COWASJP.COM – KINI para mantan karyawan Jawa Pos tengah berjuang untuk menagih dan memperoleh kembali haknya. Yaitu hak saham karyawan di Jawa Pos Holding yang besarnya 20 persen dan hak deviden per tahun.
Kedua hak itu lepas setelah pada 2002, berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diserahkan kepada CEO Jawa Pos Dahlan Iskan. RUPS 2002 juga "memerintahkan" kepada Pak Boss -- sapaan akrab Dahlan Iskan di kalangan pekerja Jawa Pos Group, untuk segera membentuk Lembaga Karyawan yang baru (karena lembaga karyawan yang lama dibubarkan). Agar hak deviden per tahun bisa dikelola dan diatur distribusinya oleh lembaga karyawan tersebut.
Akan tetapi lembaga karyawan tersebut tak segera dibentuk. Baru terbentuk 20 tahun kemudian pada 2022. Inilah yang menyebabkan hak deviden macet. Puluhan tahun. "Semuanya masih utuh. Tidak pernah saya otak-atik," tegas Pak Boss kepada TPHK Jawa Pos.
Boleh dibilang hampir semua karyawan tidak tahu tentang bagaimana hak saham dan deviden tersebut. Karena memang tidak pernah ada komunikasi dan penjelasan pihak Direksi dan Komisaris kepada para karyawan.
Para karyawan baru ngeh bahwa ternyata mereka punya hak saham 20 persen dan perolehan deviden setelah ada gerakan Tim Pejuang Hak Karyawan (TPHK) Jawa Pos sejak April tahun 2022.
Kemudian dibentuklah Yayasan Pena Jepe Sejahtera Surabaya berdasarkan Akta Notaris nomor 20 tanggal 9 Agustus 2022 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0016965.AH.01.04.Tahun 2022 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Pena Jepe Sejahtera tanggal 12 Agustus 2022, sebagai lembaga baru yang menggantikan Yayasan Karyawan Jawa Pos terdahulu.
Ini karena Pak Dahlan berkenan menempuh jalan damai dengan TPHK Jawa Pos di Pengadilan Negeri Surabaya. Alhasil, berdasarkan Akta Van Dading sebagaimana tertuang dalam Putusan Register Nomor : 125/Pdt.G/2022/PN.Sby tanggal 09 Mei 2022, Sdr. DAHLAN ISKAN telah menjalankan kewajibannya dengan membentuk lembaga baru berupa “YAYASAN PENA JEPE SEJAHTERA SURABAYA” dan berjanji/sepakat untuk mengembalikan saham milik karyawan pada Yayasan Karyawan Jawa Pos.
Tiga kali sudah surat penagihan dilayangkan oleh Yayasan Pena Jepe Sejahtera kepada para pemilik saham Jawa Pos Holding. Karena belum ada tanggapan positif, maka pengacara Yayasan, Dr Sudiman Sidabukke S.H., CN., M.Hum akan melakukan langkah strategis berikutnya.
Persoalannya adalah ternyata saham karyawan 20 persen yang semula dipegang Pak Dahlan, entah bagaimana ceritanya, pada tahun 2016 dibagi-bagikan kepada semua (8) pemilik saham JP Holding.
Begitulah pembuka tulisan ini. Kemudian muncul pertanyaan: bagaimana kira-kira puncak dan hasil perjuangan untuk memperbaiki nasib ratusan mantan karyawan Jawa Pos nanti?
Perlu dicatat, nasib mayoritas mantan karyawan Jawa Pos kini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan ada yang tidak punya rumah. Walau rumah paling sederhana sekali pun. Mereka sangat berharap memperoleh kembali hak-hak mereka.
Sekitar 250 orang mantan karyawan Jawa Pos telah mendaftar sebagai anggota Yayasan Pena Jepe Sejahtera. Ini belum termasuk sekitar 150 mantan karyawan yang telah meninggal dunia.
Kita tidak ingin berandai-andai. Tapi alangkah baiknya kita mencari pembanding. Bagaimana nasib para mantan karyawan Harian Kompas sekarang? Apakah mereka sama nasibnya dengan para mantan karyawan Jawa Pos?
