Uneg-Uneg Mantan Karyawan Jawa Pos (6)

Adukan Dahlan dan GM ke Makam Eric Samola

Moch. Taufik (penulis). (FOTO: Moch. Taufiq)

COWASJP.COMKEMARIN siang saya mendapatkan telepon dari seorang rekan mantan pegawai Harian Pagi Jawa Pos. Saya mengenalnya sebagai pegawai yang tidak pernah neko-neko. Bekerja sesuai aturan. Bahkan tak pernah punya obsesi naik kelas, walaupun di mata saya dia memiliki kualitas kerja yang baik.

"Taufiq, apakah kamu yakin perjuangan ratusan teman-teman terkait 'Warisan Jawa Pos' bakal berhasil?" tanyanya.

"Kenapa?" saya balik bertanya.

"Saya perlu opinimu, karena isteri saya baru saja menanyakan peluang keberhasilannya," jawabnya, serius. "Saya dan isteri sangat berharap perjuangan kita berhasil secepatnya, karena kondisi keuangan kami sekarang sedang hancur-hancuran, Taufiq," lanjut dia.

Saya menarik napas panjang sejenak. Saya mencoba memahami perasaan dia. Saya  pernah beberapa kali berada dalam kondisi seperti dia. Bahkan perceraian pertama dalam sejarah pernikahan saya --yang telah saya sengaja untuk melupakan tahunnya-- membuat saya pernah minder pada tahun pertama berstatus duda. 

BACA JUGA: Seperti Apakah Nasib Pensiunan Harian Kompas?

Saya masih ingat, masa itu saya malu bertemu teman, dan saudara. Selain mendadak tak punya uang sama sekali --kecuali sebuah cincin emas di jari manis kanan yang tidak lama kemudian terpaksa dijual untuk ongkos hidup-- saya merasa telah menjadi 'korban pernikahan'. 

Sebelum maju ke sidang perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo, saya sempat berkonsultasi ringan dengan Dahlan Iskan, mantan Bos Jawa Pos.

Saya sengaja menemuinya di Graha Pena Surabaya, sebelum kemudian kami meluncur ke pabrik kertas milik Jawa Pos di kawasan Sumengko, Kabupaten Gresik. 

Sesungguhnya saya berani curhat kepada Pak Bos -- demikian saya biasa memanggil Dahlan Iskan-- semata-mata karena dia juga mengenal isteri saya.

Selama proses perceraian, kondisi ekonomi saya semrawut. Agar bisa tetap makan-minum sekaligus menguatkan batin, saya menumpang tidur di ruang tamu salah seorang kakak perempuan saya, di kawasan Demak (Pasar Turi, Surabaya). 

BACA JUGA: Harap Harap Cemas Deviden​

Menjelang tidur malam, kursi dan meja di ruang tamu saya harus sisihkan di dekat dinding ruangan. Lantas, saya menggelar selembar tikar yang di atasnya ditaruh selembar busa tipis. Agar saya bisa tidur agak nyaman.

Untuk mengusir nyamuk, saya menyalakan 2 obat nyamuk bakar. Satu obat nyamuk diposisikan di arah kaki. Sisanya di arah kepala.

Saya baru mulai hidup normal, ketika seorang sahabat menyuntikkan modal segar kepada saya untuk membuka butik kebaya dan batik di kawasan Ngagel. Jauh sebelumnya, saya memang banyak membantu bisnisnya di butik bordir. Mungkin dia merasa berhutang budi, sehingga cepat turun-tangan membantu saya untuk segera bangkit. Kebetulan saya memiliki respektasi ekstra di bisnis fashion.

"Kamu ingin mendengar sebuah kebohongan, atau kejujuran?" tanya saya, penuh selidik kepada teman saya yang menelepon tadi.

"Saya ingin kamu berkata jujur saja, Taufiq," jawabnya, serius.

Agak kaget juga saya mendengar jawaban itu. Sebab, saya merasa pengakuan jujur yang akan saya berikan, tentu akan menghentakkan kepalanya.

"Hanya keajaiban Allah saja yang mampu menggugah hati Pak Bos, dan seluruh direksi Jawa Pos untuk memenuhi harapan kita," jawab saya, lugas.

"Artinya.....?" tanya dia lagi.

