COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Djoko Pitono dan H.A. Lazim Suadi, Lc
-------------------------------------------------------------------
DI saat kita memperingati Hari Pahlawan 10 November, kita akan menengok kembali momen perjuangan hidup dan mati ribuan rakyat di Surabaya dan sekitarnya pada 10 Nopember 1945 saat mereka menghadapi serangan tentara Sekutu yang bersenjata jauh lebih canggih. Buku-buku sejarah, setidaknya di masa lalu, umumnya hanya mencatat Bung Tomo sebagai pemeran sentral dalam perang kemerdakaan. Beliaulah pengobar perlawanan gigih rakyat Indonesia di Surabaya kala itu dalam melawan tentara Sekutu (Inggris) yang diboncengi Belanda.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, para sejarawan mulai melengkapi dengan fakta-fakta yang kurang terekam dalam sejarah perjuangan itu. Penetapan Hari Santri Nasional pada 2015 menunjukkan pengakuan dan penghormatan para perjuangan para ulama dan santrinya dalam perlawanan terhadap musuh-masuh Republik yang baru lahir. Itulah terkait Resolusi Jihad yang dikeluarkam Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1045. Inti resolusi itu adalah menyerukan kaum muslimin, khususnya warga NU bangkit untuk membela Tanah Air yang sedang terancam musuh.
Teks Resolusi Jihad NU berisi dua tuntutan, yakni (1) Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja. Dan (2). Soepaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Apa dampak seruan Rais Akbar NU sungguh luar biasa. Tidak hanya warga NU di Surabaya dan sekitarnya yang tergerak ikut berjuang, tetapi juga warga NU di berbagai kota di Jawa Timur, tetapi juga Jawa Tengah dan Jawa Barat. Salah satu kiai NU yang langsung berangkat dari Jawa Barat adalah KH Abdul Chalim Leuwimunding (ditulis pula Abdul Halim). Kiai ini adalah satu pendiri NU, tetapi jarang ditulis. Peran dalam berdirinya NU pada 1926 sangat sentral karena menjadi tangan kanan KH Abdul Wahab Chasbullah, penggagas ide berdirinya jamiyah NU. Jabatan KH Abdul Chalim adalah Katib Tsani dalam kepengurusan pertama PBNU, wakil Kiai Wahab.
KH Abdul Chalim sebenarnya tinggal di Surabaya sejak 1922 hingga 1942, saat tentara Jepang masuk dan melarang semua organisasi di masa penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, beliau pun hilir mudik Leuwimuding (Majalengka) dan Surabaya. Dalam perjalanan menuju Surabaya terkait Resolusi Jihad, Kiai Chalim tidak langsung menuju Surabaya. Beliau mampir di rumah-rumah tokoh NU di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, menyebarkan selebaran berisi seruan Resolusi Jihad NU. Gelombang warga NU pun kemudian mengalir ke Surabaya dalam kelompok-kelompok.
Para ulama dari berbagai wilayah Pantura Jawa itu pun mendampingi pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Pekik takbir bergema di langit Surabaya dan sekitarnya. Perlawanan rakyat luar biasa hebat, kemudian juga menyebar ke berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pelukisan tersebut di atas hanya secuil kisah yang tercecer dalam sejarah NU. Catatan lain terekam dalam buku KH Abdul Chalim Kenapa Harus Dilupakan? karya J. Fikri Mubarok. Dalam buku disebutkan, Kiai Chalim juga aktif dalam aktivitas Lasjkar Hisbullah, pasukan bentukan Jepang yang nantinya dilebur masuk TNI setelah kemerdekaan.
Lebih Dikenal Berkat Gus Dur
KH Abdul Chalim (1898-1972) memang kurang dikenal. Namanya sering pula dikelirukan dengan tokoh NU lain dari Majalengka, Jawa Barat, yang bernama Abdul Halim. Dua-duanya tokoh NU, namun Abdul Chalim yang ditulis ini adalah salah satu pendiri NU dan berasal dari Desa Leuwimunding. Untuk membedakan keduanya, di belakang nama tokoh pendiri NU ini ditambahkan Leuwimunding.