Kita berani menjadikan pembanding dengan Kompas karena Jawa Pos masuk dalam TOP 3 Indonesia. Yang nomor satu tentu Kompas, yang nomor 2 Jawa Pos, nomor 3 mungkin Suara Pembaruan (dulu Sinar Harapan). Kesemuanya koran nasional. Kompas dan Jawa Pos berkembang menggurita dengan berbagai koran dan bidang usaha lainnya.
DI KOMPAS TAK HANYA DEVIDEN, SEMUA MANTAN JUGA DAPAT UANG PENSIUN BULANAN
Mantan wartawan Jawa Pos, Rizal Layuck, hijrah menjadi wartawan Kompas pada 1994 (era markas Jawa Pos masih di Karah Agung, Surabaya). Dia pulang kampung dari Karah Agung Surabaya ke Manado, kampung halamannya, menjadi wartawan Kompas di sana.
Rizal inilah yang bercerita bagaimana nasib para mantan karyawan Kompas.
"Semua karyawan yang pensiun dari Kompas dapat uang pensiun setiap bulan. Bervariasi dari Rp 5 juta sampai Rp 10 juta lebih, tergantung besaran gaji terakhir. Saya sendiri dapat uang pensiun Rp 6 juta per bulan. Pensiunan tiap bulan ini diberikan sepanjang hidup. Seandainya nanti saya meninggal dunia, uang pensiun per bulan itu dialihkan ke istri saya. Begitu pula semua wartawan dan karyawan Kompas. Perlu saya jelaskan, bahwa penerima pensiun berusia 50 tahun ke atas. Apabila di bawah 50 tahun berhenti bekerja tidak dapat pensiun," urai Rizal Layuck.
"Setiap tahun, saya yang sekelas wartawan (bukan redaktur) menerima deviden lebih dari Rp100 juta," tambahnya. Rizal pensiun tahun 2018.
Ketika masih aktif, Rizal per tahun menerima 20 kali gaji. "Masih ada lagI. Tiap kali boss kami Pak Yacob Utama ulang tahun, semua karyawan juga memperoleh bonus yang lumayan. Rp20 juta. Apabila saya ditugaskan meliput ke Papua atau Aceh dan tempat lain, uang saku per hari Rp300 ribu. Hotel dan lain-lain dana tersendiri. Kalau sakit misalnya, saya, isteri dan dua anak memperoleh seluruh biaya perawatan di rumah sakit mana pun. Semuanya ditanggung Kompas," tutur Rizal.
Lo, katanya menurut peraturan tentang pers sekarang, pemberian saham kepada karyawan tidak menjadi keharusan?
"Tidak menjadi keharusan kan tidak dilarang. Buktinya semua karyawan Kompas tetap punya hak saham dan deviden. Bahwa belakangan besarannya menurun ya wajarlah. Karena belakangan kehidupan media tak sejaya dulu," jawab Rizal.
Kita para mantan Jawa Pos tidak menuntut harus sama dengan Kompas. Yang pasti, semangat perjuangan TPHK Jawa Pos (dalam hal ini Yayasan Pena Jepe Sejahtera) bersama pengacara Sudiman Sidabukke mengedepankan solusi kekeluargaan. Kalau masalahnya bisa diselesaikan secara damai dan penuh rasa kekeluargaan, mengapa tidak?
TPHK JP bersama Pak Dahlan Iskan dan pengacara Dr Sudiman Sidabukke. (Dok TPHK JP)
Ini bukan masalah menang kalah. Ini masalah kearifan di etape akhir hidup kita. Bukankah pers selalu mendengungkan keadilan dan kemanusiaan. Kewajiban berbagi dan menunaikan kewajiban sebaik-baiknya.
Dulu para karyawan Jawa Pos harus fokus untuk Jawa Pos. Fokus total! Tidak ada hitungan uang lembur kalau kerja lembur. Mendirikan toko peracangan (kelontong) di rumah pun tidak boleh.
Pak Dahlan sudah menyatakan hitam di atas putih menyerahkan kembali 2 persen saham karyawan yang diterimanya. Para mantan JP menunggu pengesahannya di RUPS JP, mungkin bulan Juni ini. Bagaimana dengan 7 pemilik saham JP lainnya?
Kita semuanya tentu ingin meninggalkan dunia ini dengan senyum. Tiada ganjalan. Semoga kita semuanya bisa husnul khatimah. Aamiin. (*)