BACA JUGA: Menanggapi Keluhan Para Pensiunan Jawa Pos Era Kembang Jepun dan Karah Agung​

"Kecil kemungkinannya para bos-bos itu  mencairkan 'Warisan Jawa Pos'. Karena itulah kita membutuhkan energi yang luar-biasa. Ukurannya ekstra superjumbo,"  jawab saya.

Saya mencoba untuk berhitung secara sederhana saja. Pertama, pendirian Yayasan Pena Jepe Sejahtera --sesuai informasi yang saya dengar-- didorong langsung oleh Pak Bos. Pertemuan perdananya dilaksanakan di rumah Pak Bos juga. Seingat saya, ada beberapa orang senior saya di Jawa Pos yang hadir dalam pertemuan itu. 

Di antaranya Zainal Muttaqin, tangan kanan Pak Bos yang sejak beberapa bulan terakhir ini telah pecah kongsi dengan Pak Bos. Ada pula mantan Redaktur Senior Olahraga, Slamet Oerip Prihadi, dan Dhimam Abror Djuraid (mantan Pemimpin Redaksi).  Juga Choirul Shodiq, dan Surya Aka. Surya Aka sendiri kemudian dipilih sebagai ketua yayasan, sedangkan Slamet Oerip Prihadi bertindak sebagai sekretarisnya.

Pak Bos bukan hanya yang menginisiasi pembentukan yayasan. Namun, kabarnya dia pula yang memilih personel-personel tadi. Nah, soal pemilihan personalia yayasan itulah yang justru menjadi ganjalan di hati saya. 

Mengapa tidak diserahkan saja nama-nama mereka ke floor WA Grup Cowas JP (Konco Lawas Jawa Pos) agar berkesan lebih fair? Artinya, biarlah anggota Cowas JP yang menentukannya, termasuk memilih sosok yang nilai sangat kredibel sebagai pengacara yayasan.

Hal itu sangat penting

agar tidak melahirkan kecurigaan, bahwa 'Warisan Jawa Pos' yang kini sedang diperjuangkan oleh Yayasan Pena Jepe Sejahtera, tidak lebih dari sebuah proyek impian saja. 

Disebut proyek impian saja, lantaran proyek tersebut tidak akan pernah menjadi kenyataan. Proyek yang hanya berada di angan-angan belaka, karena sudah disetel sedemikian rupa oleh produser yang merangkap sebagai sutradaranya, dan didukung penuh oleh para pemeran utama pilihannya sendiri.

Kedua, saya menilai sikon Cowas JP sendiri kini sedang tidak baik-baik saja. Beberapa anggotanya yang saya anggap memiliki ekstra kapasitas untuk membantu perjuangan 'Warisan Jawa Pos', ogah ikut-campur. Misalnya Arif Affandi (mantan Wakil Walikota Surabaya), Dhimam Abror Djuraid, Auri Jaya (bos Portal Berita jpnn.com),  Maksum (mantan penjaga gawang rubrik Opini Jawa Pos), atau Abdul Muis (mantan wartawan andalan sepakbola Jawa Pos).

BACA JUGA: Hari-Hari Ini Cairkan Dulu Deviden 2002-2016​

Saya enggan menyampaikan dugaan atas sangat minimnya respektasi mereka atas 'Warisan Jawa Pos'. Biarlah alasan tersebut menjadi privasi mereka saja. 

Namun, muncul selentingan bahwa mereka masih terlalu menaruh hormat kepada Pak Bos. Tidak enak hati.

Karena itulah di mata saya, yayasan saat ini tidak memiliki seorang jenderal lapangan yang mengomandoi perjuangannya sendiri. Mereka sekarang bergerilya secara tradisional, tanpa seorang komandan yang sangat disegani. Pergerakannya teramat personal.

Kalau pun berkelompok, saya berani berspekulasi jumlahnya tidak lebih dari 10 orang per kelompok. 

Artinya, sampai hari ini belum muncul sosok yang menjadi dirigen untuk membawakan sebuah orkestra yang penuh keharmonisan. Padahal, keharmonisan inilah yang sangat  dibutuhkan dalam menyusun taktik jitu.

Saya lebih cenderung menaruh harapan kepada anggota yayasan dalam memobilisasi perjuangannya sendiri.

Sebab, saya melihat Tim Khusus dan penasihat hukum yang mendampingi yayasan, sangat lamban dalam bergerak. 