Nama KH Abdul Chalim baru lebih dikenal setelah mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berziarah ke makam Kiai Chalim di Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat pada Maret 2003. Kiai Chalim juga tersorot saat rombongan Kirab Santri Nasional 2015 Surabaya-Jakarta singgah dan berdoa di makam kiai tersebut.
Mengapa Gus Dur berziarah ke makam KH Abdul Chalim Leuwimunding? Alkisah pada awal 2003, sejumlah pengurus dan anggota Banser NU Majalengka sowan pada Gus Dur di kediamannya di Ciganjur. Saat tiba di Ciganjur, Gus Dur ternyata masih belum datang dari kunjungan ke Prancis. “Ya, para anggota Banser memutuskan menunggu beberapa hari,” kata Ustadz Arifin Muslim, mantan Ketua Banser Majalengka.
Menurut Arifin, setelah Gus Dur datang dari kunjungannya di luar negeri, para aktivis Banser itu diterima di kediamannya. Dalam perbincangan tersebut, Gus Dur bertanya dari mana para tamunya.
Saat diberitahu bahwa para Banser itu dari Leuwimunding, Majalengka, sontak Gus Dur kaget.
“Leuwimunding? Saya punya guru di sana, sudah wafat memang. Namanya Kiai Abdul Chalim,” kata Gus Dur seperti ditirukan Ustadz Arifin.
Segera saja, kata Arifin, Gus Dur memanggil stafnya untuk mengagendakan ziarah ke makam Kiai Abdul Chalim, dalam rangkaian acara kunjungannya ke Cirebon dan sekitarnya. Dalam sambutannya sekitar 45 menit di depan warga Leuwimunding di area makam Kiai Chalim, Gus Dur mengemukakan peran besar Kiai Chalim di masa sebelum berdirinya NU, saat pendirian, dan dalam perkembangan NU. “Banyak yang hadir saat kunjungan ziarah Gus Dur di makam Kiai Chalim. Ada ratusan orang warga Nahdliyin,” tutur Ustadz Arifin.
Kunjungan Gus Dur tersebut menunjukkan betapa besarnya perhatian pemimpin terkemuka NU dan mantan Presiden RI tersebut. Pertanyaannya sekarang, bagaimana perhatian warga masyarakat, terutama kalangan NU sendiri? Tidak mudah memang merangkai cerita tentang seorang tokoh yang selalu “bekerja dalam diam”.
Tokoh ini sungguh rendah hati. Untungnya, ada sejumlah tulisan karya Kiai Chalim yang ditinggalkan, khususnya tentang berdirinya NU, tokoh-tokohnya, serta perkembangan NU hingga tahun 1970. Tahun itulah buku karya Kiai Chalim, Sejarah Perjuangan KH Wahab Chasbullah, yang ditulis dengan huruf Arab Pego diterbitkan. Sebuah buku kecil memang, yang dilampirkan di bagian belakang buku ini. Tetapi itulah satu di antara sedikit buku yang membahas sejarah NU saat itu. Amat langka penulis yang menulis buku tentang NU, termasuk dari kalangan NU sendiri.
Tetapi sejarah telah menunjukkan bahwa Kiai Chalim sangat dekat dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah. Dengan kata lain, Kiai Chalim adalah orang kepercayaan kedua ulama terkemuka tersebut. Lewat Kiai Chalim, dua kiai tersebut merancang komunikasi lewat surat-surat dengan para ulama terkemuka se Jawa dan Madura.
Sebagai kiai yang juga berpendidikan sekolah Belanda dan pernah bermukim di Mekkah, Kiai Chalim piawai dalam menulis dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Arab. Maka setelah mencermati beragama buku terkait kelahiran NU dan hal-hal yang menyangkut keistimewaan masing-masing ulama terkemuka saat itu, bisa diambil beberapa kesimpulan. Di antaranya adalah peran utama komunikasi dalam beragam surat menyurat, termasuk surat para ulama NU yang dibawa Komite Hijaz untuk Raja Ibnu Saud, diperankan oleh KH Chalim Leuwimunding.
Rasionalitas lainnya adalah bahwa Kiai Chalim-lah yang menyusun anggota-anggota Komite Hijaz dan anggota-anggota Pengurus PBNU yang pertama, sebelum disampaikan kepada KH Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy’ari untuk disempurnakan dan disahkan.
Anggota SI Termuda
Dalam perjalanan hidupnya, patriotisme dan religiusitas Kiai Chalim telah terbentuk sebelum naik haji pada 1914, dengan telah masuknya Chalim muda menjadi anggota Serikat Islam (SI) termuda. Karakter-karakter itu makin berkembang saat bermukim di Mekkah di tengah lingkungan masyarakat Muslim internasional yang antikolonialisme. Di Tanah Hijaz tersebut, Chalim muda berkawan dengan para santri Nusantara, termasuk KH Abdul Wahab Chasbullah.
Hampir setiap hari Kiai Chalim dan Kiai Wahab bertemu, belajar dan berdiskusi menyangkut upaya untuk memajukan kaum Muslim di Tanah Air. Begitu tingginya semangat dan idealismenya hingga keduanya membuat komitmen tentang langkah berikutnya. Kedua beliau itu membuat komitmen untuk memperjuangkan faham ahlus sunnah wal jamaah dan kemerdekaan rakyat Indonesia.
Perubahan politik di Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada Perang Dunia I membuat situasi kurang nyaman hingga memaksa KH Chalim kembali ke Tanah Air setelah bermukim selama satu tahun. Kepulangan KH Chalim hampir bersamaan pula dengan kepulangan Kiai Wahab ke Tanah Air.
Di desa kelahirannya, Kiai Chalim membantu ayahnya yang menjadi kepala desa. Berkat pendidikannya dan pengetahuannya yang luas, beliau bahkan diminta membantu kegiatan ayahnya dalam urusan kemasyarakatan sebagai jurutulis Wedana Leuwimunding. Ketika ayahnya wafat pada 1921, Kiai Chalim putar haluan terjun ke dunia pendidikan.
Suatu hari, dalam kegelisahan hatinya, Kiai Chalim pun teringat pada kawannya, KH Wahab Chasbullah, dan komitmen yang telah dibuatnya di Mekkah beberapa tahun sebelumnya. Kiai Chalim pun bertekad menemui KH Wahab Chasbullah. Tekad sudah bulat untuk mengembara dengan berjalan kaki. Ya, berjalan kaki.
Sebelum berangkat, KH Chalim menjual peninggalan ayahnya untuk diberikan kepada keluarganya untuk kebutuhan hidupnya. Kemudian bersama Abdullah, adik iparnya, mulai berjalan ke arah timur menyusuri jalan kampung dan desa, naik gunung dan masuk hutan pula. Perjalanan KH Abdul Chalim seluruhnya berlangsung selama 14 hari, 11 hari di antaranya beliau hanya makan kunir alias kunyit.
Begitulah, singkat kata, pada 22 Juni 1922 Kiai Chalim dapat bertemu dengan KH Wahab Chasbullah, berkat bantuan KH Amin dari Praban. Kiai Wahab pun langsung memberi kepercayaan Kiai Chalim untuk mengajar di Nahdlatul Wathon di Kampung Kawatan VI Surabaya. Nahdlatul Wathon adalah organisasi yang didirikan KH Abdul Wahab dan beberapa ulama dengan tujuan pada peningkatan mutu pendidikan Islam, pembentukan kader dan pembinaan juru dakwah.
Di sinilah Kiai Chalim juga dipercaya sebagai sekretaris, yang menjadi inisiator beragam kegiatan dan pengatur administrasi organisasi tersebut. Beliau juga dipercaya membuat Nadhom alias syair-syair untuk diajarkan pada para peserta kegiatan Nahdlatul Wathon. Organisasi ini kemudian disusul terbentuknya Taswirul Afkar, perkumpulan yang bergerak dalam bidang sosial dan dakwah.
