Reuni bersama Jarwo

Alhamdulillah, pertemuan yang membahagiakan. (FOTO: Soerijadi)

COWASJP.COM – Pintu kaca besar itu berputar sendiri. Otomatis.  Membentuk sekat-sekat empat bilik, berputar pada porosnya. Lambat tapi pasti. Di gerbang Tunjungan Plaza 5 Surabaya. Aku termangu mengamati putaran itu.

Banyak orang di sekitarnya, tapi tak ada yang masuk. Mereka tak memperhatikan pintu itu. Mereka memandang lalu Lalang kendaraan di Jalan Embong Malang yang ramai. Seolah abai pada pintu itu.

Ya sudah… aku akan masuk sendiri. Aku harus segera menuju lantai lima, ikut reuni dengan teman-teman lawas yang sepertinya sudah berkumpul. Aku bersiap di dekat pintu. Mengkalkulasi kecepatan gerakan pintu, untuk disesuaikan langkahku.

Satu... dua… bles…. aku masuk bilik. Ndredheg. Tolah-toleh sebentar. Melangkah cepat. Takut ketinggalan gerak pintu. Ternyata malah kelewat cepat. Nyaris menabrak dinding kaca. Maka, langkah kuperlambat. Rem abis. Sambil siap ancang-ancang melangkah lagi.

Mendadak aku dijendul dinding kaca. Duk… Bokong terjendul, perut pun otomatis maju. Kayak bocah main sepur-sepuran. Diamput… aku telat melangkah. Mamulo… mamulo...

Akhirnya aku lolos juga. Plong. Masuk ke gedung yang dingin itu. Sukses. Alhamdulillah.

***

MENGAPA JARWO TETAP SURVIVE? 

Aku bukan orang kuno. Aku beberapa kali melewati pintu putar begitu di Jakarta. Tapi kali ini aku terburu-buru. Telat hadir. Jadinya terjendul. Apes.

Di acara reuni ternyata ramai. Ada kepala suku Slamet Oerip Prihadi yang kuhormati. Ada Jarwo yang mentraktir acara itu di restoran kelas bintang empat (terimalah ucapan terima kasihku Pak Jarwo). Ada Bambang Hutoyo si jago marketing. Ada Oemiati yang paling cantik. bidangnya banyak lagi teman-2 lawasku yang semuanya sehat kuat dan trengginas.

Aku tahu, Jarwo pebisnis sukses bidang percetakan. Ini mengherankanku. Di era paperless sekarang, kok bisa bisnis Jarwo malah berkibar? Dengan putaran deal bisnis puluhan miliar rupiah per tahun. 

Padahal, toko buku Gunung Agung sudah lama tutup. Toko buku Gramedia sepi pengunjung. Sebab, buku tergantikan e-book. Kok bisa bisnis Jarwo tetap puluhan miliar?

dwo2.jpgDjono W. Oesman (tengah) dan Cak Jarwo (paling kanan) asyik berbincang masalah dunia cetak (kertas), yang ternyata masih menguntungkan dan bermanfaat. Di tengah gelombang besar paperless. Obrolan yang mengasyikkan. (FOTO: Soerijadi)

Aku bertanya ke Jarwo. Ia menjawab. Diberinya berbagai contoh trik bisnis percetakan. Termasuk cara menata mindset, menghadapi tagihan macet. Dan, tentu saja diungkap strategi bertahan di era paperless. Semua dibongkar. Aku menyimak penjelasannya. Semuanya logis. Dan tulus ikhlas.

Contoh: Misalnya ada tunggakan tagihan Rp 2 miliar. Terbayar Rp 1,8 miliar. Ditagih sulit. Penunggak dimohon dengan hormat membayar, tetap tak terbayar.

Jarwo: "Maka, saya kalkulasi. Kalau dari pembayaran Rp 1,8 miliar saya sudah laba, maka saya ikhlaskan sisanya."

Apakah Anda berharap, penunggak merasa bersalah dan suatu saat ia akan balas budi ke Anda?

"Tidak. Saya ikhlas."

Apakah ada customer Anda begitu kemudian suatu saat ia membalas budi ke Anda?

"Tidak juga."

Berarti margin Anda berkurang Rp 200 juta, dong?

"Benar. Itu risiko bisnis."

Bambang menimpali: "Cara bisnis Pak Jarwo memang sulit ditiru pebisnis lain. Ia spesial."

dwo1.jpgMas Sujarwo (no 2 dari kanan) menraktir Sedulur2 Cowas JP (Konco Lawas Mantan Jawa Pos). (FOTO: Soerjadi)

Aku merenung. Seumpama aku jadi Jarwo, kubayar preman 20 persen dari jumlah tagihan yang terbayar. Maka, bakal ada uang masuk. Utang uang mesti dibayar uang. Utang budi dibawa mati. Tapi kusadari, aku bukan Jarwo. Aku bukan pebisnis.

Hidangan terus berdatangan ke meja. Mulai nasi goreng, mi, sop buntut, es cendol, kopi. Teman2ku asyik ngobrol aneka topik. Ketawa lepas mengenang kejadian lucu saat tugas di Jawa Pos dulu.

Jelang reuni bubar Jarwo menyalami semua teman yang hadir, termasuk aku. Ia menyayangi kami semua. Sebagai saudara. Kami berterima kasih.

Kami berpencar pulang. Dari lantai lima, aku malah ikut teman2 naik escalator. Mestinya turun, malah naik. Sebab, banyak teman ikut mobil Jarwo sekadar untuk  menuju jalan raya, mencari angkutan umum. Termasuk aku.

Tujuanku Stasiun Pasar Turi, naik KA pulang ke Jakarta. Ternyata, Jarwo mengantarku sampai depan gerbang stasiun. Sebab rumahku paling jauh. Ampun… Tuhan… Kudoakan Jarwo selalu sehat, berkelimpahan rejeki barokah.

Tapi ada rahasiaku yang tak diketahui teman2ku. Bahwa aku lolos dari pintu putar itu. Aku sudah lega. Daripada bokong kejendul lagi. (*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda