COWASJP.COM – TIDAK ada ibadah agama apapun yang bisa menyamai keunikan dan masifnya jumlah orang yang mengikutinya seperti ibadah haji bagi kaum muslimin di Mekah (dan Madinah). Siapa pun rasanya akan merasa heran, bagaimana tahun 2017 ini lebih dari 2,1 juta orang dari seluruh dunia bisa berkumpul di satu tempat untuk menghadap Tuhannya. Di tengah terik matahari lebih dari 40 derajad Celsius pula. Tahun ini, jumlah jemaah haji Indonesia lebih dari 210.000 orang, terbesar di dunia.
Buku Sujud Syukur Seorang Jurnalis: Keajaiban di Balik Tragedi Pesawat Haji di Kolombo 1978 yang diulas ini benarnya berkisah tentang pengalaman H. Soeharto, seorang veteran jurnalis di Surabaya, yang selamat saat pesawat yang ditumpanginya jatuh di Kolombo pada 1978. Ada banyak uraian menarik dalam kisahnya. Kisahnya itu menjadi lebih bermakna dengan adanya tulisan pengantar bagaimana sebenarnya ritual haji itu sendiri adalah peristiwa “penuh keajaiban” sejak dari awal sejarahnya.
Sudah ratusan tahun pula orang-orang di Nusantara, terutama Jawa, melakukan perjalanan yang jauh dan sangat sulit untuk pergi ke Tanah Suci yang terletak di Hijaz, Jazirah Arab – kini Arab Saudi – tersebut. Mereka rela mengeluarkan hartanya dalam jumlah yang tidak kecil, juga siap menghadapi kematian, untuk dapat melaksanakan ibadah agama itu.
Ya, mengapa mereka melakukan hal itu? Martin van Bruinessen dalam bukunya "Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji," Ulumul Qur'an Volume II No 5, 1990, menyebut Mekah sebagai pusat kosmis titik temu antara dunia yang tidak kekal ini dan alam lain di luar dunia. Mekah adalah sumbu bumi.
Sebelum Islam datang di Jawa, pusat-pusat kosmis memainkan peranan sangat penting. Saat itu para penduduk Jawa menganggap kuburan para leluhur, gunung, gua dan hutan tertentu, serta tempat "angker" lainnya untuk mencari sesuatu seperti ilmu atau kekuasaan. "Setelah orang Jawa mulai masuk Islam, Mekahlah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama," tulis Martin van Bruinessen.
Tetapi Martin tak dapat memastikan apakah orang pertama yang menginjakkan kakinya di Tanah Haram untuk berhaji adalah orang Jawa. Banyak orang memang tertarik untuk mengetahui kisah-kisah haji di masa silam. Henri Chambert-Loir, penulis Prancis, seolah memahami kehausan orang Indonesia atas kisah-kisah itu hingga ia menulis bersama beberapa cendekiawan Indonesia. Hasilnya adalah buku Naik Haji di Masa Silam: Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (KPG, 2013). Buku ini terdiri dari tiga jilid, yang merangkum kisah-kisah haji dari abad ke-15 sampai ke-20.
Jilid 1 (1482-1899) menceritakan kisah pengalaman berbagai tokoh dari Malaka, Banten, Riau, Singapura, dan Sumedang. Ada pula kisah seorang haji dari Aceh yang berkelana di Yaman sebelum pulang ke Sumatra, kisah haji dari Minangkabau berziarah di Mesir dan Jerusalem, dan kisah rekaan tentang pengalaman mistik seorang wali Makassar di Tanah Suci.
Jilid 2 (1900-1950) antologi ini meliputi kisah haji paruh pertama abad ke-20. Di antaranya adalah rangkuman tiga artikel tentang ibadah haji pada tahun-tahun awal abad ke-20, contoh peta kiblat yang digunakan para jemaah Indonesia dalam perjalanan ke Mekkah, laporan tentang perjalanan haji orang Malaya, dan cerita pengalaman haji Bupati Bandung tahun 1924. Ada pula kisah pengalaman Buya Hamka naik haji pada 1927, ketika ia berumur 19 tahun, juga termuat di buku ini. Kisah-kisah lain adalah kisah haji pada saat Indonesia menjadi merdeka: satu oleh seorang ulama Kalimantan selama periode revolusi; satu oleh cendekiawan Aceh, Ali Hasjmy, ketika ikut misi diplomatik ke Mekkah tahun 1949; dan satu lagi oleh Buya Hamka ketika naik haji untuk kedua kalinya pada umur 42 tahun.
Jilid 3 (1954-1964) antologi kisah haji ini meliputi dasawarsa 1954-1964. Terdapat di dalamnya kisah pengalaman seorang wartawan Medan, Saiful U.A.; laporan wartawan kondang, Rosihan Anwar; catatan perjalanan seorang cendekiawan Malaysia, Harun Aminurrashid; renungan mistik sastrawan Asrul Sani; serta cerita pengalaman sutradara film terkemuka, Misbach Yusa Biran.
Perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara pada awalnya bisa membutuhkan waktu hingga dua tahun lebih karena kapal-kapal masih sederhana. Perjalanan menuju tanah suci saja memakan waktu sampai enam bulan. Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji. Itu pun masih ada persoalan lain, keamanan.
Jalanan belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan serangan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit.
Kebanyakan dari mereka yang sakit yang tak bisa meneruskan ke Mekah atau yang meninggal ditinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal. Persinggahan kapal antara lain Malaysia (termasuk Singapura), beberapa kota di India hingga Jibuti dan Yaman. Sebagian mereka ada yang kemudian tinggal dan beranak pinak di sini.
Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Pakistan, Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan Tanah Suci.
Menurut Kementerian Agama RI, jemaah haji Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci diawali pada paruh kedua abad ke-19. Meskipun dengan fasilitas transportasi yang seadanya dan jauh lebih tidak nyaman dibanding saat ini, jemaah haji pada saat itu tetap melanjutkan perjalanannya.
Kebanyakan dari mereka pergi menggunakan kapal dagang, dengan memakan waktu berbulan-bulan untuk tiba di Mekah. Ketika Indonesia masih berada di dalam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, sempat terjadi pembatasan untuk umat Muslim Indonesia berangkat haji, yakni pada tahun 1825, 1827, 1831, dan 1859. Pembatasan tersebut muncul lantaran banyaknya kasus perlawanan terhadap pemerintahan yang berasal dari golongan haji.
Pada 1869, Terusan Suez di Mesir yang menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah dibuka. Hal ini mempersingkat waktu tempuh jemaah haji Indonesia yang berangkat ke Mekah menggunakan kapal laut. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, merupakan salah satu tokoh nasional yang pergi haji sebelum segala fasilitas memadai. Ia pergi haji di usianya yang baru menginjak 15 tahun, atau tepatnya pada 1883, dan tinggal di Mekah selama 5 tahun. Sedang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari pergi ke Mekah pada 1892 dan bermukim di Kota Suci itu selama 7 tahun. Tokoh-tokoh lain termasuk juga pendiri NU KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Abdul Chalim Leuwimunding yang naik haji di awal ke-20.
Keluarga besar Bapak Sadi Sastrodihardjo dan Ibu Soendari, orangtua H. Soeharto.
Pemerintah kolonial Belanda juga pernah menunda keberangkatan jemaah haji Indonesia pada 1915, akibat pecahnya Perang Dunia Pertama. Kala itu, biaya hidup dan transportasi menjadi mahal, dan tidak ada transportasi milik Belanda yang beroperasi. Ibadah haji untuk jemaah Indonesia pun pernah dihentikan pada 1947 berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), KH Hasyim Asy’ari, menyusul situasi genting di Indonesia pasca kemerdekaan.
Setelah mengalami berbagai kesulitan baik dari dalam maupun luar, jemaah haji Indonesia bisa sedikit bernapas lega, tepat pada 1948. Ini terjadi setelah Indonesia melakukan kerja sama dengan pemerintah Arab Saudi terkait keberangkatan haji. KH Mohammad Adnan berangkat ke Mekkah sebagai delegasi Indonesia, dan bertemu langsung dengan Raja Arab Saudi saat itu, Ibnu Saud.
Sejak itu, pemerintah Indonesia mengambil alih segala penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, lantaran banyaknya pihak swasta yang gagal memberangkatkan jemaah haji Indonesia. Pemerintah membentuk PT Pelayaran Muslim sebagai penyelenggara haji pada 1952. Pada tahun yang sama, akses jalur udara dari Indonesia menuju Mekah pun resmi dibuka. Pada 1975, tidak ada lagi jemaah haji Indonesia yang menggunakan kapal laut untuk berangkat ke Mekah.
Meski demikian, baru pada 1979, Menteri Perhubungan meniadakan pengangkutan jemaah dengan kapal laut dan menetapkan pesawat sebagai transportasi satu-satunya menuju Tanah Suci. Pihak swasta pun kembali diizinkan pemerintah beroperasi untuk pemberangkatan haji pada 1982. Dan pada 1999, dikeluarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan ibadah haji, termasuk perlindungan, pelayanan, dan pembinaan jemaah haji.
Pada 1999, kuota keberangkatan terbagi menjadi dua, yakni haji reguler dan khusus. Sejak saat itu, kuota keberangkatan jemaah haji Indonesia relatif meningkat, meskipun tetap berubah tiap tahunnya. UU No.17 Tahun 1999 kemudian diperbarui pada 2008, dengan ditetapkannya UU No.13 Tahun 2008.
Dalam 5 tahun terakhir, kuota keberangkatan jemaah haji Indonesia semakin menipis. Terutama dengan adanya renovasi prasarana ibadah di Masjidil Haram sejak 2013 yang diperkirakan akan selesai pada 2017 mendatang.