Lagi-lagi Kiai Wahab menyerahkan kepercayaan sebagai sekretaris kepada Kiai Chalim, yang memang terlibat aktif dalam melahirkan perkumpulan itu. Demikian juga saat pendirian organisasi baru Syubbanul Wathon, akibat perpecahan kubu KH Mas Mansyur (modernis) dan kubu KH Abdul Wahab Hasbullah (tradisional) dalam Nahdlatul Wathon.
Pada tahun-tahun 1920-an itulah Kiai Abdul Chalim berhadapan langsung dengan ghirah (semangat) perkembangan pemikiran serta dialektika faham ahlu sunnah wal jamaah di tengah perjuangan keagamaan dan kebangsaan di Tanah Jawa. Beliau ikut aktif dalam perbincangan serius menyangkut pentingnya sebuah lembaga (institusi) yang menjamin pelaksanaan kefahaman ahlus sunnah wal jama’ah hingga kemudian lahirnya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Itulah setelah perubahan politik besar terjadi di Hijaz dengan berkuasanya Raja Abdul Aziz yang didukung kaum Wahabi, yang berkeinginan untuk melenyapkan tempat atau kepercayaan yang dianggap bid’ah dan musyrik. Termasuk Makam Nabi Muhammad SAW.
Dalam sejarah NU, berdirinya Komite Hijaz dan Jam’iyyah NU berkait erat dengan peran Kiai Abdul Chalim sebagai komunikator kunci antara para alim ulama terkemuka di seluruh Jawa dan Madura saat itu. Surat undangan yang dibuat dan dikirimkan Kiai Chalim kepada para ulama dalam pembentukan Komite Hijaz dan NU mengobarkan semangat kebangsaan dan membuat para tokoh berdatangan hadir. Jumlahnya 65 ulama.
Seruan dan usulan NU lewat surat yang dibawa KH Abdul Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghonaim Al Misri selaku wakil Komite Hijaz untuk Raja Abdul Aziz bin Abdurahman Al Su’ud akhirnya disetujui, antara lain kaum muslim diberi kebebasan untuk bermadzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Pemerintah Kerajaan juga tetap menghormati tradisi keagamaan yang berlaku di sana.
Komitmen KH Chalim dan KH Wahab Chasbullah untuk memperjuangkan Aswaja dan Kemerdekaan RI juga terlukiskan dalam kisah ketika KH Chalim menyiapkan undangan kepada para ulama terkemuka se Jawa dan Madura. Dalam satu momen, KH Chalim terlibat dalam percakapan dengan KH Wahab, seperti tertulis dalam bukunya:
Pak Kiai apakah ngandung tujuan
Kita untuk menuntut kemerdekaan.
Jawab, tentu itu nomor satu
Ummat Islam menuju jalan itu.
Ummat Islam kita tidak leluasa
Sebelumnya negara kita merdeka.
Saya jawab, kini ini usahanya.
Beliau ambil kayu api menjawabnya.
Dinyalakan satu batang dengan bilang
Ini bisa menghancur bangunan terang.
Kiprah Kiai Chalim tetap tinggi pada tahun-tahun setelah lahirnya NU pada 1926. Hampir semua Kongres NU dihadiri, kecuali saat penjajahan Jepang ketika NU dibekukan.
Dalam pentas politik pun KH Abdul Chalim tak pernah ketinggalan sejak NU bergabung ke dalam Masyumi maupun ketika NU sendiri menjadi partai politik. Kiai Chalim juga motor utama pembentukan Persatuan Guru NU (Pergunu) pada 1958 dan pendirian Pertanu (Persatuan Petani NU, sekarang sudah tidak ada. Pen). Hingga pertengahan tahun 1972, Kiai Chalim masih menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Beliau wafat pada 11 April 1972.
Catatan ini adalah sedikit upaya untuk mendudukkan KH Abdul Chalim Leuwimunding di atas kursi yang layak di panggung sejarah. (Bersambung)
Djoko Pitono, veteran jurnalis dan editor buku.
H.A. Lazim Suadi, alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, kini mengajar di Ponpes Amanatul Ummah.