besarkan perusahaan ini, agar kelak bisa memberikan pekerjaan kepada anak cucu kita.’’
Panggung sandiwara itu telah usai. Layar sudah diturunkan, lampu panggung pun sudah dimatikan. Saya dan Zainudin pun ganti peran. Saya mengais-ngais recehan di embongan sebagai pedagang kaki lima. Nggoreng lumpia di tepi jalan. Tiap hari ditampar debu jalanan.
Tapi Tuhan masih mengajak bergurau dengan memberi hadiah stroke hingga membuat saya lumpuh dan depresi. Tapi sebagai petarung kehidupan sejati, aku tak mau menyerah dan berupaya untuk bangkit. Alhamdulillah Pak Parni Hadi dari Harian Republika yang punya Dompet Dhuafa membantu saya untuk merehab motor tua saya jadi roda 3.
Foto kenangan trio wartawan Jawa Pos 1984, dari kiri: Sri Rahayu (Yu Sri), Siti Handayani, dan Santoso Bondet. (FOTO: Dok. CoWas JP)
Dengan motor roda tiga aku keliling kampung menjajakan nasi bungkus. Pagi-pagi saat embun masih begelantungan di daun talas, saya pun sudah keliling sambil nyetel horn kayak penjual tahu bulat, ...’’Monggo yang sarapan pagi,.. ada nasi kuning, nasi rames dan rica-rica....hanya limaribuan.’’ Dan biasanya sudah ditunggu kaum ibu sambil nyegat bakul sayur.
Sekarang, setiap tengah malam saya hanya bisa menangis dalam hati, setiap kali mendengar uti sudah sibuk di dapur agar bisa jualan pagi. Saya hanya bisa berdoa semoga ia selalu sehat dan kuat. Karena hanya dialah sebagai penyangga kehidupan saya dan dua cucu yang sejak lahir ikut saya. Satu di SMK, satu masih di SD. Merekalah penyemangat hidup kami.
Dan sekarang dengan adanya perjuangan tim 9 Cowas, aku nambah doa lagi. Semoga Tuhan. memberi kesempatan aku dan uti bisa ikut menikmati secuil hasil perjuangan tim 9. Agar kelak bila saatnya tiba, aku dan uti bisa ‘’pulang’’ ke haribaan Tuhan dengan tersenyum.
Semoga para bos pemegang saham yang juga sudah tuwir-tuwir itu punya keinginan yang sama. Yakni pulang dengan tersenyum, bukan pulang sambil membawa beban berat segunung anakan. Semoga. (*)
Penulis: Santoso alias Akung Bondet, Mantan Wartawan Jawa Pos.