COWASJP.COM – LIMA tahun lalu, stasiun TV BBC2 menayangkan serial film dokumenter -The Spice Trail.- Di bagian kedua serial itu dipertontonkan perjalanan Kate Humble ke Kepulauan Rempah di Indonesia. Kate Humble adalah presenter BBC2 pada film yang menceritakan tentang sejarah perdagangan rempah, bersama dengan mitologi dan penggunaannya.
BACA JUGA : Rempah Amunisi Perang Global
Bagi saya, film itu bagus karena sarat dengan -local knowledge-. Film itu - dalam tangkapan saya– menyampaikan pesan bahwa rempah adalah kehidupan bagi para petani, pedagang toko, dan pedagang rempah-rempah itu sendiri, di mana produk yang dijual mampu menambah rasa yang begitu luar biasa bagi makanan kita.
Ini tentu pengetahuan tentang suatu daerah yang menggambarkan makna dari sesuatu yang dimiliki oleh suatu daerah, sehingga menggugah -audience-nya untuk menghargai. Betapa tidak, katakanlah cengkeh. Pohon atau tanaman itu telah begitu banyak menghidupi orang. Cengkeh mampu membawa konsumennya ke dalam fantasi manfaat yang luar biasa.
Dua tahun lalu, saya mengunjungi salah satu pulau di Kepulauan Riau yang merupakan penghasil sagu. Warga setempat banyak yang menggantungkan hidupnya dari sagu. Sampai-sampai seorang pemuka masyarakat di sana mengatakan bahwa bagi warga setempat, pohon sagu merupakan tabungan bagi dia. Bila mereka katakanlah membutuhkan uang yang mendadak dalam jumlah besar, misalnya untuk membayar uang pendidikan anaknya, dia akan menelpon tauke dan menyampaikan keinginannya untuk menjual sagu. Hari itu juga tauke datang dan langsung membayarnya.
BACA JUGA : Bahan Utama Pengobatan
Ketika meliput hutan di daerah Ternate, Kate mendapati fenomena yang menarik dari cengkeh. Di sana dia memperhatikan bagaimana cengkeh dipanen dengan menggunakan tangga dan tali yang unik. Setelah dipanen dan diolah (antara lain dijemur), cengkeh digunakan sebagai aditif dalam tembakau. Cengkeh dikenal karena rasa, dan dalam sejarah oleh beberapa suku digunakan sebagai afrodisiak. Cengkeh dipercaya dapat membantu dalam merangsang sirkulasi dan meningkatkan pencernaan serta metabolisme tubuh.
Rempah adalah bumbu yang berasal dari tumbuhan, baik segar maupun kering yang dicampurkan pada masakan sebagai penyedap. Sedangkan bumbu adalah bahan yang dicampurkan pada masakan sebagai penyedap, termasuk garam, terasi, cuka, gula, rempah dan sebagainya.
BACA : Pameran Gulfood di Dubai
Setiap daerah atau tiap suku bangsa mempunyai kekhasan dalam mengelola tumbuhan untuk dijadikan masakan tradisional. Gresik bukan penghasil cengkeh bahkan tak ada pohon cengkeh yang tumbuh. Ketika marak sosisalisasi budidaya pohon cengkeh pada akhir 1970an atau awal 1980an, saya sempat berpikir ingin menanam cengkeh di depan rumah yang tidak berhalaman, tapi di bagian jalan yang sengaja diperbolehkan untuk ditanami. Tapi apa daya, tanah dan cuaca Gresik memang tidak cocok untuk cengkeh.
Minuman tradisional kolak pisang gepok salah satu makan ciri khas Kota Gresik. (Foto: CoWasJP.com)
Namun banyak juga warga Gresik yang memiliki kebun cengkeh di daerah lain. Waktu saya masih wartawan *Jawa Pos* dan bertugas di Surabaya, saya ketemu dengan teman lama semasih aktif di Pramuka saat duduk di bangku SMP. Dari ceritanya, orang tuanya ternyata memiliki kebun cengkeh yang luas di daerah Trenggalek, bermitra dengan salah satu bekas bupati di sana.
Dalam konteks kuliner, setiap daerah atau setiap suku berbeda dalam pemanfaatan tumbuhan untuk masakan tradisional. Di Gresik, banyak makanan dan minuman yang memanfaatkan cengkeh. Saat bulan puasa misalnya, banyak ibu-ibu yang menyiapkan menu -*Setup Gedang*- untuk minuman pembatal puasa (buka). Di Balikpapan, minuman ini dinamai -es pisang-.
-Setup gedang- adalah minuman dengan tambahan pisang dan menjadi salah satu favorit untuk berbuka puasa oleh masyarakat Indonesia di samping minuman tradisional kolak. Pisang yang digunakan biasanya pisang gepok. Ibu saya biasa membeli pisang gepok di pasar yang dijual oleh orang Madura tetangga. Kebetulan rumah kami berdekatan dengan Pasar Gresik. Tetangga tersebut mendatangkan pisang dari Madura yang biasa diangkut dengan perahu dan berlabuh di pelabuhan Gresik.
Bila cuaca puasa sangat panas, berbuka dengan minuman -setup gedang- yang disajikan dengan es batu menjadi lebih segar. Sebetulnya, setup gedang cocok untuk dihidangkan kapan saja. Sebagian orang mengonsumsi minuman pisang ini pada kondisi hangat. Dalam perkembangannya minuman tradisional ini juga ada yang membuatnya dengan ditambahkan kolang-kaling, agar menambah variasi rasa dan kenikmatannya.
Dalam ingatan saya, bisa jadi karena mudah membuatnya, setup gedang jarang dimasukkan ke dalam menu -antaran- (Bahasa Gresiknya -ater-ater-), sebuah tradisi yang biasa terjadi dua atau sehari menjelang bulan puasa. Menu ini juga jarang dijual orang. Kayaknya kurang laku karena orang lebih suka membuatnya sendiri.
Karena mudah pula biasanya bila membuat setup gedang ibu saya juga melakukan kegiatan yang lain, misalnya masak lauk untuk berbuka. Untuk bahannya, Ibu biasanya pisang gepok setengah matang, meski sebenarnya pisang yang matang juga digunakan. Namun, ibu saya lebih suka pisang setengah matang karena katanya, bila direbus tidak menjadi sangat lembek.
Pisang diiris menjadi beberapa bagian. Sebelum mengiris pisang gepoknya, Ibu memasak air seliter dan menambahkan kayu manis dan cengkeh, dan gula. Sambil menunggu mendidih, ibu mengiris pisang gepok menjadi empat bagian. Potongan pisang itu dimasukan bila rebusan air mendidih sambil menambahkan daun pandan. Ibu biasanya membiarkan selama sekitar 5-7 menit dan matikan kompor.
Dalam beberapa literatur, saat direbus, cengkeh dan kayu manis akan menghasilkan minyak yang berfungsi sebagai antibiotic. Nah, untuk menyajikannya, ibu biasanya pakai gelas atau cangkir.
Kapan Ibu membuat -setup gedang-? Saya memperhatikan ada tiga situasi yang mungkin mendorong Ibu saya memilih menyajikan -setup gedang- sebagai minuman pembatal puasa. Apa saja itu, besok saja ya ceritanya.*
Baca Juga berita Kuliner lainnya Klik Di Sini