Seingat saya, 'Warisan Jawa Pos' sudah berjalan lebih dari 1 tahun. Golnya jelas di depan mata, namun tingkat kecepatannya tidak dimaksimalkan. 

Soal kelambanan itu pula  --yang nilainya memang relatif-- menjadi bahan gunjingan hampir semua anggota yayasan. Karena gunjingan, maka aktivitasnya dilaksanakan secara bisik-bisik, dan sembunyi-sembunyi. "Ketua tim yang dibentuk yayasan, kok sangat pelit memberikan tanggapan terbuka di WA Grup Cowas. Ada apa ini?" demikian beberapa kali celetukan yang mampir puluhan kali di telinga saya.

BACA JUGA: Mengetuk Hati Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Pemilik Saham JP Holding​

Soal sengaja atau tidak disengaja untuk berproses tanpa kecepatan penuh, saya enggan berspekulasi dalam menganalisanya. Biarlah publik --khususnya anggota yayasan-- sendirilah yang dengan cerdas memberikan penilaian. Sesuatu yang memang tidak dapat diraba dan disentuh secara nyata. Namun, aroma wangi-busuknya bisa dirasakan oleh setiap orang.

"Jadi, kita harus melakukan apa, Taufiq?" lanjutnya.

Saya tertawa kecil. "Tidak ada hal lebih yang bisa kita lakukan, kecuali memohon uluran tangan langsung dari Allah," jawab saya, cepat.

KOMANDO PASUKAN PERTEMPURAN

Saya menilai, 'musuh' yayasan saat ini adalah orang-orang top di bisnis pers nasional. Pak Bos dikenal bertangan-dingin mengelola bisnis koran, dan sejenisnya. Begitu pula Goenawan Muhammad (GM) yang juga menjadi elite manajemen di Majalah TEMPO. TEMPO hingga sekarang dikenal sebagai barometer pengelolaan bisnis pers yang baik dan benar.

Pak Bos, GM, dan direksi Jawa Pos lain sekarang ini boleh disebut sebagai orang yang kaya-raya untuk ukuran pemain di bisnis jurnalistik Indonesia. Saya sendiri mengenal mereka sebagai tokoh pers nasional, dan menjunjung tinggi kehidupan pers yang sehat, merdeka, dan bermartabat. 

Sayangnya, dalam kasus 'Warisan Jawa Pos', mereka justru tidak bersikap jantan. Saya hanya berpikir sederhana saja: kalau materi perjuangan yayasan memang tidak relevan dengan aturan yang berlaku, maka sebaiknya mereka melakukan pertemuan khusus dengan perwakilan yayasan. Saling menjelaskan duduk-persoalannya. Kalau pun tidak dicapai permufakatan yang sesuai dengan keinginannya, maka kasus ini bisa dilanjutkan ke ranah hukum. Elegan.

Maka --sebagaimana yang selalu menjadi pegangan saya terkait kasus ini-- sebaiknya yayasan membuat laporan langsung saja ke polisi terhadap orang-orang yang dinilai melahirkan kasus tersebut. Lebih-lebih saya telah mendengar kabar, bahwa yayasan sudah 3 kali memberikan surat kepada direksi Jawa Pos, untuk mengklarifikasi kasus tersebut. Dan, sampai sekarang belum mendapatkan jawaban apa pun. 

Artinya, saya melihat mereka tidak mempunyai itikad baik menyelesaikan masalah itu secara baik-baik. Atau melakukan mediasi secara konkret agar kasus ini tidak berlarut-larut. Agar 'Warisan Jawa Pos' tidak menjadi preseden buruk di bisnis pers Indonesia.

Alangkah sangat ironisnya, jika preseden buruk itu melibatkan Pak Bos, GM, dan beberapa orang pebisnis pers terkenal lainnya. Saya sebut sangat ironis, karena semut di seberang lautan jelas kelihatan, sedangkan gajah di pelupuk mata justru tidak tampak.

Kalau sudah demikian, maka genderang perang pun harus segera ditabuh. 

Ibarat hendak berperang, maka yayasan harus punya panglima perang. Agar berhasil menumpas semua lawan, maka semua anggota yayasan sudah harus melakukan koordinasi, berlatih serius untuk menewaskan musuh, dan merebut  kemerdekaan. Secepatnya. Setuntasnya.

