COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: M Nasaruddin Ismail
---------------------------------------
TUJUH belas tahun silam, di Surabaya, saya dirikan Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Jawa Timur. Seluruh pengurusnya adalah pemulung. Saya hanya sebagai pembina.
Organisasi ini, khusus untuk membina pemulung dan keluarganya. Anak-anak mereka diwajibkan untuk bersekolah. Mereka bertekad "hanya orang tua sajalah yang jadi pemulung".
BACA JUGA: Ayo Melawan Sampah
Lantas untuk menyekolahkan mereka, saya lobi para pengusaha dan pejabat. Salah satu yang sangat peduli adalah Jenderal (Pur) Ryamizard Ryakudu, saat menjabat Pangdam V/Brawijaya. Mantu mantan Wapres Try Sutrisno ini, lebih dari seratus anak dijadikan anak angkat. Gubernur Jatim Imam Utomo, yang saat itu baru dilantik, juga mendukung dengan program kemanusiaan yang saya rintis tersebut. Sepekan setelah dilantik, Imam Utomo mengunjungi pemulung di TPA Sukolilo.
Anak-anak pemulung yang sekolahnya jauh dengan pemukiman mereka, diberi sepeda angin. Sepeda tersebut merupakan bantuan dari paguyuban masyarakat Tionghoa, Surabaya. Lumayan dengan sepeda tersebut mendukung progran wajib bersekolah yang saya canangkan.
Pemulung sedang bersih-bersih kota Surabaya pada 2002, (Foto: M. Nasaruddin/CoWasJP.com).
Sedangkan untuk modal kerja pemulung yang ditinggal di sepanjang stren kali Jagir, Surabaya, Pradah, Makam Jarak, dan TPA Sukolilo, mendapat bantuan pinjaman dana dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) Jawa Timur. Jaminannya, hanya pertemanan saya dengan Kepala BTPN, Drs Soeparapto.
"Tidak perlu takut. Orang miskin itu takut dosa," kata Suprapto, ketika melihat keraguan saya untuk tandatangani pinjman itu.
Tapi alhamdulillah, angsuran tiap bulannya berjalan lancar. Tak sepeserpun yang nyantol. Dan Soepeato memberikan bonus pada mereka.
Rombongan menuju ke tengan kota Surabaya, (Foto: M. Nasaruddin/CoWasJP.com)
Sampai saat ini perkumpulan yang saya dirikan 17 tahun silam itu masih berjalan. Serung melakukan kegiatan bersih-bersih kota. Mereka setiao hari yang mengambil sampah di rumah-rumah warga di Surabaya, hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Tiap menjelang lebaran, saya pun harus memutar otak untuk mencari bantuan buat mereka berlebaran. (*)