COWASJP.COM – ockquote>
O l e h: Roso Daras
---------------------------
PAGI itu, suasana kampus Universita Kokushikan, di Setagaya, Tokyo – Jepang, mulai pikuk, ketika rombongan Puti Guntur Soekarno tiba, Kamis (3/11). Mahasiswa dan masyarakat berkumpul di halaman kampus dalam pelaksanaan sebuah festival tradisional yang diperingati tiap tahun.
Rektor dan pejabat kampus begitu antusias menyambut kehadiran Puti Guntur Soekarno yang hari itu didampingi bapaknya, Guntur Soekarnoputra dan istri, Henny. Nama Guntur, dan Puti, begitu lekat di kampus bersejarah ini. Terlebih, bahwa ini bukan kali pertama Puti hadir.
Tahun lalu, di kampus yang sama, dalam rangka peresmian “Soekarno Research Center”, Puti hadir dan membawakan pidato kebudayaan, “Pancasila Bintang Penuntun”. Kali ini, kehadiran Puti pun sejalan dengan program Pusat Studi Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Kokushikan, yakni simposium internasional mengenai Soekarno, yang berjudul “Merefleksikan Pemikiran Soekarno dari Masa Kini Abad ke-21”.
Sebelum menuju aula di kampus lantai tiga, Puti dan rombongan diterima Rektor Prof Keiichi Sato, PhD dan juga Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Tokubumi Shibata, yang merupakan cucu dari pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata. Hadir juga Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Prof Masami Hiraishi.
Usai beramah-tamah, Puti dan rombongan pun diiringkan berjalan kaki, menapaki kampus Kokushikan yang luas itu, menuju tempat acara di sebuah bangunan lima lantai. Acara simposium itu sendiri digelar di lantai tiga. Tepat pukul 09.00, simposium pun dibuka, diawali sambutan-sambutan dari pihak universitas.
Rektor Keiichi Sato menceritakan ihwal hubungan Kokushikan dengan Indonesia. Tersebutlah pasca Konferensi Asia Afrika 1955, Bung Karno memperkuat solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika, antara lain dengan menggelar Games of New Emeging Forces (Ganefo) 1962. Jepang sebagai negara yang hadir pada KAA termasuk yang diundang dalam ajang Ganefo. Akan tetapi, demi menjaga perasaan negara Barat, pemerintah Jepang tidak mengirimkan atlet.
Akan tetapi, Universitas Kokushikan-lah yang mengirimkan atlet dan mendapatkan medali pada cabang judo. Ini adalah keputusan penting dari pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata yang memang dari awal fokus pada persoalan Asia.
Rektor Sato yang sudah tiga kali berkunjung ke Indonesia, tak habis-habis memuji. Indonesia dikatakannya “fitur ideal dunia”. Negara dengan keragaman suku, adat-istiadat, budaya, dan bahasa. Bahasa Jawa adalah paling dominan di antara suku yang lain. Akan tetapi, Presiden Sukarno tidak menjadikan bahasa Jasa sebagai bahasa nasional, tetapi bahasa Indonesia.
Juga tentang agama. Bangsa Indonesia 88 persen Islam, tetapi Bung Karno tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Negara menjamin warganya memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Inilah warisan berharga dari Sukarno. “Bisa dikatakan, bahwa Indonesia mempraktekkan salah satu model ideal bagi perdamaian dunia,” ujar Rektor Sato.
Pada kesempatan berikutnya, Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Universitas Kokushikan, Tokubumi Shibata juga menyebut Bung Karno sebagai tokoh besar yang meninggalkan gagasan berharga untuk kerjasama dan keharmonisan di Asia dan seluruh dunia. Ketidakharmonisan dunia yang cenderung tampak jelas akhir-akhir ini, memerlukan kebijaksanaan Timur untuk menyelesaikannya. “Saya berpikir bahwa Presiden Sukarno sudah dapat melihat dan memberikan jawabannya sejak 70 tahun yang lalu,” ujar Shibata yang juga Ketua Soekarno Research Center, Universitas Kokushikan.
Sambutan ketiga diberikan Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Universitas Kokushikan, Prof Masami Hiraishi. Ia berterima kasih kepada Puti, di tengah kesibukannya sebagai Anggota DPR RI, masih berkenan menyisihkan waktu untuk hadir dan memberi pidato, sekaligus menerima penyerahan gelar sebagai profesor tamu di Jurusan Ilmu Politik, Pascasarjana Universitas Kokushikan.
Lebih lanjut Prof Hiraishi memprihatinkan, bahwa akhir-akhir ini terjadi kecenderungan kita memilih kehidupan modern dengan membuang kehidupan tradisional. Padahal, modernitas tidak selalu benar, melainkan harus dengan melihat masa lalu. Nah, simposium yang digelar hari itu, akan menghadirkan dua peneliti dari Indonesia dan dua peneliti dari Jepang. “Masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda, tentu menjadi sesuatu yang sangat menarik sebagai bahan kajian ilmiah kita bersama,” katanya.
Dan benar, simposium hari itu, selain diisi pidato utama Puti Guntur Soekarno yang berjudul “Pancasila Menuju Tata Dunia Baru”, juga hadir dua pembicara dari Indonesia. Mereka adalah Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Bonnie Triyana, dan Prof Dadan Umar Daihani dari Universitas Trisakti, Jakarta. Sementara dari Jepang menghadirkan dua pembicara: Kaoru Kochi, dosen Universitas Tokyo dan Prof Masakatsu, profesor kehormatan Universitas Kokushikan.
Bonnie Triyana sebagai pemateri pertama, membawakan makalah berjudul “Mencari Sukarno Sejati”. Ia menyorot sosok Sukarno dari catatan buku sejarah Indonesia, sejak Orde Baru hingga saat ini. Bonnie banyak mengupas tentang praktek desukarnoisasi yang dilakukan rezim pengganti Sukarno.
Sementara itu, Prof Dadan membawakan makalah “Bung Karno: Dunia Pendidikan dan Peradaban Bangsa”. Alumni ITB ini banyak menyorot tentang pentingnya pendidikan bagi pembentukan karakter bangsa. Presentasi Dadan banyak menampilkan foto-foto dan kutipan-kutipan kalimat Bung Karno yang monumental, dan mampu membuat suasana simposium menjadi hangat.
Dua pembicara dari Jepang, juga memotret Bung Karno dari sudut pandang yang berbeda. Prof Masakatsu Kozu misalnya, mengangkat topik “Politik Nasionalisme Soekarno dan Batik: Penciptaan Budaya Nasional di Indonesia”. Profesor yang pernah mendalami batik di Indonesia ini, mengaku sebagai pemilik koleksi batik paling lengkap di dunia. Ia mengagumi Bung Karno, yang berhasil menjadikan batik yang identik dengan “milik” sebagian masyarakat Jawa, menjadi identitas nasional. Ia menganggap itu satu-satunya di dunia.
Sedangkan, dosen Universitas Tokyo, Kaoru Kochi membawakan makalah berjudul “Hubungan Indonesia-Jepang dan Kajian Mengenai Soekarno di Jepang”. Ia menyandingkan perjalanan sejarah panjang antara Indonesia dan Jepang, sejak era pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Satu hal yang ditegaskan oleh Kochi adalah, perhatian akademisi Jepang terhadap Indonesia makin meningkat, setelah Bung Karno sukses menggela Konferensi Asia Afrika, 1955. Dan itu terus berlangsung hingga saat ini. ***