Mulai sekarang, HP seluruh anggota yayasan --minus segelintir orang yang bermuka, atau berkaki 2 atas perjuangan yayasan-- wajib sesering mungkin menyetel lagu-lagu perjuangan.

Saya menyodorkan lagu 'Komando Pasukan Pertempuran'-nya TNI, sebagai penggugah semangat anggota yayasan. Begini sebagian besar liriknya:

Komando Pasukan Pertempuran... di sini para raider dilahirkan.

Dengan jiwa satria, infanteri namanya... Sapta Marga pedoman kita.

Gunung hutan rawa laut ditempa.... itulah sahabat kita.

Semangat membara tak kenal menyerah... Tri Dharma selalu siap sedia.

Di mana kami berada, Merah-Putih selalu di dada.

Tri Dharma rela berkorban jiwa ... untuk bangsa dan negara.

Lebih baik gagal di medan latihan... daripada gagal di medan pertempuran.

Mari kita berlatih bersama... kalau tidak mau pulang nama.

***

ERIC SAMOLA

Saya kemudian melanjutkan percakapan dengan si penelepon tadi. "Saya akan memberikan usulan kepada tim khusus bentukan yayasan," kata saya.

Yang saya ajak ngobrol tidak langsung memberikan respon. Namun beberapa detik kemudian, dia bertanya, "Kamu hendak memberi saran apa, Fiq?"

Saya kemudian menyebut nama seorang laki-laki kelahiran Minahasa (Sulawesi Utara). Eric Samola, SH namanya. Dia  meninggal di usia 64 tahun di Singapura, tepatnya pada 10 Oktober 2000. Posisi terakhirnya adalah Direktur Utama Grafiti Pers, perusahaan yang menaungi Majalah TEMPO dan Jawa Pos.

Dialah bosnya GM, dan Pak Bos.

Walaupun saya tidak mengenalnya secara langsung, namun namanya sangat harum di kalangan senior Jawa Pos. "Di tangan Pak Erick, kesejahteraan karyawan sangat diperhatikan. Boleh dibilang karyawan tidak pernah kehabisan uang. Uang gajian belum habis, eh.... dapat lagi uang ini-itu," komentar Oemijati, mantan Sekretaris Redaksi Jawa Pos.

Slamet Oerip Prihadi  menambahkan, Erick adalah bos dalam arti yang sesungguhnya. "Saya sangat menaruh respek kepada almarhum. Sebab, Pak Erick tidak mau karyawannya hidup susah, sementara bisnis perusahaan di mana dia mengabdi, dalam kondisi berlimpah keuntungan. Prinsipnya, jika perusahaan mapan, maka karyawan harus hdup mapan juga," papar Slamet.

Setelah Erick meninggal, era kepemimpinan Jawa Pos berada di tangan Pak Bos. Dan, mulailah manajemennya bergeser haluan yang pada akhirnya melahirkan konflik 'Warisan Jawa Pos'. 

Pembaca, Anda tentu sudah tahu bahwa 'Warisan Jawa Pos' adalah adanya pengakuan dari Pak Bos bahwa Jawa Pos pernah melakukan pembekuan sebagian deviden dalam waktu yang cukup panjang yang seharusnya dibagikan

kepada karyawan, dan pembagian 20 persen saham karyawan Jawa Pos kepada direksinya tanpa sepengetahuan karyawan.

"Jadi, kamu mau usul apa, Fiq?" tanyanya, kemudian.

Menurut saya, anggota yayasan wajib berkunjung ke makam Erick untuk mengadukan 'Warisan Jawa Pos'. Selain tabur bunga dan memanjatkan doa untuk almarhum, tidak ada salahnya mereka membawa spanduk atau poster. Soal isi poster dan spanduknya, saya sangat yakin teman-teman yayasan lebih pintar dibandingkan saya untuk melakukannya.

Undanglah wartawan sebanyak-banyaknya agar jangkauan liputannya berskala nasional. Lantas, biarlah masyarakat luas menilai --khususnya karyawan TEMPO dan grupnya, serta Jawa Pos dan grupnya-- atas acara tadi.

Bahwa sebuah keprihatinan sosial telah dialami oleh ratusan orang mantan karyawan Jawa Pos. Kalau masalah ini tidak happy ending, maka akan menjadi contoh buruk bagi manajemen perusahaan pers nasional.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda