Menanti Serangan Mematikan Dahlan 'Dewa Mabuk' Iskan ke Jawa Pos

Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos. (FOTO: www.antaranews.com)

COWASJP.COMTUNGGU saja kejutannya. Begitulah komentar saya, ketika seorang mantan karyawan Jawa Pos mengajak saya ngrumpi usai  Pengadilan Negeri Surabaya menolak gugatan Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos, terhadap Jawa Pos. 

Kasus ini terkait permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Selasa (12/8/2025). Dalam perkara ini, Dahlan dibela oleh pengacara asal Solo, Boyamin Saiman.

Saya sengaja tidak menjelaskan, kejutan apa yang bakal terjadi. Saya hanya memintanya untuk lebih bersabar. "Bagaimana saya harus bersabar lagi?" tanya dia, serius.

BACA JUGA: Kami Akan Ajukan Gugatan Perdata dan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi​

Saya sangat tahu, dia tengah gundah-gulana. Sudah beberapa bulan terakhir ini plafon rumahnya bocor. "Isi rumah kemasukan air, kalau pas hujan deras, atau hujan angin," keluhnya pada suatu hari.

Beberapa orang teman yang mantan pegawai Jawa Pos --rata-rata usianya sudah lebih dari 60 tahun-- memang sedang tidak baik-baik saja kondisi ekonominya. Kebetulan saja mereka adalah senior saya di Jawa Pos. Maklum, saya baru bergabung dengan Jawa Pos pada 1988 di era Kembang Jepun. 

"Kamu, tuh tidak butuh uang, tha Fiq?" lanjut dia dalam dialek Jawa yang kental. Nadanya agak sewot. Mungkin dia kecewa lantaran saya terlalu santai menanggapi pembicaraannya. 

"Sudahlah..... tunggu saja kabar baru. Panjenengan harus lebih sabar lagi," jawab saya, lugas.

Sesungguhnya saya tidak ubahnya seperti dia: butuh uang ekstra. Walaupun usaha laundry saya --alhamdulillah--   berjalan lancar, tetapi saya ingin membuka kembali bisnis kuliner di Palembang. Untuk itulah dibutuhkan modal tambahan. 

Sebelum buka laundry, saya pernah punya usaha bakso Malang 'Cak Taufiq'. Belum genap setahun, 'Cak Taufiq' saya tutup. "Salah pilih tempat, plus disesatkan pemilik area bisnisnya," begitulah kesimpulan saya soal kehancuran 'Cak Taufiq'.

Mohon maaf, saya malah bicara ngelantur ke mana-mana ..... Tolong dimaklumi saja, sebab 16 November 2025 nanti saya sudah genap 58 tahun. Kalau sudah keasyikan, cerita saya malah mengembara tak tahu rimba. Dasar sudah tuwir..... haaa..... haaa.....

DEWA MABUK

Soal kualitas Dahlan --yang biasa saya panggil Pak Bos-- dalam berstrategi, saya tidak pernah meragukannya. Sudah banyak contoh kiat bisnis Pak Bos yang terbukti ampuh. Dalam posisi terjepit, dia mampu berkelit, lantas balas menggebrak lawan. 

BACA JUGA: Exit Strategy di Gathering Perusuh Disway 4

Setelah menggebrak musuhnya, dia segera melancarkan serangan balasan yang mematikan. Lawan pun akhirnya bertekuk-lutut. 

Saya mengibaratkan Pak Bos adalah Dewa Mabuk (Drunken Master). Tetapi, bukan Drunken Master-nya Jackie Chan. Bukan pula merujuk pada seni beladiri Zui Quan (Drunken Fist). Juga tidak pada Silenus sosok dalam mitologi Yunani yang populer sebagai Dewa Pesta dan doyan mabuk.

Pak Bos 'mabuk' dengan karakternya sendiri. Geliatnya sulit ditebak, sehingga menyulitkan posisi lawan. Sering kali musuh dibikinnya terkecoh lantaran gerakannya yang lamban. Namun, di balik kelambanan tersebut, dia sudah menyiapkan perangkap. Sekali lawan terjerat, maka dia akan kesulitan untuk meloloskan diri. Dan, akhirnya keok.

Dalam hal ini saya tak pernah meragukan kepiawaian Pak Bos. Kalau tidak sangat piawai, tentu amat mustahil bagi Jawa Pos untuk menjadi sebuah imperium bisnis yang berkelas.

Tidak mengherankan jika di masyarakat muncul persepsi, bahwa Pak Bos identik dengan Jawa Pos. Begitu pula sebaliknya. Bahkan Pak Bos adalah ikon dari gerakan kebangkitan perusahaan koran daerah yang meroket ke level nasional. Satu-satunya koran daerah yang bisa melakukan hal itu di Nusantara. 

Kali ini posisi Pak Bos juga sangat beruntung. Sebab, sekitar 400-an orang mantan pegawai Jawa Pos --yang tergabung dalam komunitas Cowas JP-- 100 persen mendukung perseteruannya dengan Jawa Pos. 

Lebih dari itu, Pak Bos juga didukung oleh pengacara kondang Boyamin Saiman, Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI). Sosok ini dikenal cukup militan dalam menjalankan profesinya. Klop sudah!

Di sisi lain saya menilai, personel Cowas JP menempatkan Pak Bos sebagai simbol perlawanan menghadapi kedigdayaan Jawa Pos. Pak Bos dan Jawa Pos sama-sama sakti. Perbedaannya, Pak Bos adalah tokoh sakti yang sukses membuat Jawa Pos menjelma sebagai konglomerasi di bisnis pers nasional. Sedangkan tokoh-tokoh di belakang layar Jawa Pos sekarang, tidak ubahnya sebagai murid Pak Bos yang telah naik kelas, dan disebut-sebut sebagian kalangan sebagai orang sakti mandraguna.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama menahkodai Jawa Pos, Pak Bos mempunyai ide-ide yang brilian. Langkahnya taktis dalam gerakan yang sangat dinamis.

Saya tidak berani menyebut apakah perselisihan Pak Bos dengan Jawa Pos bisa diartikan sebagai pertarungan mahaguru melawan muridnya. Sebab, saya  meramalkan akan terjadi sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan, sebagaimana yang saya utarakan di alinea awal tadi. Sebuah kejadian yang tak pernah disangka-sangka oleh banyak orang. Bahkan oleh orang-orang Jawa Pos sendiri, dan seluruh anggota Cowas JP.

Jika kejutan tersebut benar-benar menjadi kenyataan, maka saya sangat meyakini bahwa sesungguhnya hal itu adalah buah dari kutukan. Soal siapa yang mengutuknya, sekaligus bagaimana kutukannya, menurut hemat saya, tidak perlu dijelaskan dalam kesempatan sekarang ini. 

Biarkanlah hal itu sebagai misteri yang kelak akan terjawab sendiri, seiring dengan bergulirnya waktu. 

Tentu saya tidak dalam kapasitas untuk menyebutkan, siapa yang sejatinya menjadi toksik. Yang pasti saya telah berulang-kali memohon kepada-Nya agar semuanya berjalan natural. Yang salah segera terbongkar kebobrokan mentalnya, dan mendapatkan hukuman yang setimpal. Aamiin.(*)

Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :

Komentar Anda