Menurut data Kementerian Agama RI, pada 2011, kuota keberangkatan jemaah haji reguler Indonesia tersedia sebanyak 199.848, dengan menyisakan antrean tunda haji sebanyak 1.521.521 jiwa. Dan pada 2015, jumlah kuota haji reguler pun menipis hingga 154.455, dengan menyisakan antrean tunda yang lebih banyak lagi, yakni 3.014.835 jiwa. Namun kini pada 2016 hanya tersedia sebanyak 168.800 saja, yang terdiri dari 155.200 kuota reguler dan 13.600 kuota haji khusus.
Tetapi, seperti telah disinggung di atas, jumlah jemaah haji Indonesia tahun 2017 ini naik menjadi lebih dari 210.000 orang.
Kisah Unik Soeharto
Ratusan ribu bahkan berjuta orang Indonesia telah berhaji. Masing-masing tentu memiliki kisah sendiri yang unik. Kisah H. Soeharto, yang ditulis sendiri oleh yang bersangkutan di buku ini, juga unik dan menarik. Bahkan sangat menarik.
Betapa tidak? Pada umumnya, jemaah haji adalah orang yang secara lahir dan bathin telah menyiapkan diri beberapa waktu lamanya untuk melaksanakan ibadah tersebut. Mereka mempersiapkan dana yang cukup. Mereka juga mengikuti pelatihan menasik haji pada seorang ustadz atau kiai tertentu agar ibadahnya berjalan baik dan bahkan sempurna.
Menjelang keberangkatan, seorang jemaah haji biasanya juga mengundang kerabat dan para tetangganya dalam acara “pamitan dan mohon doa restu”. Tergantung kemampuan ekonomi dan ketokohan tentu saja. Ada yang bahkan menyembelih beberapa ekor sapi. Undangan pun bisa ratusan orang.
Saat berangkat, sang calon jemaah haji biasanya juga diantar ke Asrama Haji atau tempat penampungan tertentu oleh puluhan orang, menggunakan banyak kendaraan. Para pengantar tersebut biasanya menyalami jemaah haji itu, juga minta didoakan di Mekah untuk bisa berhaji seperti sang jemaah haji.
Tetapi apa yang dialami Soeharto ini sangat lain. Meskipun seorang muslimin, seorang penganut Islam, dia mengaku sebagai “Islam KTP”. Dia tidak pernah menjalankan salat lima waktu, nyaris tak pernah ke mushala atau masjid, kecuali di Hari Raya Idul Fitri. Tetapi dia bisa naik haji dalam arti sebenarnya, pergi ke Mekah dan Madinah, berkat undangan Kantor Imigrasi Surabaya, sekaligus untuk meliput pelayanan pemerintah terkait ritual haji tersebut.
Dari awal keberangkatannya naik haji, kisah H. Soeharto sudah sangat menarik. Ketika berangkat dari rumah, Soeharto hanya berangkat sendiri dari rumah dengan naik becak ke Kantor Imigrasi Surabaya, tempat anggota rombongannya berkumpul.
Semua dituturkan secara lugu alias polos, tidak ada upaya untuk menutupi kekurangannya sebagai seorang muslim. Ketika melihat Kabah pertama kali, misalnya, Soeharto juga tidak bergetar hatinya. Dia enak saja berkomentar di depan temannya, “Oh, ini to Kabah yang jadi kiblat salat orang-orang Islam.”
Menariknya lagi, dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci, pesawat yang ditumpanginnya mengalami kecelakaan, jatuh di Kolombo, Sri Lanka. Sebagian besar penumpangnya tewas dalam kecelakaan tersebut. Dan Subhanallah, Soeharto termasuk satu di antara sebagian kecil penumpang yang selamat. Dia pun sehat hingga kini.
Kehidupan Haji Soeharto kemudian sungguh pula menarik untuk diikuti. Karier jurnalisnya terus melesat, antara lain dengan memperoleh penugasan untuk meliput berbagai acara di berbagai negara, praktis di semua benua. Veteran jurnalis yang sebelumnya mengaku sebagai “Islam KTP” ini sekarang menjadi seorang muslim yang taat.
Salat lima waktu tak pernah ditinggalkan. Sering pula tiap Subuh dia mengikuti salat berjamaah di masjid-masjid yang berbeda di Surabaya, meskipun tempatnya jauh dari rumahnya. Rumah-rumah yatim pun sering disambanginya, ingat anak-anak yang jadi penghuninya. Dia pun beberapa kali lagi pergi haji dan umrah bersama istrinya.
Setelah beralih profesi, pindah kerja dari Surabaya Post ke PT Maspion, sebuah perusahaan konglomerasi barang-barang rumahtangga, Soeharto juga berhasil menumbuhkan iklim beribadah di perusahaan tersebut. Sebagai Asisten Direksi, dia melobi pimpinan untuk membenahi mushala-mushala yang ada di masing-masing unit pabrik Maspion. Selain bertambah luas, mushala-mushala tersebut juga lebih bersih dan nyaman.
Soeharto mengatakan, dia benar-benar menyukuri nikmat yang telah dilimpahkan Allah pada diri dan keluarganya.
Orang-orang mengatakan, itulah tanda bahwa ibadah haji Soeharto adalah mabrur. (*).
Djoko Pitono, jurnalis senior dan editor buku